Orang bilang, cinta adalah anugrah terindah bagi manusia.
Dengan bertemunya sepasang manusia yang tidak saling kenal awalnya,
menciptakan pertemanan, menjalin kasih, lalu berpisah.
Orang bilang, cinta adalah hal terkuat yang tidak bisa memisahkan dua
hati. Lah, lalu mengapa terjadi perpisahan? Perceraian contohnya.
Bohong. Semua omong kosong. Tidak ada yang abadi, bahkan manusia pun
memiliki masa kadaluarsa. Begitu juga dengan cinta. Don’t trust too much
with love.
Sepertinya, kita sering kali disengaja untuk menonton film layar
lebar ataupun sinetron ataupun serial drama yang ceritanya romantis dan
mudah ditebak. Perempuan bertemu laki-laki, mereka berkenalan, berteman,
jalan-jalan mengitari dunia hingga lelah, beristirahat di sebuah
hubungan yang kelemit rumit, menaikkan kaki ke pelaminan, lalu hidup
bahagia. Klasik. Tapi begitulah realita dalam sebuah drama.
Hai. Kita terlalu tinggi dalam berimajinasi. Khayalan-khayalan bahkan
kekuasaan mimpi yang tidak bisa lagi ditangkap oleh logika. Semua
seperti dejavu, katanya. “Ya, aku pernah begini”, kata seorang gadis
yang selalu menganggap dirinya paling sedih sedunia. No, you’re not
alone.
Hidup memang berpasang-pasangan. Kaya-miskin, tua-muda,
panjang-pendek, hidup-mati, dan… pria-wanita. Memang begitulah adanya.
Dunia, dunia… semua bisa bersatu karena cinta, katanya?
Bagi sepasang sejoli yang telah yakin bahwa diri mereka adalah jodoh
yang dipersatukan Tuhan, cinta tak dapat memisahkan segalanya. Mereka
yakin bahwa segala masalah dalam dunia bisa mereka selesaikan secara
berdua, bersama. Bahkan mereka rela mati bersama demi menunjukkan bahwa
cinta mereka abadi. Tuhan, apa sesederhana itukah cinta?
Sampai kapanpun, akan ada pertanyaan mengenai apa itu cinta sejati
dan si penjawab akan kebingungan. Apa yang akan dijawab jika
kenyataannya tidak ada yang namanya kesejatian di dunia ini selain
Tuhan?
Baiklah. Cinta adalah sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan bahkan
diukur. Ia berada dalam keadaan di bawah alam sadar manusia. Tidak tahu
darimana asalnya dan berakhirnya. Yang diketahui hanyalah bagaimana ia
tersampaikan pada jiwa yang bersedia menerimanya apa adanya, bukan ada
apanya. Dan, hanya orang-orang yang memiliki hati dan kepekaanlah yang
bisa merasakan dan memiliki cinta. Adakah yang ingin cintanya diterima
dan terbalaskan? Semua orang menginginkannya, pasti.
—
Ada kalanya, dimana cinta tidak bisa mengalahkan segala sesuatu yang
ada di hadapan kita. Apapun itu. Kau tahu? Jarak adalah salah satunya.
Percuma rasanya, cintaku telah hilang karena jarak.
Jarak telah berhasil mengubah dan menggilakan semua yang aku rasakan.
Mengubah pola pemikiran dan membuatku semakin gugur dalam kerinduan
yang tak pernah sampai tepat waktu.
Aku mengenal Adith baru tiga bulan, melalui media sosial yang aku
tahu itu adalah dunia maya yang memiliki perbedaan besar dan jauh lebih
berbeda dengan dunia nyata. Namun, waktu berkata lain. Kami dipertemukan
di sebuah seminar kesehatan di Jakarta. Kami berkenalan dan melanjutkan
hubungan yang lebih jauh. Dan hubungan yang jauh itu pun membuat kami
terpaksa ikut berjauhan. Saat itu, Adith harus tinggal di Tokyo untuk
beberapa tahun. Lalu, apa masalahnya? Hanya perbedaan waktu yang
membebani di antara pikiran-pikiran konyol dua sejoli ini. Lalu,
apalagi?
Ternyata, benar.
Aku tidak bisa memahami pikiranku sendiri, bahkan untuk memikirkan
Adith seperti biasa pun aku susah. Banyak sekali memori bahkan beban
yang melintas. Kekhawatiran akan kesanggupan dan tanggung jawab
kesetiaan adalah hal-hal yang menjadi komitmen.
Memang, komitmen yang dimiliki oleh Adith sungguh besar. Dan aku
percaya bahwa tidak akan ada perempuan bahkan siapa pun yang
mendekatinya selain aku, keluarganya, dan rekan kerjanya. Toh aku
mengenali rekan-rekannya, kok. Lalu apalagi?
Aku bahagia mengenal Adith. Pria dengan gelar dokter gigi yang sedang
melanjutkan studinya ke Tokyo itu adalah satu-satunya pria yang tidak
pernah menjanjikan aku apa-apa selain masa depan dan kebahagiaan selagi
ia masih bisa membahagiakanku. Aku pun tidak pernah meminta hal-hal aneh
dan aku tak pernah merogoh kantongnya untuk kepentinganku sendiri.
Tujuh bulan setelah kami berpacaran, Adith kembali ke Indonesia untuk
berlibur sejenak dari studinya. Ia sengaja menemuiku dan orang tuaku.
Untuk pertama kalinya, seorang pria menghampiriku dan meminta izin
kepada orang tuaku agar ia diizinkan untuk menjalin hubungan denganku.
Ibuku tidak berkata apa-apa, begitu juga dengan ayah. Mereka hanya
menitip pesan agar Adith menjagaku hingga kapan pun, memintanya untuk
tidak menyakitiku dan menuntunku untuk menjadi wanita yang baik
seutuhnya. Adith pun menyanggupi.
Masih terngiang di telingaku apa saja yang Adith katakan saat itu dan
apa yang ia lakukan padaku. Adith mengatakan bahwa ia akan mencintaiku
secinta mungkin, sesekali ia mencium keningku dengan lembut dan
menggerai rambutku. Kami tertawa geli di bawah langit malam itu. Tidak
ada yang lain selain kami. Hanya desiran ombak dan hembusan angin laut.
Sesekali terdengar gesekan anak kepiting melintas.
“hihihihi” aku tertawa geli dan Adith memelukku, erat.
—
Adith berkemas dan siap berangkat. Aku memandangi punggungnya dengan
kerisauan. Entahlah, aku rasa akan ada kerinduan yang dalam di antara
kami. Aku apalagi. Aku mengelus dada dan berusaha kuat. Bola mata Adith
mengarah padaku, menatapku dalam dan tersenyum. Aku tahu, Adith tidak
rela meninggalkanku.
Usia hubungan kami menginjak satu tahun. Satu tahun tanpa jarak dan
tanpa perdebatan. Tidak satupun hal yang kami jadikan alasan
pertengkaran. Kami bahagia. Kami bahagia jika kami bersama.
Adith memelukku untuk yang keberapa kalinya. Aku tahu, ia akan
merindukanku di setiap waktunya. Wajar saja, selama ini akulah yang
selalu menemaninya sesibuk apapun. Ah. Aku meminta kesabaranku
ditambahkan lebih lebih lagi, Tuhan.
“Jaga diri kamu baik-baik, Sa. I’ll be missing you every second. I
miss you, I’ll miss you. Don’t worry, I won’t make you sad and cry. I’ll
be back soon, and marry you. Don’t worry, Hun.” Adith menggenggam
tanganku erat dan merangkul hingga menyentuh dadanya.
“Yakinkan aku bahwa kamu ga akan kecewain aku, Dit. Buat aku percaya
bahwa kamu gak akan nyeleweng dengan perempuan lain, bahkan dengan
mantan-mantan kamu. Aku tunggu kamu sampai dua tahun. Doakan selalu
hubungan kita. Aku sayang kamu.” Aku menangis dalam pelukan Adith. Aroma
vanilla-nya sungguh melekat dalam tubuhku. Aku tidak akan lupa dengan
aroma ini, bagaimana pun.
Adith pun terbang ke Tokyo.
Sampai jumpa, sayang.
—
“Dr. Sesa Paramitha” panggil seorang suster di bagian informasi di sebuah klinik tempatku bekerja.
“Ada apa, suster?”
“Ada telepon dari Dr. Adith”
Aku tersenyum, segera aku jawab sapaan dari telepon.
“Halo ibu dokter, apa kabar?” suara Adith terdengar lebih berat.
“Halo! Kamu sakit? Aku baik-baik aja. Kenapa gak nelfon ke handphoneku aja sih?” dengusku.
“Aku lagi gak pake handphone, aku lagi kurang fit, jadi aku
mengurangi pendengaran dari speaker handphone. Kamu baik-baik aja kan?
Kerjaan juga kan?”
“Kamu bawel! Aku udah berapa kali bilang jaga makan dan kurangi
minuman dingin, katanya kamu dokter tapi kamu sendiri sakit. Pasien
lebih membutuhkanmu! Ya, ya, ya… pekerjaan dokter begini-begini saja.
Aku baru saja memeriksa kandungan pasien.”
“Siap bu dokter! Ok kalau begitu, selamat bekerja my endless love.”
Adith mematikan teleponnya. Ada rasa bahagia yang bergetar. Aku
merindukanmu, Dit.
Siang ini klinik tampak sepi, apa ibu-ibu hamil tidak merasakan getaran dalam perutnya?
Sesaat mataku tertuju pada bingkai-bingkai yang berada di atas meja
kerjaku. Ya, pria itu memang selalu tersenyum kapanpun. Dan kuarahkan
pandanganku pada bingkai paling besar yang tergantung di tembok belakang
tubuhku. Ah. Adith memang pria idaman. Wajahku dan wajah Adith di foto
itu sungguh bahagia. Aku ingat, kami saat itu sedang berada di Bali.
Liburan akhir tahun di saat anniversary hubungan setahun kami.
Kapan pulang, Dit? Aku mendengus sabar.
—
Untuk pertama kalinya kami bertengkar. Tidak ada komunikasi antara
aku dan Adith. Ini memasuki hari ketiga kami tidak bertegur sapa melalui
telepon genggam. Apa yang terjadi sebenarnya?
Aku menganggap ini semua adalah kesibukan Adith yang tak sempat
mengabariku, bahkan tidak satupun pesan yang ia balas. Aku mencoba
menganggapnya enteng. Keadaan akan berakhir, aku percaya itu.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Konsentrasiku buyar, ada hal lain yang
aku pikirkan selain pasien yang memasuki usia kandungan ke 8 ini. Aku
benar-benar lelah. Aku memutuskan untuk menutup klinik dan pulang ke
rumah. Aku yakin akan menemukan ketenangan disana meskipun keberadaan
Adith tak ada.
From: Sesa
To: Adith
Adith. Kamu dimana? Balas pesanku. Aku merindukanmu, sayang.
Cepat ku-klik tombol send dan aku menghela nafas. Semoga Adith
membalasku, setidaknya ia ingat bahwa ini adalah tanggal jadian kami.
Tepat satu setengah tahun usianya. Dan kami tetap terkurung jarak. Aku
menatap kosong langit kamar, menunggu pesan hingga tertidur.
From: Adith
To: Sesa
Selamat malam sayang, maaf kesibukanku membuatmu khawatir. Aku juga
merindukanmu. By the way, I love you so much. Selamat satu setengah
tahun, calon istriku!
Aku terbangun dan melihat pesan dari Adith. Syukurlah, legaku. Aku tahu, Adith tidak akan lupa.
—
Entah mengapa, hubungan kami tak sebagus dulu. Kami mulai sering
melakukan perdebatam yang tak penting dan membuat keduanya kesal. Aku
memecah tangis dalam kerinduan dan Adith lebih memilih diam. Ia tak
pernah bisa menjawab pertanyaanku.
“Kapan kembali? Ini sudah memasuki dua tahun. Mana kepulanganmu tak
juga aku temui?” tanyaku keras pada Adith. Adith tak pernah bisa
menjawab. Aku memilih untuk sabar.
Hari demi hari berlanjut. Adith tak juga bisa menjelaskannya. Atau sebaliknya, atau bagaimana, aku tidak mengerti.
“Dit! Kamu gak bisa terus-terusan menggantungkan hubungan kita yang
sudah memasuki dua tahun lebih. Sudah dua tahun kamu berada di Tokyo,
tidak pulang dan jarang sekali menghubungiku. Apa yang terjadi?”
Kudengar ia menarik nafas sedalam-dalamnya.
“Entahlah, Sa” Adith menjawab. Akhirnya, ia menjawab setelah
berbulan-bulan pertanyaanku tak pernah terjawab. Meskipun kegelisahan
dan kebingungan terselimuti dalam pikirannya, aku kenal jelas bagaimana
Adith.
“Aku gak bisa, Sa. Aku gak bisa terus-terusan begini.”
“Begini bagaimana, Dit?” Suaraku semakin bergetar. Aku meremas selimutku dan berharap bahwa aku baik-baik saja.
“Karena orang lain? Karena perempuan Tokyo? Atau mantanmu?”
Aku semakin berkeras.
“Lalu mantanmu memintamu untuk memutuskanku dan kembali padanya? Dia lagi? Mau apalagi dia?”
Tubuhku semakin bergetar. Ya Tuhan, apakah ini waktunya?
“Bukan.”
“Lalu? Perempuan Tokyo?”
Adith tersentak. Tidak kudengar suaranya, bahkan hembusan nafasnya. Adith. Kamu kenapa?
“Sesa!” Adith mengejutkanku.
“Kamu terlalu jauh buat aku. Tokyo-Indonesia begitu jauh! Aku ga bisa!”
Aku terkejut. Aku memejamkan mataku, menahan tangis dan rasanya
kedongkolan dalam hati ini semakin besar. Aku melupakan derajatku
sebagai wanita. Tidak, biarlah kali ini aku mengemis untuk kepentingan
hati. Bukan, ini tentang aku dan Adith lebih tepatnya.
Aku merasakan kamar ini berputar dan segala isinya roboh tak tentu
lagi bagaimana bentuknya. Aku merasakan sinyal-sinyal kekalahan akan
menghampiriku. Aku tidak boleh menyerah.
“Jadi, hanya karena itu?”
“Ya. Jauh. Jauh. Jauh. Jauh. Sangat jauh.” Adith menghela nafas.
“Kamu harus tahu, pria mana yang tidak tergoda melihat wanita lain
berada di sampingnya. Aku mencoba setia, namun manusiawinya adalah pria
butuh pengertian wanita secara nyata.”
“Adith… kamu…” aku kembali menangis.
Lalu kenapa kalau berjauhan? Apakah perhatian dan pengertianku kurang
selama ini? Apakah ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini?
Adith kembali tak bersuara. Atau sebaliknya atau bagaimana, aku
mengetahui penjelasannya. Ia percaya bahwa pria membutuhkan wanita.
Apakah ia tak tahu bahwa wanita membutuhkan hal yang sama? Dokter gigi
satu itu konyol. Aku mencoba menghibur diri.
“Dit, kamu harus tahu bahwa aku juga membutuhkan hal yang sama. Namun
aku memilih menunggu dalam kesetiaan dan bersedia menunggu hingga kau
pulang. Apa yang aku dapat setelah sekian lama aku menunggu? Hanya
kekecewaan dan kebohongan yang aku dapatkan.”
“Sesa..”
“Kau bilang akan menikahiku setelah studimu lulus, dan kau akan
pulang dengan segera. Aku mempercayai segala ucapanmu yang mengatakan
tak pernah akan mengecewakanku dan membuatku sedih. Namun dalam tiga
bulan terakhir ini hanya tangis dan kekecewaan yang kau hadiahkan.
Apakah itu kurang sakit? Lalu kau ingin lebih dari itu?”
“Sesa. Maafkan aku.”
Sinyal terputus. Tidak ada lagi yang bisa kudengar. Hanya kegelisahan
dan angin malam yang tak pernah bisa menggantikan keadaanku mala mini.
Aku meminta pertanggungjawabanmu atas cinta yang aku simpan untukmu.
Tapi sama sekali tak kau risaukan. Entahlah, aku seperti menuntut atas
hal ini. Wajar saja, kan?
Jauh. Jauh. Dan jauh. Hanya itulah yang ada di pikiranmu. Harusnya
aku yang mempermasalahkan itu semua, bukan kamu. Dan seharusnya jarak
tak menjadi masalah bagi pasangan yang percaya bahwa kesetiaan itu
adalah kenyataan.
—
Enam bulan sudah lamanya hubunganku dan Adith berakhir. Aku dengar,
Adith kembali ke Indonesia bulan depan. Ia telah menyelesaikan studinya
dan ia menggunakan waktu sebulan untuk berlibur di China. Bersama siapa,
aku tak tahu dan tidak akan pernah tahu lagi.
Apa kabar, Dit?
Aku mengadah pada langit biru yang sekiranya bisa menyampaikan salamku pada Adith.
Aku tahu, Adith merindukanku juga.
—
Aku memperhatikan seluruh isi rumahku. Ini adalah rumah yang baru
saja aku beli dengan penghasilanku bertahun-tahun menjadi dokter. Rumah
minimalis dengan halaman yang luas menjadikan rumah ini nyaman dan
bersuhu dingin.
Aku duduk di cafĂ© table di pantry. Hah… seandainya Adith disini
bersamaku, pasti kami tengah bercerita mengenai pola hidup sehat dan
keturunan yang baik. Dan sesekali kami membahas tentang rencana masa
depan dan anak-anak kami kelak. Sayangnya, itu hanyalah bayangan yang
hanya selalu menjadi bayangan. Tanpa realisasi. Apa kabar, Adith? Aku
meneguk cappucinno hangatku.
“Ses, ada salam dari mamanya Adith. Sore ini beliau ngajak kamu makan
disana.” Ibu menatapku dan tersenyum. Ada kecemasan dibalik senyum Ibu.
Ya, aku tahu itu.
Aku mengangguk. Aku anggap saja aku akan menghadiri undangan dari
keluarga Adith. Entah ada rencana apa, aku tidak mengerti. Semoga saja
aku bisa bertemu Adith.
Di rumah Adith, aku menemui Bu Resni, ibunya Adith. Ada Nela juga,
adiknya Adith. Rumah ini masih seperti pertama kali aku kesini, sepi,
hanya ada kicauan burung peliharaan Adith dan ayahnya. Masih ada lukisan
yang dilukis oleh Adith di ruang tamu. Masih ada Moly, kucing
peliharaan Nela yang selalu menggemaskan. Aku memilih untuk
berbincang-bincang dengan Bu Resni di teras rumahnya.
Sebuah mobil CR-V berwarna hitam berhenti di depan rumah. Turun
seorang pria dengan kemeja biru membawa tas kerja. Aku menarik nafasku
dalam-dalam. Ya Tuhan, apa kabarnya sekarang? Pria itu menutup pintu.
Dan… AH! Siapa itu?
Adith membuka pintu mobil sebelah kiri dan kulihat high heels
berwarna biru tua dan betis yang putih. Kutenangkan pikiranku, kembali
aku berbincang-bincang dengan Bu Resni. Pikiranku entah kemana. Ingin
aku pulang, namun rasa segan menghampiriku.
“Kalau aku jahat, aku akan pergi dari sini. Ini adalah bentuk
penghormatanku kepada Bu Resni, kau mengecewakanku, Dit.” Kesalku dalam
hati.
“Adith, kamu sudah sampai, Nak.” Bu Resni memeluk Adith. Adith
mencium tangan ibunya. Perempuan di sebelahnya terlihat anggun dengan
senyumnya.
“Aku rasa wanita ini berkelas dan sosialita sekali.” Pikirku keras. Aku menebar senyum palsu di depan keduanya.
“Eh, Ses. Apa kabar?”
“Baik”
“Ma, kenalin. Ini Rana.”
“Rana” Ia tersenyum di depan Bu Resni. Begitu sebaliknya.
Hatiku semakin sakit ketika melihat Adith mempersilahkan Rana masuk, dengan tangannya yang melingkar di pinggang Rana. Sakit.
Nafsu makanku menghilang. Kepalaku berputar-putar. Kakiku sulit
digerakkan. Aku merasakan titik rendahku kembali. Aku merasa sulit
bernafas, ditambah melihat kemesraan Adith dan Rana di meja makan.
Aku memilih pulang lebih dulu dengan alasan akan ada keluarga yang
ingin datang ke rumah. Adith mengantarkanku hingga depan pintu.
“Dit. Itu pacar baru kamu?”
“Hm.. bukan, Sa… ah ya begitulah” Adith berusaha menghindar.
“Mesra ya?” Aku mengulas senyum.
“Ah. Tidak. Sa, kamu pulang sendiri?”
“Ya. Rumahku sudah pindah.”
“Sa. Maafkan aku.” Adith berusaha meraih tanganku.
“Buat apa?”
“Semuanya.”
“Sudahlah, lupakan. Apa kau dan Rana juga LDR?”
“Hm.. Iya, Sa.”
“Oh. Katamu tak sanggup LDR? Lalu ini apa? Memang benar adanya, bukan
hanya jarak yang memisahkan kita ya, namun juga hati yang tidak pernah
mencintai dengan tulus dan ketidaksabaran yang kau miliki.
Berbahagialah.” Aku melangkah menuju mobilku. Deru tangisku didengar
oleh Adith namun tak ia gubris sedikit pun.
Ya, begitulah cinta. Ada kebohongan di dalamnya. Aku memilih untuk
pergi, bahkan aku harus melupakan. Apa gunanya kesetiaan? Jika
dikhianati dengan kebohongan. Rasanya klasik, diputuskan kekasih hanya
karena jarak dan ternyata ada permainan di baliknya.
Aku sudah berkali-kali disakiti, lalu ini kejadian menyakitkan yang keberapa kalinya?
Aku tak pernah percaya bahwa cinta itu adalah hal abadi yang dimiliki
sepasang manusia. Cinta itu konyol. Harusnya, cinta itu dijalani dengan
sabar dan ikhlas.
Sejak saat itulah, aku mencoba tidak begitu mempercayai perasaan.
Bahkan aku tak ingin sembarangan mengucap cinta. Tidak ada lagi yang
bisa kupercaya. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke
udara dalam hitungan detik.
Rasanya aku mati rasa. Tidak ada lagi perasaan cinta yang aku miliki
untuk saat ini. Entah kapan bisa aku kembalikan keadaanku. Semua terasa
menyakitkan, Adith, Rana, Jakarta, Tokyo, bahkan semuanya.
Kupijak pedal gas sekuat-kuatnya. Aku berharap aku bisa keluar dari sini. Keluar dari kehidupan Adith.
0 komentar:
Posting Komentar