“Kau tahu, nak. Aku telah mengorbankan perasaanku untuk
menikahi si Sugeng sebagai bapak kamu, tujuannya apa ta nak, biar bisa
membiayai hidupmu, biar kamu gak hidup di panti Asuhan lagi, terimalah
dia sebagai bapak kamu ya, nak” Ibuku yang telah menyandang status janda
memelukku dan merembeskan air matanya, memintaku untuk menerima Pak
Sugeng sang juragan proyek sebagai ayahku. Hatiku benar-benar runtuh,
dalam fikiranku yang masih labil, bagaimana bisa ibuku menerima
seseorang yang tak dicintainya, hanya dijadikan sebagai tulang punggung
keluargaku, yang selama ini biaya sekolahku dan adik-adikku, pamankulah
yang menanggungnya setelah ayahku meninggal 2 tahun yang lalu, ah
meninggal yang cukup menyedihkan, meninggal di suatu pulau Batam yang
mayatnya tak di ketahui oleh ibuku, betapa hebatnya tangisan ibuku saat
itu setelah teman ayahku memberitahukan berita duka kepada keluarga kami
atas kecelakaan yang menimpa ayahku, ahh! Peristiwa itu membuat air
mataku keluar, setiap ku mengingatnya, ayahku yang sangat aku cintai
itu, yang sangat aku banggakan bagaikan pahlawan yang menyerang tentara
jepang saat peristiwa Bandung Lautan Api. Aku masih terdiam sampai ibuku
meninggalkanku sendiri di kamar rumahku.
2 bulan kemudian…
Aku mempunyai ayah baru sekaligus adik perempuan baru yang di bawa dari
ayah tiriku, Mala, umurnya 2 tahun di bawahku, anaknya cantik, rambutnya
panjang rebondingan, kulitnya mulus penuh perawatan, maklum keluarga
dari orang kaya, aku benar-benar belum bisa menerima mereka sebagai
keluargaku, entah sampai kapan waktu kan membawaku untuk menerima
mereka.
Saat aku pulang sekolah dan memarkirkan sepeda kuningku di samping
rumahku, Ayah tiriku menghampiriku di beranda rumah ketika aku
mengendorkan punggungku di kursi.
“Sal, bapak mau membelikanmu motor” aku tak bergeming sama sekali.
“Bapak merasa kasian lihat kamu, selalu capek pulang pergi ke sekolah naik sepeda ontel, kamu pengen motor apa?”
“Ah, gak usah lah pak, terlalu berlebihan. Lagipula bapak kemarin udah
membelikan kulkas baru, tv baru, juga PS baru untuk Mala, gak perlu lah
bapak ngeluarin duit lagi buat motor baru” ini berlebihan bagi aku,
jujur entah kenapa aku gak suka hidup seperti ini, ketika itu juga aku
rindu sekali sama bapak kandungku dulu yang selalu mengajariku hidup
kesederhanaan, aku sangat tidak setuju terhadap hidup bapak dan adik
tiriku yang terlalu mewah.
“Halah, gak apa apa lah nak, selama semua ini untuk keluarga kita supaya
kita bahagia nak, ayo aku punya brosur motor buat kamu lihat, kamu
milih yang mana?, vixion, tiger?, coba kamu lihat dulu, bapak yakin kamu
suka” bapak itu tetap bersikeras menawari kemewahan dengan dalih
kebahagiaan, tapi sayangnya hal itu sama sekali tak membuatku bahagia,
aku tetap menolak keinginan bapak itu, dan meninggalkannya sendiri di
beranda rumah. Ketika ku memasuki ruang tengah, aku benar-benar tak
nyaman dengan keadaan semua ini, apa-apaan ini, kudapati Mala yang asik
bermain PS barunya dengan pakaian yang tidak sopan!, aku hanya
geleng-geleng kepala mendapatkan seorang ayah tiri dan adik tiri yang
bobrok akan kesopanan, saat itu juga ku kemasi baju-baju seperlunya dan
buku-buku sekolah ke dalam tas ranselku, niatku telah bulat, aku tidak
betah tinggal di rumah asing ini walaupun ku tahu ini rumahku, aku ingin
kembali ke sebuah panti asuhan, dan dengan sedikit kedamaian yang
menyelimutiku, aku bisa bergabung bersama anak-anak yang miskin kasih
sayang, mengajari mereka membaca kitab Al-qur’an, menceritakan mereka
tentang kisah-kisah nabi. Biarlah jika mereka tahu bahwa aku adalah anak
panti asuhan yang sama derajatnya dengan orang-orang miskin dan gagal
akan hidup.
—
“Kang Faisal!” suara Neng Ratih memanggilku dari belakang. Dia adalah
keponakan dari pengasuh pondok Al-iman yang pondoknya berjejer dengan
panti asuhan tempatku mengajar anak-anak miskin kasih sayang.
“Iya neng”
“Loh, akang kenapa balik kesini? Bukannya hidup akang sekarang udah
enak?, kok masih mau jadi dermawan di panti ini?” neng Ratih rupanya
mengerti tujuan kedatanganku karena melihat tas ranselku yang biasa ku
gunakan untuk mengemasi pakaian-pakaianku ketika ku bolak-balik ke
rumah.
“Hehehe. Halah gapapa lah neng, kebahagiaanku itu hidup bersama mereka”
kataku sambil melirik anak-anak panti ketika mereka bermain di taman.
“Oalah kang, ah wes ah, aku maleh mundak gak paham apa seng saman
maksud, aku pamit balik dulu ya kang, abah kayaknya nyariin aku.
Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam wr. wb.” aku tersenyum sendiri melihat ke anggunan
keponakan pengasuh pondok pesantren itu. Rasa bahagia mengalir begitu
saja, apakah Allah memang sengaja mengirim bidadari cantik itu di
tengah-tengah kehidupanku.
Aku jadi teringat ketika aku berdoa kepada Allah di sepertiga sholat
malam tahajudku, ketika itu aku berdoa agar mengirimkan seorang gadis
untuk menemaniku sampai akhirat nanti. Rupanya keesokan paginya, aku
melihat neng Ratih yang pindah ke pondok itu untuk membantu Pamannya
sebagai pengasuh di ndalem, dan sore harinya neng Ratih datang ke panti
ini untuk mengenalkan dirinya sebagai tetangga baru, saat itulah aku
berkenalan dengan neng Ratih, ketika itu juga ku merasakan kenyamanan
mengalir begitu saja setiap memandang wajahnya, kebahagiaan tersendiri
yang tak bisa diuraikan dengan argumentasi apapun, tak lama perkenalanku
dengan dia, kami sudah begitu akrab, dari sifatnya yang begitu ramah,
aku yang selalu pendiam ini tak percaya kalau aku mempunyai teman gadis
dari nashab keluarga terpandang, jauh sekali jika dibandingkan dengan
keluargaku, lantas apakah neng Ratih jawaban atas doa’ku semalam itu?,
hahahah rupanya begitu konyol jika ia benar-benar jawaban atas do’a do’a
ku di sepertiga malam. Dasar sang pungguk lapuk mengharap bulan!
Hari demi hari ku jalani hidupku di sebuah panti asuhan ini, entah
bagaiman kehidupan keluargaku di sebrang sana, hanya kadang kala jika
aku merindukan ibukku, aku menelfonnya walau hanya menanyakan kabar
Fadil, satu-satunya adik kandung kecilku yang saat ini duduk di Taman
Kanak-kanak, sudah berkali-kali ibuku mengharapkanku untuk kembali ke
rumah, tapi keteguhanku selalu meyakinkan ibuku jika aku disini
baik-baik saja, yaah begitulah alasan yang aku lontarkan setiap kali
ibuku mengharapkanku pulang.
“Akang” suara menyejukkan hati memecahkan lamunanku ketika ku melamunkan ibuku.
“Oh, loh. Neng Ratih” jawabku agak sedikit gugup karena konsentrasiku belum sepenuhnya berkumpul menjadi satu.
“Kang Fais mikirin apa lo?, dari tadi Ratih lihat kok murung terus?,”
tanya Ratih polos, wajahnya begitu anggun dengan balutan jilbab biru
muda yang selaras dengan gamis yang ia kenakan.
“Hehe, enggak kok neng”
“Oh, akang setelah lulus ini mau melanjutkan kemana?” jeddar!!
Pertanyaan Ratih seperti menghujamku, sebuah pertanyaan yang harus ku
peras otakku untuk menemukan jawabannya, karena selama ini aku belum
memikirkan apapun tentang apa yang aku tempuh setelah lulus SMA ini yang
tinggal beberapa gelintir bulan saja, karena beberapa alasan yang
membuatku tak ingin memikirkannya, yah! Beberapa alasan.
“Belum aku fikirkan neng,” jawabku jujur, entah kenapa jika aku di
hadapkan dengan gadis asli kediri ini aku selalu terbuka dengannya, tak
pernah aku tertutup padanya, hanya karena satu alasan aku merasa gadis
inilah yang mampu mengerti aku, hingga aku nyaman tanpa alasan yang
pasti.
“Loh, kok gitu ta kang?, memang akang kepengen kuliah di mana?” jawaban
yang ingin rasanya ku lewati saja jika itu adalah sebuah pertanyaan
essay di ujian harianku Sosiologi, tapi sayangnya kehidupanku tak
semudah dengan imajinasi blo’onku.
“Aku gak pengen kuliah neng” jujur! Tanpa meleset ke jurang kebohongan sedikit pun.
“Loh? Ada apa lo kang?, ga sayang toh?, sering juara pararel terus akang
juga pernah ke luar kota ikut olimpiade, kok gak meneruskan sekolahnya
ke jenjang perguruan tinggi, ah pasti bohong nih akang”
“Hehehe, enggak neng, aku ingin kuliah, tapi rasanya aku tidak mungkin”
“Apanya yang tidak mungkin?” Ratih terus mengejarku dengan beribu pertanyaan.
“Aku tidak mau memakai uang bapak untuk membiayai kuliahku, itulah
alasannya kenapa aku belum memikirkan kuliahku, neng. Aku merasa aku
baru bisa kuliah jika aku benar-benar mampu membiayai kehidupanku dan
kuliahku dengan jerih payahku sendiri, aku tak perlu mewajibkan bapakku
itu untuk membiayaiku, tak perlu!” jawabku yang membuatku sakit sendiri
sampai ke ulu hati.
“Jadi selama ini, akang belum menerima beliau sebagai bapak kamu?”
“Jujur, belum bisa neng”
“Oh, menyedihkan” sepertinya Ratih mampu membaca kode perasaanku hingga ia mampu merasakan apa yang aku rasakan.
“Tapi aku selalu berusaha untuk kuliah semampuku, dengan peluhku
sendiri” jawabanku meyakinkan diri, semata-mata juga meyakinkan gadis
yang ada di sebelahku bahwa aku mampu.
“Bagaimana bisa kang?” pertanyaannya sama seperti pertanyaan fikiranku yang terlemparkan pada otakku.
“Waallahu’alam”
“Oh ya akang. Aku punya kakak yang sekarang kuliah S1 nya di Kalimantan
Timur, daerah Mahakam, mungkin akang bisa ikut dengannya, gak usah
khawatir soal biaya deh! Akang kan pinter, aku yakiin 100 % kalau akang
bisa mengajukan beasiswa disana, gak cuma beasiswa pendidikan, tapi
beasiswa hidup juga banyak disana” kata-kata Ratih bagaikan api unggun
yang mengobarkan jilatannya saking semangatnya.
“Kagak enak neng, ikut orang, nambah repot orang”
“Enggak, kang. Malah kakakku sering mengeluh karena ia selalu merasa
kesepian tinggal di rumah yang selalu di tinggal sama orang tuanya ke
luar kota. Kakakku pasti seneng sekali mendapat teman seperti akang”
“Ah, neng berlebihan. Hehehe,” Ratih sangat menyemangati aku untuk
meneruskan kuliahku, dan selalu berantusias agar aku menerima tawarannya
untuk tinggal bersama kakakknya, aku sampai tak enak hati dibuatnya,
sampai-sampai setiap kali Ratih chatting face to face dengan kakaknya
lewat ipadnya ia selalu menunjukkanku dengan dalih mengakrabkanku dengan
kakaknya…
3 bulan kemudian…
Ku jatuhkan tubuhku di atas kasur sederhana. Ku kendorkan otot-ototku
yang terasa tegang setelah seminggu berkutat dengan masa OSPEK. Ya,
sekarang aku berada di pulau terjauh dari rumahku, terjauh menurutku.
Neng Ratihlah yang membawaku menjelajahi Pulau Kalimantan ini hanya
mencari sebuah gelar S1 yang menurutku entahlah apakah terlalu berguna
di dunia pekerjaan nanti yang tidak terlalu mendominasi keberhasilan
mendapatkan pekerjaan setelah UANG. Saat ini uanglah yang dapat
mensukseskan manusia di negeri ini, uanglah yang dapat mengangkat gelar,
yah uanglah yang dapat membahagiakan semua orang yang mata duitan,
sebuah kebahagiaan yang menurutku gombal, tetapi itulah negara ini, dan
aku hidup di negara ini, negara yang menjunjung kemenangan bagi yang
beruang, tak mungkin negara yang beradaptasi dengan fikiranku yang tak
bermodal, bagaimanapun juga akulah kelak yang harus beradaptasi dengan
aturan-aturan dunia kerja yang jauh dari simbol burung bertoleh kanan
yang biasa di pajang di tembok tiap kelas SDku. Lantas apa modalku yang
bisa mensukseskan aku? Rupanya aku terlalu pessimis jika aku hanya
mengandalkan otak udangku yang tak bermodal, ahh udahlah aku terlalu
capek memikirkan masa depanku yang bagaikan tubuh tanpa tulang belulang,
yah! Setidaknya aku harus bersyukur aku bisa menjejakkan kuliahku di
sebuah di universitas Kalimantan, walaupun ini masih bagian start. Ya
kumulai perjalananku dari sini. Suara adzan magrib berkumandang, sekilas
ku langsung bergegas mencari air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat
magrib.
Assalamu’alaikum warohmatulloh,
Assalamu’alaikum warohmatulloh
Ku selesaikkan duduk attahiyat terakhirku dengan khusu’, ingin rasanya
aku memeluk ibuku saat ini juga, ku tadahkan kedua tanganku dan
mendoakan keselamatan kedua orang tuaku, almahum bapakku, ibuku yang
jauh disana, serta adikku yang paling aku sayang, ya Allah lindungilah
mereka..
Tak lupa aku bersyukur kepada Allah telah mengirimkanku keluarga Ratih
di tengah-tengah kehidupanku, mereka bagaikan malaikatku, mereka yang
membuatku hingga aku bisa meneruskan studiku disini. Sejenak kujatuhkan
tubuhku di atas sajadah panjang hingga basah seluruh wajahku merasakan
sesak kehidupan ini. Dan aku tertidur lelap…
4 tahun kemudian…
Suara aliran damai menemaniku di tanah lapang ini, eah tak ku fikirkan
hidupku kan menjadi seperti ini, bertahun-tahun dalam pulau besar ini,
tak ada keluarga, tak ada keramaian yang mendamaikanku, mungkin tanah
ini sudah mempunyai kedamaian dengan cara mereka sendiri, dan tinggal
aku saja yang berdiri bagai setonggak kayu dalam pasir yang gagal
menegakkan tubuhnya karena angin terus bertiup menghujamnya hingga
membengkokkan badannya ke arah timur. Mungkin kalau bukan karena Neng
Ratih, seorang gadis yang sangat aku hormati menyuruhku untuk meneruskan
pendidikanku setelah lulus SMA, aku tak akan terbang menuju Pulau
Kalimantan untuk mendapatkan beasiswa di salah satu universitas di
Mahakam dan menyambi untuk bekerja di sini. Tak ada fikiran sedikitpun
aku bisa menjadi seorang mahasiswa.
Hahaha, rasanya ingin tersenyum lepas mengingat kejadian 4 tahun silam,
dimulai dari ibukku yang menikahi seorang mandor proyek, kehidupanku
bersama ayah tiri dan adik tiri, hidupku di panti asuhan, perkenalanku
dengan neng Ratih, semuanya ku ingat utuh dalam memory kecil Tuhan di
otakku, rupanya narasi kehidupan Tuhan sungguh amat tak terduga.
Bolak-balik kubaca e-mail dari paman Ratih pada laptop kecil di
pangkuanku, e-mail yang bermaksud memintaku untuk menikahi si Ratih, aku
tak percaya dengan ini semua, tapi aku percaya hadiah Tuhan benar-benar
ada, aku sangat bersyukur atas semua ini, ini adalah start hidupku
memulai perjalanan hidupku yang benar-benar aku lalui dengan tubuhku
sendiri bersama orang yang sangat aku hormati, ya paman Ratih telah
mengizinkan Ratih tinggal di pulau ini kelak menemaniku melanjutkan
studi S2 ku. Dan yaa, aku telah dipercaya menjadi dosen di tempatku
kuliah, dan aku telah mendapatkan beasiswa serta sedikit rezeki dari
hasilku menjadi tutor. Beribu-ribu ucapan syukur rupanya tidak cukup
untuk mengungkapkan kebahagiaan ini, narasi Tuhan benar-benar luar
biasa, keajaiban Tuhan benar-benar ada.
Kini ku siap melangkahkan kakiku menuju bandara yang akan menerbangkanku
ke pulau terpadat di Indonesia untuk menjemput impian, cintaku dan akan
membawaku menuju arsy untuk menyempurnakan setengah agamaku.
Bismillahirrohmanirrohim kumulai hidup baruku mulai detik ini.
- End -
Cerpen Karangan: Nita Durotul Husna
Blog: nitadurotulhusna.blogspot.com
Facebook: Nietha Ssie’cenat-cenut
0 komentar:
Posting Komentar