Terbangun ia dari tidurnya yang pulas. Sontak ia berteriak dengan kencang.
“Puisi itu, puisi itu, sampul kuning itu…!”
Kaget bangkit. Matanya jalang mengitari seputarnya. Seolah ada kekuatan dari dalam.
“Mana anak itu? Mana?”
Suaminya
sontak terbangun. Kelopak matanya langsung menyorot tubuh istrinya yang
sempoyongan namun memaksakan diri. Segera ia cegah istrinya yang segera
keluar meninggalkan kamar.
“Hastuti, sadar Hastuti, ini masih pagi. Apa yang akan kau lakukan? Kau bermimpi lagi? Tanya Hendro sang suami.
“Aku yankin kalau mimpi itu nyata. Karea sudah beberapa hari ini ku bermimpi tentang kelakuan anak itu!” jawab Hastuti.
“Mimpi itu bunga tidur Hastuti, kau terlalu mempercayainya. Dan rasa
kecurigaanmu itu yang menjadi momok dihidupmu sendiri.” Jelas Hendro.
“Tidak, dia memang anak tak tahu diuntung. Anak durhaka, kurang ajar.” Jawab istrinya dengan membentak.
“Sudah Hastuti cukup. Aku bosan. Setiap pagi harus mendengar ocehanmu itu. Cobalah berfikir positif Tuti!” lanjut Hendro.
Hastuti
terdiam sketika. Dengan jantung yang berdetak tak beraturan dan dengan
nafas yang terengah-engah, dia terduduk di kasur tipis yang ditopang
ranjang tua.
Setiap malam Hastuti bermimpi bahwa anaknya menjadi
penulis puisi terkenal. Dalam mimpinya selau ada puisi bersampul kuning
yang sering dibuat anaknya. Ia tidak bisa membayangkan. Jika anaknya
terus-terusan membuat puisi, ia akan dikucilkan dari desa.
*****
Terdengar suara kaki yang perlahan semakin mendekat.
“Ayah, Ibu, ini aku bawakan air putih!” kata Resi anak sematang wayangnya.
“Ini yang kau bilang anak kurang ajar. Ia sopan,ia baik.” Jelas suminya.
“Heemh,
dia anak yang sudah membuat kita malu. Karena dia kita hampir diusir
dari sini. Resi,Resi, jadi anak kok susah dinasehati sih.” Kata Hastuti
sambil mendorong kepala Resi dengan telunjuknya.
Dengan mata
berkaca-kaca, ia memandang ayahnya. Tatapan ayahnya pun serba salah.
Saat ayahnya mulai membuka mulut untuk bicara, ia pergi meninggalkan
ayahnya.
Resi pergi meninggalkan rumah dan menuju ke sebuah gubuk.
Ternyata di sana ada semacam sekolah non-formal. Namun, tak ada satu
murid pun melainkan Resi. Awalnya banyak anak desa sini yang ingin ikut
bersekolah dengan Kanti. Seorang yang mengajar di sini. Namun hampir
seluruh orang tua di sini melarang anaknya untuk bersekolah. Mereka
berfikir bahwa sekolah tidak penting. Yang terpenting untuk anaknya
adalah mengajarkan membajak sawah dan berternak jika anak mereka lelaki.
Juga mengajarkan bersawah jika anak mereka seorang perempuan.. Dan
menikah ketika anaknya sudah akil balik. Hanya itu. Tidak lebih. Mereka
beranggapan sekolah hanya menghambur-hamburkan uang.
Mengenai
sekolah, apalagi cita-cita, itu jauh dari yang difikirkan. Sebagai
konsekuensinya, bagi anak yang melanggar, keluarga tersebut atau anaknya
saja akan dikucilkan.
Di sini Resi mempunyai hobi menulis puisi. Ia
ingin membuktikan pada orang tuanya dan warga desa bahwa sekolah itu
penting. Dan mempunyai cita-cita merupakan tujuan sekolah agar bisa
hidup dengan layak. Puisi buatan Resi memang indah. Ia selalu
megumpulkan uang untuk membeli kertas puisi, tinta pena berwarna dan
sampul kuning. Ayah Resi sebenarnya cukup bangga atas kemampuan anaknya.
Tetapi sebenarnya ia juga tak rela jika anaknya harus pergi dari desa
itu.
Pulang dari sekolah, ia membuat pisang goreng dan menjualnya.
Ibunya tersenyum mendengar Resi akan menjual pisang goreng. Saat selesai
berjualan, Resi menyerahkan uang hasil dagangan kepada ibunya yang
sebelumnya telah ia ambil sebagian untuk membeli peraralatan menulis
puisi.
Masuklah ia ke kamar dan mulai menggoreskan tinta berwarnanya pada kertas bergambar boneka.
“Andai aku adalah batu,
Yang keras dan selau diam membisu
Andai aku adalah pohon,
Yang tegar dan tak tergoyahkan
Andai aku adalah air,
Yang diam mengalir ke hilir.
Tapi,
Aku adalah seorang insan,
Yang lemah dan goyah,
Yang berdiri tegak karena paksaan,
Aku ingin seperti batu yang kuat,
Seperti pohon yang tegar,
Atau seperti air yang mengalir apa adanya
Inginku hanya sebatas asa yang tak terlepas dari Yang Kuasa”
Diletakkannya puisi itu dalam sebuah sampul kuning. Di pojok kamarnya, ada sebuah puisi yang selalu ia jaga.
Tiba-tiba, ibunya masuk.
“Oh,
jadi benar apa kata tetangga. Kau masih mempelajari puisi itu. Daripada
ibu yang harus pergi, lebih baik kau yang pergi. Pergi sana. Anak
kurang ajar.” Bentak Hastuti.
Dibereskan semua barang-barangnya serta
puisi-puisi sampul kuningnya. Tapi puisi di pojok kamarnya sengaja
ditinggalnya. Pergilah ia dari kampung itu. Ayahnya tak bis berbuat
apa-apa. Tujuan Resi satu-satunya, pergi ke gubuk tempat Kanti mengajar.
Kanti mengajak Resi pergi dari desa itu. Raut mukanya seolah berkata
‘kalian akan menyesal telah mengusir Resi’. Ketika mereka pergi,
masuklah Hendro ke kamar Resi. Ia menemukan puisi bersampul kuning di
pojok kamar. Dibacalah oleh Hendro.
“Ku seperti anjing yang hilang
Merengek menangis dalam hitamnya malam
Mencari setitik cahaya kedamaian
Langitpun menumpahkan isinya
Sang anjing berlari…
Sembunyi…
Dan merintih…
Ahh….
…
Bimbangku dalam keramaiannya,
Resahku dalam kegirangannya,
Begitupun sedihku,
Tawa buatmu.
Tapi sebaliknya…
Sedihmu, sedih buatku,,,
Tawamu, tawa buatku…
Biarlah ketidak adilan ini terus menyikraku
Sampai sang bayang menyadarinya…
Berkaca-kacalah mata sang ayah. Di balik puisi itu, ada tulisan lain bertinta merah tua. Hendro pun melanjutka bacaannya.
“Mengapa nasibku berbeda dengan yang lain. Aku ingin seperti anak
lain yang bisa bersekolah dan mempunyai cita-cita. Aku ingin mempnyai
orang tua yang mengerti kemauan anaknya. Terkadang aku berfikir bahwa
Tuhan tak adil padaku. Aku tak pernah minta dilahirkan ibuku. Tapi
mereka yang mengadakanku di sini. Namun mengapa mereka begitu membenciku
hanya karena hobi dan cita-citaku ini. Orang bilang hidup adalah
pilihan. Tapi bagiku tidak. Karena aku tidak pernah memilih untuk ada
dan hidup di bumi yang fana ini.”
Kali ini meneteslah air mata
Hendro. Ditunjukkanlah oleh Hendro pada istrinya. Layaknya manusia
biasa, hati Hastuti tergerak hingga ia menyesali perbuatannya. Hartati
merasa bodoh telah menyia-nyiakan Resi.
*****
Hari-hari terus berlalu. Hingga tak terasa sudah hampir 6 tahun Resi pergi.
“Resi
pergi saat umur 16 tahun kan Yah? Berarti sekarang ia sudah 22 tahun.
Aku merindukannya. Aku menyesal Yah!” kata Hastuti sambil menundukan
kepala.
Hendro hanya bisa terdiam. Ia juga sedih tapi bercampur rasa geram karena Hastuti telah mengusir Resi.
“Assalamu’alaikum! Tok…tok…tok…!” suara dari depan rumah.
Ternyata
yang datang adalah Kanti. Guru Resi. Rupanya Kanti ingin menunjukan
sesuatu yang terjadi pada Resi. Tanpa fikir panjang, Hastati dan Hendro
langsung pergi bersama Kanti. Ditunjukkanlah sebuah rumah yang mewah.
Keluarlah gadis cantik dari rumah itu dan masuk ke dalam mobil.
“Kalian tahu siapa itu? Itu adalah Resi! Anak yang dulu kalian usir.” Kata Kanti.
Hendro
dan Hastuti segera mendekati Resi. Resi terkejut melihat orang tuanya
ada di hadapannya. Rupanya, ia menghidupkan mobil untuk menjemput orang
tuanya di desa. Tapi Kanti telah lebih dulu ke desa.
Kini, ia telah
dapat membuktikan pada orang tuanya bahwa sekolah itu penting. Sekarang
ia telah menjadi seorang penulis puisi terkenal.
Hendro terlihat
memegang secarik kertas. Di tunjukkannyalah kertas itu pada Resi.
Ternyata, kertas itu adalah puisi yang ditinggalkan oleh Resi. Puisi itu
masih disimpan oleh Hendro. Tersenyumlah Resi melihat kertas itu. Mimpi
Hartati menjadi nyata bahwa puisi bersampul kuning telah menghantarkan
anaknya ke pintu kebahagiaan.
Resi pun telah menyadari bahwa pasti
ada hikmah dibalik sesuatu apapun. Jika dulu ia berkata Tuhan tidak
adil, kini ia bersyukur pada Tuhan. Karena jika ia tidak dilahirkan oleh
Hastuti dan diusir dari desa, mungkin ia tidak akan menjadi seperti
sekarang.
Jika orang mengatakan hidup adalah pilihan, baginya itu
benar. Karena ia masih hidup sampai sekarang dan menjadi seorang penulis
puisi adalah pilihannya sendiri. Bukan paksaan dari siapapun.
Menurutnya, kalau tidak berani hidup, sebaiknya mati saja. Dan jika takut menghadapi kematian, jangan hidup di dunia ini.
*****
0 komentar:
Posting Komentar