Ketika senja tak lagi mampu bertahan, meninggalkan bumi
dalam kegelapan, memaksa sang surya tuk menutup hari. Mengukir sepenggal
kisah dalam pelupuk mata, menyiratkan keindahan yang palsu. Keindahan
yang hanya terlukis kala mentari mulai menyingsing dan berakhir kala
sang surya tenggelam di ufuk barat.
Hari yang indah di sekolah ini, seakan begitu cepat berlalu.
Keindahan dan kebahagiaannya seakan lenyap setelah aku tiba di rumah.
Bergantikan dengan suasana kesedihan dan kemuraman yang begitu
menyiksaku. Kehidupanku di sekolah dan kehidupan pribadiku di rumah
mungkin berbeda 180 derajat.
Bagiku bukan hal asing lagi melihat ke dua orang tuaku bertengkar dan
saling memukul. Entah bagaimana awalnya hingga keluargaku menjadi
berantakkan seperti ini. Yang ku tahu semua malapetaka ini di mulai
beberapa bulan yang lalu saat aku masih kelas 6 SD dan sedang menjalani
UASBN. Beruntung aku masih mendapat nilai yang tidak begitu mengcewakan,
hingga aku bisa di terima di sekolah ini. Jika tidak, entahlah…
Semua masalah seakan datang bertubi-tubi, silih berganti tak
jemu-jemunya menyambangi bahtera rumah tangga kedua orang tuaku ini.
Mulai dari Papaku yang di kabarkan selingkuh, Papaku yang bangkrut
karena di tipu oleh temannya, hingga hutang yang membelit keluarga kami,
dan masih banyak hal yang lain yang mungkin tak pantas untuk di
ceritakan.
Papa menjadi jarang di rumah dan sering pulang malam. Papa menjadi
temperamental dan uring-uringan. Pernah suatu malam beliau pulang dalam
keadaan mabuk. Entah setan apa yang telah merasuki raga Papaku yang amat
ku cintai ini.
Sejak aku kecil sampai tumbuh sebesar ini aku memang cenderung lebih
dekat dengan Papa. Papa adalah sesosok Ayah yang begitu sabar,
perhatian, penyayang, dan sangat mencintai keluarganya. Hampir tak
pernah ku dengar dan ku lihat ucapan serta tindakan kasar darinya.
Itulah yang membuatku sangat menyayanginya. Pernah suatu hari aku
bertanya pada Papaku, tanya polos seorang anak kecil…
“Papa kalau berantem sama mama kok kalah sih?” Tanyaku polos yang saat itu masih SD.
“Papa gak kalah dek, Papa itu mengalah” Kata Papa membelai rambutku dengan lembut.
Sejak saat itu, aku selalu mengingat kata-kata Papa dan belajar menjadi
sosok yang penyabar darinya. Dialah satu-satunya sosok laki-laki yang
begitu aku banggakan hingga detik ini. Seburuk apapun ia di mata orang
lain, ia tetap Ayah yang terbaik untukku. Ayah yang selalu menjadi
penopang hidupku. Ayah yang selalu mengajarkanku arti kesabaran dan
kelemah lembutan.
Aku pun belajar menjadi seorang wanita yang kuat, tegar dan tangguh
dari Mamaku. Beliau figure seorang ibu yang begitu menjadi sumber
inspirasiku, bagaimana pun keadaan keluarganya yang sudah di ambang
kehancuran, tak pernah ku lihat Beliau mengeluh dan menangis di depan
anak-anaknya. Beliau selalu terlihat tegar meskipun mungkin hatinya
menjerit-jerit, menangis tak kuasa menahan beban kehidupan yang begitu
berat.
Malam yang telah larut memaksaku untuk segera memejamkan mata,
menutup hari ini. Saat ku tengah terbuai akan keindahan alam mimpi,
sayup-sayup terdengar keributan pertengkaran orang tuaku yang membuat
Papaku kalap dan membanting segala macam benda sebagai pelampiasan
emosinya.
Ku coba tuk tegarkan diri, bertahan di kamarku dengan berselimut rasa
takut. Ku coba tahan airmataku. Ku coba tuk tegar selayaknya ibuku,
tapi aku tetap tak bisa. Raga ini tak mampu menolak teriakkan batin yang
begitu memekakan telinga. Tangisku pecah… Ku keluar dari kamar, ku coba
tuk berlari sekuat tenagaku menuju ke rumah nenekku yang masih satu
lahan dengan rumahku.
Tak bisa ku bendung segala tangisku, badanku bergetar hebat menggigil
ketakutan. Tak lama Papa datang menjemputku, membujukku untuk pulang ke
rumah.
“Rachel, ayo pulang dek” Rayu Papaku menarik tanganku dengan halus.
Bujukkan itu hanya ku balas dengan gelengan kepala. Setelah beberapa
menit membujukku Papa akhirnya menyerah. Tak lama berselang Mamaku
datang. Mencoba membujukku dengan isak tangis. Melihatnya menangis,
tangisku pun kembali pecah.
“Bu, saya udah gak kuat begini terus, Papanya Rachel udah kayak orang
kesetanan begitu” Keluh ibukku dengan isak tangis. Nenekku hanya diam
membisu. Papa pergi.
Keesokkan harinya Papa pulang, membawa beberapa lembar kertas. Beliau
kelihatan begitu sibuk dengan pekerjaannya. Ku perhatikan terus setiap
gerakan-gerakan tubuhnya, sepertinya Papa menyadari bahwa sedari tadi
aku terus memperhatikannya. Ia mendekatiku, membelai kepalaku dengan
lembut.
“Rachel kalau tinggal sendiri sama Papa gak papa ya?” Tanyanya yang membuatku bingung.
“Kok sendiri? Terus Mama sama Adik?” Tanyaku tak mengerti.
“Kalau misalnya Papa sama Mama cerai, Rachel ikut sama Papa aja ya di
sini, biar mama pergi sama Adik” Katanya tertahan. aku hanya bisa
mengangguk mendengar ucapan Papaku tadi. aku sempat tersentak mendengar
kata “CERAI”, Papa Mamaku cerai? Ya Tuhan, kenapa harus berakhir seperti
ini…
Sorenya Papa pergi, awalnya aku bersikap biasa saja dengan kepergian
papaku, karena memang sudah seperti biasanya belia pergi setelah
bertengar dengan ibukku. Namun, satu hari, dua hari, tiga hari ku tunggu
tak juga Papa pulang. Hingga akhirnya aku sadar Papa pergi dariku,
pergi meninggalkanku dan mungkin takkan kembali lagi. Apa mungkin Papa
dan Mama sudah cerai? Ku tepis segala prasangka burukku itu. Gak, gak
mungkin Papa sama Mama cerai… Gak mungkin…
Mentari terus berputar mengiringi peredarannya, siang berganti senja,
senja berganti kelam, kelam pun menyibak berganti dengan terang. Begitu
seterusnya, hari-hari ku lewati tanpa kehadiran sosok Papa di
sampingku. Andaikan Mama tau, aku sangat rindu dengan Papa, aku rindu
dengan Ayahku. Namun percuma juga aku mengatakannya, percuma aku
berteriak, karena Mama takkan pernah tau rengekkan hati kecilku ini.
Dimana… akan kucari
Aku menangis, seorang diri
Hatiku, selalu ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah.. hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah, aku ingin bertemu
Denganmu, aku bernyanyi
Airmataku menetes, setiap kali aku menedengar dan menyayikan lagu
itu. Lagu yang mengingatkanku tentang sosok ayah yang amat ku cintai dan
begitu ku rindukan. Yeah, hanya lewat lagu itu aku bisa mengingat dan
mengenang papa. Karena mungkin Mama telah menghapus segala memory
tentang Papaku, sepeninggal beliau beberapa bulan yang lalu. Salah
satunya dengan meninggalkan rumahku yang sekarang ku tempati dan pindah
rumah.
Setelah aku pindah rumah, banyak hal yang berubah dengan kehidupanku.
Kehidupan yang seakan dimulai dari nol. Kehidupan yang bagaikan
terlahir kembali tanpa kehadiran sosok AYAH di hidupku, kehadiran sosok
ayah yang tak pernah ku kenal.
“TAMAT”
Cerpen Karangan: Anggi Putri Pravintya
Facebook: Anggie Putryy
Nama panggilan : Anggi
Sekolah : SMP 2 Bambanglipuro
Kelas : 9E
Facebook : Anggie Putryy
Alamat : Gedogan, Kaligondang, Sumbermulyo Bambanglipuro, Bantul
0 komentar:
Posting Komentar