Aku tidak henti-hentinya memainkan pulpen yang ada di
tangan kanannya. Mataku menerawang, dia tidak sedang fokus kepada pulpen
itu. Lalu cerita 23 jam yang lalu kembali terputar di otakku.
“Cukup! Aku sudah lelah pa, aku merindukan anak itu!” Jantungku seakan berhenti sejenak. Anak itu?
“Aku mengerti ma, tapi polisi pun sedang berusaha di luar sana. Kita
hanya bisa menunggu kabar dari polisi. Tolong ma, pikirkan Key juga.”
terdengar suara papa yang tetap tenang dan wibawa.
“Aku ga mau tahu, pa! Aku akan cari dia!”
“Ma! Mama!” Dan itu saat terakhir aku melihat mama. Ya, mama pergi
mencari anak itu, aku tak tahu namanya siapa. Aku yang dari tadi hanya
bisa berdiri di belakang tembok, melangkah keluar, memperlihatkan diriku
pada papa. Papa terlihat kaget. Namun sambil memegang dahi di
kepalanya, papa berkata, “papa akan jelaskan semuanya ke kamu.”
Aku Key, anak perempuan yang dari kecil sudah bersama orangtuaku.
Yang aku tau, sampai saat ini aku berumur 17 tahun, aku anak
sematawayang. Namun semalam papa cerita semuanya. Aku punya kakak
laki-laki, Rey. Dia menghilang saat terjadi kebakaran di komplek
perumahan kami. Aku masih di dalam kandungan saat itu. Sedangkan kakakku
itu, berumur 2 tahun. Aku masih tidak percaya. Dan papa memberitahuku
bahwa selama 17 tahun ini papa sudah mengerahkan polisi bahkan detektif
untuk mencari kakakku itu. Tapi hasilnya nihil. “papa ga mau kamu
seperti mama Key, cukup papa dan mama yang merasakan ini.”, begitu
jawaban papa saat aku bertanya mengapa selama 17 tahun papa tidak bicara
apa-apa mengenai masalah ini.
“Hoi, Key!!!” Aku terlompat kaget dan pulpenku jatuh. Kepalaku
berputar cepat ke arah teriakan temanku. Rick. Aku melengos dan
mengambil pulepnku, lalu berpura-pura membuka buku. Rick hanya terkekeh,
lalu duduk di kursi depanku.
“Pagi-pagi udah melamun aja, kenapa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Oh, ayolah, masa begitu saja kau kesal?” Rick merajuk. Aku hanya meliriknya sebentar, lalu kembali fokus pada buku di depanku.
“Oke, maafkan aku. Kau tahu sendiri, aku orangnya iseng.” Rick terkekeh lagi.
“Sekarang beritahu aku, apa yang kau pikirkan?”
Ricky Dellson. Sahabat baikku dari aku SMP. Biasanya aku selalu curhat
ke dia masalah apapun yang aku alami, apapun, bahkan ketika aku PMS.
Tapi untuk masalah ini, aku rasa belum saatnya aku cerita kepadanya.
“Tidak ada apa-apa, Rick. Aku lapar, ayo temani aku ke kantin!” aku langsung berdiri dan berlalu di hadapannya.
Menyukainya? Oh, kalian tidak perlu tanya itu. Aku sangat menyukainya.
Dia tampan, tinggi, pintar. Oh ya, dan dia juga melindungiku. Itulah
kenapa aku bersahabat dengannya. Aku tidak berniat menjalin hubungan
pacaran dengannya karena aku tidak tahu bagaimana perasaannya padaku dan
aku benar-benar menganggap dia teman terbaikku. Rick putus sekolah saat
kelas 3 SMP di Amerika, dan mengulang lagi akhirnya kelas 1 SMP disini.
Aku dan dia beda 2 tahun. Aku tidak berharap hubungan pacaran
dengannya, dekat seperti ini saja pun membuat aku senang.
“Kau mau kemana?” Kakiku terhenti. Aku mengerjapkan mata 3 kali, lalu memandang sekelilingku.
“Tadi katanya mau ke kantin, kan? Lalu kenapa malah ke perpustakaan?”
Aku langsung memaki diriku, kalau seperti ini terus Rick akan tahu kalau
aku sedang memikirkan masalah serius. Aku berbalik badan, menatapnya
dan nyengir selebar dan senormal mungkin.
“Hanya iseng, tadi mau cek apakah sudah ada novel keluaran terbaru!”
Ucapku girang, lalu berjalan cepat mendahuluinya. Rick hanya
menggelengkan kepalanya.
Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela di kantin, smeentara Rick
memesan makanan. AKu menatap keluar jendela dan mengehmbuskan nafas
pelan. Bagaimana ini? Mama sedang ada dimana sekarang? Mataku berlinang.
Sadar akan hal itu, aku langsung buru-buru mengusap mataku sambil
berbalik menghadap tembok. Rick datang.
“Nah, ayo makan.” Aku melirik makanan yang dia bawa dan tersenyum.
“Kau tahu persis apa yang aku suka, Rick.” Bakso dengan bawang goreng
dan bihun yang banyak. Tidak ada daun seledri, tidak ada kecap, tidak
ada saos.
“Hahaha, kau lupa sudah berapa lama kita berteman dekat?” Aku hanya
tersenyum. Banyak teman-teman kami yang menganggap kami sudah pacaran,
tapi segera aku luruskan kenyataan itu.
Malam itu aku lihat papa duduk sendirian di ruang tamu sambil
mengamati foto. Penasaran aku dekati papa dan duduk di sampingnya. Papa
menengok sebentar ke arahku, lalu memberi foto itu. Foto bayi telanjang
berbaring di tempat tidur?
“Siapa ini, pa?”
“Rey.” Aku fokuskan kembali mataku ke foto itu begitu mendengar nama itu.
“Perhatikan, ada tanda lahir di bagian perutnya.” Aku melihat
pelan-pelan, menelusuri setiap bagian tubuh bayi di foto itu. Dan memang
ada, bentuknya tidak jelas, tapi jadi seperti tato.
“Ini tanda lahir?” Aku bertanya memastikan tanpa mengalihkan pandanganku. Papa mengangguk.
“Papa takut.” Aku menengok.
“Kau sudah besar, Key.” Aku hanya terdiam sambil terus melihat papa. Papa lalu melihatku.
“Papa takut, Rey ada di dekatmu dan ternyata kau jatuh cinta kepadanya.”
Aku tersedak. Sesaat terpikir Rick di otakku. Aku langsung menggeleng.
Papa menghembuskan nafas dengan keras.
“Bagaimana? Bagaimana kalau seperti itu?”
“Pa, Rey kan harusnya mirip denganku, tidak mungkin itu terjadi.” Aku berusaha menenangkannya.
“Kita tidak tahu, kan?” Papa mengangkat bahu.
“Key, berjanjilah satu hal. Kau tidak akan jatuh cinta kepada saudara
kandungmu sendiri.” Ucapan papa terdengar menggema di telingaku. Aku
lalu tertawa hambar.
“Aku tahu, pa. Aku tidak akan mengecewakan papa.”
Aku tidak percaya ini. Aku benar-benar tidak mempercayai mataku. Di
hadapanku ada Rick dan teman-temannya. Mereka akan berenang, dan Rick
sudah memakai pakaian renang. Ada noda di bagian perutnya. Ada noda. Aku
menutup mulutku dan berlari menjauh dari mereka. Aku tidak
memperdulikan apa-apa lagi. Kata-kata papa terdengar jelas.
“Kau tidak akan jatuh cinta kepada saudara kandungmu sendiri.”
Tidak mungkin! Pasti hanya kebetulan!
“Pa”, aku menemui papa malam itu. Papa yang sedang baca koran mengangkat wajahnya.
“Berapa tanggal lahir Rey?” Raut wajah papa berubah.
“1 September, ada apa Key?” Aku menggigit bibirku dan segera saja mataku
berkaca-kaca. Itu tanggal lahir Rick, itu tanggal lahir Rick! Papa yang
melihat aku hampir menangis, langsung bangkit dari sofa dan memegang
bahuku.
“Ada apa? Kau menemukan Rey?”
“Aku belum yakin, nanti aku beritahu papa.” Aku berjalan cepat ke kamar dan menutup pintu kamarku.
“Ha? Kenapa?” Rick kelihatan serius memainkan game di handphone-nya.
“Kau.. Kau ada tanda lahir di perut?” Rick menoleh sekilas padaku, lalu fokus ke handphone-nya dan mematikan gamenya.
“Iya, ada apa?” tanyanya sambil memasukkan handphone ke saku celananya.
“Kenapa aku baru tahu?”
“Ha?”
“Kenapa aku baru tahu kalau kau punya tanda lahir?”
“Maksudmu apa, Key? Ini bukan hal penting menurutku. Aku juga ga tau
tanda ini darimana, yang pasti ibuku bilang sudah dari sananya.” Lalu
Rick terhenti sejenak, “Kau tahu kan, ibuku? Dia bukan ibu kandungku,
kau tahu kan? Jangan bilang aku belum memberitahumu hal ini.” Rick
memang sudah memberitahu bahwa ibunya bukan ibu kandung, tapi dia belum
cerita darimana dia bertemu dengan ibunya itu.
“Ceritakan, Rick. Darimana kau bertemu ibumu itu.” Pandanganku kosong, menatap ke lantai. Rick kelihatan bingung.
“Ceritakan Rick, buat aku jadi membencimu. Karena sepertinya aku sudah jatuh cinta kepadamu.”
Malam itu mama datang. Mama semakin kurus, dan wajahnya keliatan lelah sekali. Aku menangis di pelukannya begitu mama pulang.
“Ma, cukup ma!” Aku menjerit di pelukannya. Papa dan mama langsung terlihat bingung. AKu melepaskan pelukanku.
“Aku tahu Rey dimana! Aku dan Rey ternyata selama ini berteman! Kami
bersahabat dan aku.. aku jatuh cinta padanya! Dia ditemukan di belakang
rumah kita saat kebakaran! Wajahnya setengah hangus dan tetangga kita
menemukan dia! Wajahnya di operasi pelastik dan karena tetangga kita
tidak bisa menemukan alamat baru kita, akhirnya dia yang merawat Rey!
Dia tidak tahu nama Rey siapa makanya dia memberi nama Rick!” Aku
langsung menangis kejar. Mama dan papaku hanya menatapku dengan
pandangan kosong.
“Aku jatuh cinta padanya ma, pa.. Aku mencintainya..”
0 komentar:
Posting Komentar