Mata ini panas kembali. Teringat semua yang sudah berlalu.
Aku selalu ingat tentang semua yang kau ucapkan padaku. Semua yang telah
membuat hati ini menjadi sebuah serpihan, layaknya paku-paku yang
berterbangan di jalan.
Entah kenapa? Apa yang kau rasakan saat itu. Saat engkau mengejek ku
dengan sebutan yang tidak seharusnya kau sebutkan. Kau sebutkan semua
yang ada dalam kebun binatang. Pantaskah itu? Dimana etika mu?
Marah? Kurasa saat itu aku tak berbuat kesalahan padamu. Jengkel?
Saat itu aku hanya diam ketika kau memarahiku dengan sebutan yang tak
selayaknya itu.
Lantas? Salah dimana aku? Jika memang, aku terlalu salah dalam dunia
fana ini. Tak pernah benar di matamu. Kenapa kau membuat aku ada?
Kenapa?
Sesak sekali, saat kau menyebutkan aku tak berguna. Aku tidak seperti
kakak ku yang lain. Kau selalu membanding-bandingkan aku dengannya.
Ayah.. aku punya perasaan. Aku hanya manusia biasa. Aku pun sama
sepertimu.
“Tak ada yang sempurna.” Hanya itu yang selalu kusebutkan jika kau
memarahiku kembali. Jelas! Pasti jika kau marah, kau hanya ingin
membanding-bandingkan ku dengan kakakku, bukan?
Itu hanya membuat lubang di hatiku bertambah lebar. Aku sudah
berusaha semampu ku untuk berubah. Aku sudah mengikuti apa yang kau
minta. Tapi menurut penilaianmu?
Tetap saja, kau terus memujiku dengan perkataan yang kotor. Sakit, yah! Sakit sekali…
Aku masih bertahan akan hidupku ini. Untung aku mempunyai Ibu yang
baik dan sayang kepadaku. Beliau selalu membelaku saat aku sudah
mempasrahkan badanku yang lebam
akibat kau cabik dengan ikat pinggang besarmu. Ya… saat itu! Aku merasakan hidupku mulai akan mati. Mati secara
perlahan tepatnya.
Tapi, kenapa? Jika Ibu mulai membelaku. Kau malah mencabik Ibuku?
Orang yang paling aku sayangi? Dia bela-bela untuk bekerja demi
keluarga, tapi balasan darimu apa? Apa? Kau hanya terus melukai dan
melukainya.
Apakah kau marah, Yah? Marah dengan Ibu. Marah karena dahulu kau
dijodohkan dengannya oleh nenek ku? Yang seharusnya kau menolak. Tapi,
Ibu malah menyetujuinya? Iya, kah?
Ibu cinta sama Ayah. Ibu sayang sama Ayah. Tapi kenapa Ayah tega
dengannya. Ibu rela di dua-kan oleh Ayah. Demi kepuasan Ayah. Tapi
balasan Ayah begini, kah? Keji sekali kau!
Saat pulang sekolah. Aku melihat Ibu sedang digebukki kembali olehmu
dengan ikat pinggang. Ikat pinggang besarmu itu. Aku tak tega melihat
beliau terus-menerus disakiti oleh perbuatan tangan dan mulut manis nan
tajam mu itu.
Lantas? Aku harus apa? Ya… Sangat jelas, aku langsung membela Ibuku.
Dan, akhirnya cabikan ikat pinggang besar itu sudah mengenai tubuh
mungil ku ini. Aku tak bisa mengelak. Dia terus dan terus mencabik
tubuhku hingga yang ku rasakan semuanya gelap.
—
“Aku berada dimana sekarang? Kok aku sendiri? Dimana yang lain? Apa
yang sedang terjadi?” Batinku berbicara dan tiba-tiba saja ada sebuah
cahaya terang. “Oh, aku sudah mati ternyata.” Umpatku. Disana terlihat
malaikat-malaikat yang berwajah tampan. “Apakah aku sudah mati?” Aku
bertanya demikian. Malaikat itu hanya diam. Dan tiba-tiba saja aku
dituntun untuk mengikutinya. Entah ingin kemana. Yang jelas, tempat itu
sangat berbeda dengan apa yang selama ini kurasakan.
“Mau dibawa kemana aku?” Dia terus saja berjalan. Awalanya biasa
saja, lama kelaman. Malaikat itu berlari dan terus berlari dengan sangat
kencang. Awalnya aku pun hanya berjalan dengan digandeng olehnya. Tapi
lama kelamaan pun aku merasakan seperti sebuah kapas sehelai. Ya. Aku
merasakan aku sedang terbang.
“Lihatlah!” Malaikat itu berhenti di sebuah pemakaman. Aku kenal
dengan pemakaman ini. Pemakaman Bukit Indah. Persis berada dekat sekolah
ku. Aku pun sering melewatinya.
“Benarkah aku sudah mati?” Tanya ku kembali. Ku lihat Ibu. Ibu yang
satu-satunya ku sayangi. Dia menangis. Untuk kesekian kalinya aku
melihat dia menangis.
Aku menghela nafas panjang. Aku tak tega melihatnya. Di samping Ibu,
aku melihat kakak tiriku. Tidak menangis seperti Ibu, tapi wajahnya
sangat terlihat sekali kalau dia sedih. Entahlah.. sedih karena apa?
Semoga, sedih karena kehilangan.
Tapi, aku tak melihat Ayah? Ayah yang membuat aku mati seperti ini.
Kemana dia? Tidak bertanggung jawab sekali. Sudah membunuh anak nya
sendiri. Tapi tak datang ke pemakaman.
Aku menyentuh pundak Ibu. Tapi aku tak bisa. Akhirnya aku
membisikannya. “Ibu jangan sedih. Deya disini baik-baik saja kok, Bu.
Tidak usah tangisi Deya lagi. Deya ingin tenang di alam Deya. Suatu saat
kita akan bertemu kok, Bu. Deya sayang sama Ibu. Deya juga sayang sama
Ayah. Titip salam Deya ke Ayah ya, Bu. Selamat tinggal…”
Kurasakan tubuhku sekarang sudah jauh. Jauh sekali. Sampai sosok Ibu
sudah tak terlihat lagi oleh kedua mataku. Semoga Ibu merasakan apa yang
kukatakan tadi.
Cerpen Karangan: Ratna Susantyningsih
Blog: refresh-hati.blogspot.com
Facebook: ratna susantyningsih
Sosok dreamer yang hanya benar-benar pemimpi. Anak mamah yang sampai
saat ini belum bisa percaya atas kepergiannya. Ya, memang mungkin,
waktunya belum tepat.
Masih anak sekolahan. Disalah satu SMKN terpelosok di daerah Jakarta.
Yang berkeinginan besar untuk masuk dalam jajaran seorang mahasiswi di
UGM FIB. Semoga Allah, selalu mendengar doaku. Amin- Temui aku di
twitter @k4rat
0 komentar:
Posting Komentar