Malam itu udara terasa dingin, hembusan angin mulai terasa
menusuk tulangku. Aku hanya bisa menatap bintang-bintang yang indah di
langit sana, dengan perasaan hampa. Ternyata hatiku tak seindah
bintang-bintang itu, melainkan lebih gelap seperti larutnya malam ini.
semakin lama aku termenung di depan rumah, semakin aku merasakan
penyesalan yang teramat sangat.
Tiga hari yang lalu Nando meninggalkanku. Walaupun aku masih duduk di
bangku SMA, tapi aku tidak buta akan arti cinta. Hari-hari yang
kujalani terasa berat tanpa kehadirannya. Nando yang baik, yang selalu
hadir sebagai penghibur di saat aku sedih, yang selalu datang sebagai
motivator di saat aku down, kini dia telah tiada.
Nando adalah teman sekelasku, dan sebagai kekasihku. Aku suka dengan
kepribadiannya yang selalu siap dalam menghadapi apapun, tanpa pernah
mengeluh. Senyumnya yang ramah, membuatku semangat menjalani kehidupan.
Suatu hari dia bertanya: “kamu setuju tidak dengan pendapat frank tallis?
“frank tallis? Yang mana?” tanyaku heran
“bahwa tidur itu damai, tetapi kematian lebih baik…” jawabnya singkat
Lalu aku menimpal perkataanya, “maksud kamu apa?”
Dia hanya tersenyum dan berkata singkat, “berarti kematian itu lebih damai”
Entahlah aku jadi merinding mendengar perkataannya.
Tak lama setelah kejadian itu, dia memutuskan hubungan di antara
kita. tanpa memberikan alasan yang jelas. lalu dia menghilang dari
kehidupanku. Tak ada kabar sedikit pun darinya. Bahkan teman-temannya
juga tidak mengetahui keberadaannya. Aku kesal dengan sikapnya yang
sepihak itu, dan aku berjanji akan melupakannya.
Delapan bulan telah berlalu, disaat aku telah melupakannya. nando
mengirimku pesan, yang isinya “Aku tunggu kamu di taman sore ini”. aku
tidak menghiraukannya, karena aku begitu kesal dan teramat marah dengan
perilakunya delapan tahun yang lalu.
Keesokan harinya, bel rumahku berbunyi. Seorang wanita yang tidak
asing lagi bagiku sedang berdiri diluar sana, dengan raut wajah yang
terlihat gelisah. Dia adalah vera, adik nando. Tanpa mengatakan sepatah
katapun, dia langsung mengajaku ke suatu tempat. Tiba-tiba jantungku
berdegup kencang, 1000 pertannyaan memenuhi otaku, yang tak dapat aku
pecahkan dalam waktu sekejap. Sebelum aku dapat menebak jawabannya, aku
melihat vera seperti ingin mengatakan sesuatu, sebelum dia dapat
mengatakannya tangisnya pun pecah seketika itu juga.
Aku mengenali tempat ini, ya ini rumah nando. Sebelum aku dapat
melanjutkan langkah demi langkah, dadaku tersentak, jantungku seakan
berhenti berdetak. Disana terlihat bendera kuning yang bertengger di
atas gerbang, tepat di depan rumah nando. “siapa yang meninggal? Siapa?”
tanyaku pada vera
Dia tidak menjawab, melainkan mengajakku masuk ke rumahnya. Hatiku
hancur saat melihat seseorang yang berbaring terbungkus kain kafan, dan
itu adalah nando. Aku merasakan seperti dihantam benda yang teramat
besar, air mataku pun sudah tak dapat kubendung, dan aku menangis
histeris.
Setelah pemakaman selesai, vera menceritakan semua kejadian yang
menimpa nando. aku tak percaya bahwa dibalik kegagahan dan keceriannya,
dia mengidap penyakit kanker darah. Dan ternyata selama delapan tahun
terakhir, dia pergi keluar negeri untuk operasi. Namun dia lebih memilih
berobat jalan. Hingga keluarganya harus pindah untuk sementara. Dia
merahasiakan penyakitnya dari teman-temannya, termasuk aku. Dia tidak
ingin menjadi beban bagi yang lain. Sehingga dia memilih untuk
memutuskan hubungan di antara kita, dan tak memberikan kabar sedikit
pun.
“lalu mengapa nando memintaku untuk datang ke taman sore itu?”
“Dia hanya ingin mengucapkan selamat tinggal”
“selamat tinggal? Bukankah nando meninggal 5 jam setelah dia mengirimku pesan?”
“kamu tidak tahu yang sebenarnya, dia memintamu datang ke taman itu
sebelum operasi dilakukan. Karena penyakitnya semakin parah sehingga
dokter mengatakan bahwa berobat jalan sudah tidak ada gunanya lagi,
satu-satunya jalan untuk sembuh yaitu dengan operasi, walaupun sedikit
kemungkinannya untuk dapat bertahan hidup. Di taman itulah dia ingin
mengatakan semuanya padamu, sekaligus mengucapkan selamat tinggal untuk
terakhir kalinya”
Air mataku pun mulai membasahi wajahku. Aku menyesal, kenapa disaat-saat
terakhir pertemuanku dengannya, aku bahkan mengacuhkannya. Tuhan!!
Andaikan aku dapat memutar waktu, aku tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan itu…
0 komentar:
Posting Komentar