Kau lebih dari sekedar bintang-bintang. Kau lebih dari sekedar sang rembulan ~
Suara Naga Lyla mengalun dari ponselku. Pertanda sebuah pesan baru
masuk. Dengan cepat, jemariku meraih ponsel yang ada di sampingku.
Besok pas liburan
Kita maen ke Jogja, yuk!
Pesan dari Arga, tunanganku. Setelah sarjana, kami akan menikah. Saat
ini, kami sedang melakukan proses ta’aruf. Arga adalah anak
seangkatanku. Tapi, kami berbeda jurusan. Dia memilih jurusan teknologi
dan aku jurusan teknik pertanian di ITB ini. Tempat tinggal Arga di
Jogyakarta. Jadi, hanya tiap musim liburan dia dapat pulang ke kampung
halamannya. Sifatnya yang ramah dan easy going, membuat dia mempunyai
banyak teman. terkadang aku merasa beruntung dapat menjadi miliknya.
Meski belum seutuhnya. Yahh.. aku memang harus berterima kasih dengan
orangtuaku karena telah menjodohkanku dengan Arga. Dan aku berharap,
dapat bersatu dengan Arga tuk selamanya.
Jari-jariku dengan cepat mengetik balasan untuk Arga. Aku harus
bertanya dulu pada orangtuaku. Apalagi, seminggu yang lalu Nenekku
menyuruh kami sekeluarga untuk berlibur ke Surabaya. Meski, aku yakin
lebih baik liburan ke Jogja. Aku dapat lebih dekat dengan keluarga Arga
dan itu memang tujuan kami kesana selain hanya menghabiskan waktu
liburan. Aku harus segera bertanya pada orangtuaku. Secepatnya.
—
“Sa, Nenek kan sudah telfon kemari minggu lalu. Kita disuruh liburan
ke Surabaya. Apa kamu tega menyakiti hati nenek yang sedang merindukan
cucunya?. Lebih baik kamu tetap ikut ke Surabaya, Sa.” Kata Bunda
menolak ideku untuk liburan bersama Arga.
“Bun, liburan-liburan yang lalu kita juga ke Surabaya kan. Raisa juga
ikut. Tapi, Raisa mohon, Bun. Kali ini saja. Biarkan Raisa ke Jogja.”
Aku tetap mengelak. Bagaimanapun, Nenek pasti akan mengerti alasan cucu
tersayangnya ini untuk tidak liburan ke Surabaya dan memilih pergi ke
Jogja.
“Tapi,” balas Bunda terpotong oleh gelengan kepala ayah ke arah Bunda. Bunda menghela nafasnya lalu menatapku dalam.
“Baiklah. Tapi, kamu janji tidak macam-macam.” Ucap Bunda.
Mataku berbinar. Aku menghembuskan nafas lega. Ayah memang hebat.
Dengan satu gelengan saja, dapat meruntuhkan pertahanan Bunda. Ayahku
memang tak banyak bicara. Namun, tiap perkataan yang keluar dari
bibirnya, semuanya bermakna.
Aku langsung memeluk Ayah penuh bahagia. Ayah membalas pelukanku
dengan hangat. Mataku melirik Bunda yang sedang menatapku dengan penuh
keengganan. Apapun alasannya, Bunda tetap tidak dapat lagi menarik
ucapannya. Aku tak sabar menghabiskan waktu liburanku di Jogja. Hmmm..
pasti seru
—
Mega telah Nampak di ufuk barat dengan semburat-semburat merah dan
cahaya keemasannya ketika kami keluar dari taksi dan menuju stasiun.
Sudah 3 minggu kami berada di Jogja dan kini saatnya kembali ke Bandung.
Hari-hariku di Jogja benar-benar terasa berlalu dengan cepat. Aku
langsung disambut dengan hangat di keluarga besar Arga. Syukurlah,
mereka dapat menerimaku dengan baik. Dengan begitu, aku merasa betah
untuk tinggal lebih lama lagi di tengah-tengah keluarga Arga yang baik.
Aku dan Arga menghabiskan waktu di tempat-tempat wisata dan
bersejarah. Kami menjelajahi 3 tingkatan Borobudur, mengelilingi
Prambanan, mengagumi arsitektur keraton, berfoto dengan turis, menikmati
indahnya sunrise di Parangtritis, memakan berbagai kuliner asli Jogja,
hingga naik ke atas pesawat di museum Dirgantara. Sungguh aku bahagia.
Ingin aku kembali lagi ke momen-momen istimewa di Jogja dan aku memang
benar-benar kembali lewat mimpi indah di tidurku. Aku terlelap.
4 sampai 5 jam kemudian…
Samar-samar aku melihat wajah Arga di pundakku. Dia tertidur. Aku bangun
dan mengggeliat untuk meregangkan otot-ototku yang kaku. Arga tetap
bersandar pulas di pundakku. Aku dapat merasakan ritme nafas yang
teratur menerpa kulit ariku.
Aku melihat arloji di tanganku. Sebentar lagi, kami akan sampai di
Bandung. Ku raih ponsel untuk mengabari bahwa aku telah tiba di Bandung
dengan selamat. Tapi, ternyata ada 2 pesan baru di layar ponselku.
Tiba-tiba saja firasat aneh menyergapku. Aku membuka perlahan pesan itu.
From: Bunda
Sa, kamu jadi pulang hari ini?
Aku segera mengetik balasan untuk Bunda dengan cekatan. Lalu, kubuka pesan kedua.
From: kak Mhela
Dek, cepetan pulang. PENTING!
Aku mengernyitkan dahi. Kak Mhela, kakak kandungku, jarang sekali
mengirim sms kepadaku. Tapi kali ini?. Keringat dingin keluar dari
pori-poriku. Aku tegang dan was-was dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba aku teringat nenek. Bagaimana kabar nenek, ya?. Aku hanya
memasrahkan diri di bangku kereta. Berharap semuanya baik-baik saja.
—
Aku meneteskan airmata lagi dan lagi. Bunda juga sesenggukan di
pelukan Ayah. Kak Mhela hanya memandangku dengan tatapan sendu. Matanya
merah dan terlihat jelas bahwa dia juga baru saja menangis. Kami ada di
dalam kamar nenek yang sekarang kosong. Suara orang ramai di luar.
Sayup-sayup juga terdengar lantunan tahlil dari luar. Airmataku kembali
mengalir dengan deras. Arga menggenggam tanganku erat mencoba
menguatkanku meski dia tau semua itu tetap sia-sia.
“Sebenarnya, sudah sejak sebulan yang lalu penyakit Nenek kambuh.
Tapi, beliau tidak mau periksa ke dokter maupun ke rumah sakit. Beliau
berkeras mengatakan baik-baik saja. Padahal, keadaan nenek saat itu
sudah parah.” Kata kak Mhela menjelaskan.
“Tapi.. kenapa.. aku.. tidak.. kalian.. beritahu.. andai saja.. aku
tau.. pasti.. aku.. akan.. memilih.. berlibur.. ke.. sini..” ucapku
terbata-bata karena menahan tangis.
“Nenek yang melarang kami memberitahukan hal ini kepadamu, Sa. Beliau
ingin kamu bahagia. Beliau tidak ingin kamu bersedih, karena kamu cucu
yang sangat disayanginya.” Kata kak Mhela setenang mungkin.
Aku menelungkupkan wajah di dada Arga. Tangisku semakin pecah. Nenek
sudah tiada. Penyakit ashma stadium akhir-nya, telah melumpuhkan nenek.
Andai saja, aku tau sejak awal. Harusnya, aku tak pergi ke Jogja.
Harusnya, aku menuruti ucapan Bunda. Harusnya, aku menemani Nenek di
sisa-sisa terakhir hidupnya. Harusnya…
the end
0 komentar:
Posting Komentar