Langit gelap berawan yang tidak begitu bersahabat jika kita ingin
berpergian. Terdengar suara jangkrik menemani malam kelam ini. Cuaca
ingin hujan semakin memadamkan semangat yang memang tidak begitu besar.
Hawa dingin menusuk sampai ke tulang sumsum.
Tanpa terasa hujan pun
turun. Curahnya yang deras seakan-akan sama derasnya dengan air mata
yang tanpa terasa telah menetes sampai ke bibirku. Air mataku tak
terbendung saat melihat air hujan yang turun dengan derasnya. Ini semua
berkaitan dengan masa laluku yang amat sangat menyakitkan. Sisil,
lengkapnya Sisil Salsabilla adalah namaku. Aku adalah seorang gadis
belia yang kurang beruntung bahkan tidak beruntung. Aku terlahir dari
keluarga yang tidak harmonis. Orang tuaku bercerai 4 tahun yang lalu.
Ini
semua adalah mimpi buruk yang tak akan pernah usai. Aku pun tidak
menginginkan ini semua terjadi. Semua orang pasti mempunyai keinginan
terlahir dari keluarga yang harmonis dan bisa menemaninya sampai ajal
menjemputnya. Namun apa boleh jadi? Manusia hanya bisa berencana. Tetapi
yang menentukan semuanya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Zat maha dasyat
yang memiliki seluruh jagat raya ini. Kita hanya bisa berbuat sesuatu
jika Ia telah memberi ridha.
Doni Suhendro adalah nama ayahku. Kini
aku sudah tidak bersama-sama dengannya lagi sejak orang tuaku bercerai.
Ibuku Santy Rarena. Kini ia pun tidak tinggal bersamaku. Setiap hujan
turun seperti saat ini pasti aku menangis. Karena hujan turun adalah
waktu yang sangat menyakitkan bagiku. Ini berkaitan dengan peristiwa
cerainya orang tuaku. Begini ceritanya …
*****
Saat itu aku berumur 9 tahun. Kami duduk bersama di ruang tengah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar …!” suara seruan adzan yang merupakan panggilan shalat untuk orang yang beragama Islam.
“Itu sudah adzan, berarti kita bisa shalat sekarang” ajak ayahku.
“Ayo Sisil!” suara ibuku sambil menarik tanganku.
Kami pun shalat Isya berjamaah. Biasanya setelah shalat Isya aku disuruh tidur.
“Assalamu’alaikum wr. wb!” suara ayahku yang menandakan selesai sudah shalat Isya kami.
Mereka
pun segera menyuruhku tidur. Setelah mengantarku ke kamar, mereka pun
masuk ke kamar mereka. Jarak kamar kami cukup jauh. Karena kamarku ada
di lantai 2. Sedangkan mereka di lantai 1.
*****
Malam pun
berakhir dan pagi segera menjemput. Seperti biasa aku bersiap-siap untuk
pergi ke sekolah. Biasanya aku pergi bersama ayahku yang juga ingin
berangkat ke kantor. Ayahku bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan
swasta. Dengan pekerjaan inilah ayah membiyai kehidupan kami
sehari-hari. Setelah selesai aku dan ayah langsung berangkat.
Setelah sekitar 15 menit, aku pun sampai di sekolah.
“Yah Sisil pergi dulu !” kataku sambil mencium tangan ayahku.
“Ia Sil, hati-hati ya nak !” jawab ayahku.
“Ia Ayah !” kataku sambil keluar dari mobil ayahku.
Ayahku pun segera meninggalkanku dan pergi ke kantor.
“Sil, ayah kamu ganteng ya ! Pasti banyak deh perempuan yang suka sama ayah kamu !” kata Dona teman sekolahku.
“Hus,
hati-hati Dona kalau ngomong. Kata-kata itu doa loh! Ayahku kan sudah
punya ibuku. Bahaya kalau yang kamu bilang tadi jadi kenyataan!” Kataku
dengan nada yang agak kesal kepada Dona.
“Ia…ia… maaf deh! Aku kan cuma main-main tau!” Jawab Dona dengan kepolosannya.
“Huft! Awas kalau diulang lagi!” Jawabku.
“Ia… main-main juga! Dianggap serius!” kata Dona.
“Ya sudah! Ayo masuk kelas!” kataku sambil memegang tangan Dona.
“Ayo!” jawab Dona.
Kami
pun masuk ke dalam kelas bersama-sama. Sepanjang jam pelajaran
berlangsung, aku mengikuti dengan seksama. Karena sebentar lagi aku akan
mengikuti ulangan semester. Semua pelajaran yang menurutku sulit selalu
kutanyakan kepada guru.
Tak terasa pelajaran hari ini pun berakhir.
Semua murid berhamburan keluar kelas. Ayahku selalu menjemputku saat
sepulang sekolah. Dan aku sudah hafal dimana tempat ayah menungguku. Aku
segera menuju ke tempat ayah.
“Ayah!” suaraku memecahkan lamunan ayahku.
“Sisil ! Ayo kita pulang! Ayah sudah lapar!” ajak ayahku.
Kami pun segera pulang. Ayah mengantarku biasanya sekaligus pulang untuk makan siang bersama.
Sesampainya
di rumah, kami segera menuju ke ruang makan. Tapi sepertinya ada suara
ibu sedang mengobrol. Ternyata ada Tante Siska. Ia adalah teman dekat
ibuku. Rupanya Tante Siska memberitahu bahwa ia akan segera menikah. Dan
rencananya, ia ingin meminjam baju pengantin ibu. Tak lama kemudian
Tante Siska pulang. Kami pun segera makan siang.
Saat makan siang,
ayah memberitahu kami bahwa ia ada tugas ke Surabaya. Ini bukan kali
pertamanya ayah pergi keluar kota. Jadi ibu tidak mempermasalahkan
kepergian ayah ke Surabaya.
Keesokkan harinya, pagi-pagi ayah sudah
berangkat. Aku dan ibu mengerjakan aktivitas seperti biasa. Tetapi hari
ini hari libur, jadi aku ada di rumah bersama ibu.
“Tok…tok…tok!” suara ketukan pintu.
Aku
pun segera membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Tante Siska. Aku
pun menyuruhnya masuk. Aku segera mengambilkan minum untuknya. Saat aku
ingin mengantarkan minum, ternyata mereka ada di kamar ibu. Aku pun
langsung masuk ke kamar ibu.
“Aku suka warnanya, San!” kata Tante Siska.
“Ia Sis, cocok dengan warna kulit kamu!” jawab ibu.
Oh,
ternyata Tante Siska ingin meminjam baju pengantin ibu dulu. Dulu ibu
pernah bercerita, katanya baju pengantin ini sudah lama ibu simpan.
Sudah 10 tahun lebih. Ibu memang sengaja menyimpannya. Kata ibu siapa
tahu ada yang memerlukannya. Ternyata benar, saat ini Tante Siska yang
ingin meminjamnya. Ibu dan Tante Siska sudah berteman lama. Tapi usia
mereka jauh berbeda. Saat ini ibu hampir 32 tahun. Tapi tante Siska baru
berumur 24 tahun.
“Tante, kapan acara pernikahannya?” tanyaku.
“Minggu depan! Kamu datang yah!” jawab Tante Siska.
“Pasti Tante!” jawabku.
“Ya sudah yah San, aku pulang dulu!” kata Tante Siska.
Tante Siska pun pulang, aku segera kembali ke kamarku.
“Sisil, bantu ibu Nak!” jerit ibuku.
Aku pun segera mendekatinya.
“Ada apa Bu?” Tanya ku.
Ibu memanggilku rupanya ia ingin dibelikan teh celup. Aku pun segera ke warung untuk membelikannya.
“Bu teh celupnya satu Bu!” kataku kepada ibu pemilik warung.
“Yang datang ke rumah Kamu tadi siapa Nak? Kok Ibu lihat dia membawa baju pengantin?” Tanya Bu Ilham pemilik warung kepadaku.
“Oh,
itu teman ibu Sisil Bu! Dia mau menikah, kebetulan baju pengantin ibu
masih ada. Jadi daripada mubazir, mending dipinjamkan ke Tante Siska!”
jawabku.
“Hemh, bukannya baju pengantin tidak boleh dipinjamkan ke orang lain?” kata Bu Ilham.
“Memangnya kenapa Bu?” tanyaku.
“Kalau
Ibu tidak salah, kalau baju pengantin kita dipinjam orang lain, nanti
pasangan kita yang dipinjam orang lain!” jawab Bu Ilham.
“Maksud Ibu ?” tanyaku lagi.
“Ah
sudahlah. Lupakan saja! Toh itu juga mitos zaman dulu! Teh celupnya
satu saja ya?” kata Bu Ilham sambil mengalihkan pertanyaanku.
Setelah
itu, ku ambil teh celupku dan langsung membalikkan badanku. Aku takut!
Aku takut apa yang dikatakan Bu Ilham benar. Aku memang pernah dengar
tentang mitos itu. Tapi … ah sudahlah, toh Bu Ilham juga tadi menyuruhku
untuk melupakannya.
Sesampainya di rumah, langsung kuberikan tehnya kepada ibu. Sore pun datang, aku segera mandi.
Malam
harinya, rasanya aku ingin menceritakan pada ibu. Tetapi aku takut. Aku
takut ini menjadi fikiran ibu. Aku juga takut ibu menjadi tidak nyaman
atas ceritaku ini. Tapi, untuk apa juga aku mempersoalkannya, ini
hanyalah mitos lama yang sudah tidak berpengaruh lagi pada era
globalisasi ini. Ini zaman modern, bukan saatnya untuk percaya yang
seperti itu.
*****
Sebulan sudah ayah tidak tinggal bersama-sama
kami. Jika tidak ada halangan dan perubahan jadwal, nanti malam ayah
pulang. Aku ingin cepat-cepat malam. Namun jantungku berdebar. Aku masih
ingat perkataan bu Ilham 1 bulan lalu. Argh !!! Kok aku jadi
terpengaruh lagi sih?
Malam pun tiba. Aku dan ibu beserta supir
pribadi kami segera menjemput ayah. Aku benar-benar tak sabar bertemu
ayah. Bukan karena hadiah atau oleh-oleh yang dibawa ayah, tapi karena
aku rindu ayah. Aku ingin melihat ayah dan ibu bersama agar aku dapat
menghilangkan fikiran buruk yang selalu menghantuiku sebulan terakhir
ini.
*****
“Nah Bu, itu ayah!” kataku saat melihat ayah.
“Ia itu ayah!” jawab ibu.
Kami
segera mendekati ayah. Ayah tidak seperti biasanya. Ia seperti
mengacuhkan kami. Rupanya saat ke Surabaya ayah pergi bersama asistennya
Om Tarto. Dan saat itu ayah sedang sibuk mengobrol dengan Om Tarto. Om
Tarto adalah tangan kanan ayah.
Setelah itu kami langsung pulang ke
rumah. Om Tarto pun diajak ayah pulang bersama. Aku pun segera mengajak
ayah makan bersama. Saat makan ayah mendapat telepon. Ayah seperti
bersembunyi-sembunyi menerimanya. Tak lama ayah langsung menutup
teleponnya. Nampaknya, seperti ada yang disembunyikan antara ayah dan Om
Tarto. Namun aku bertingkah yang sewajarnya saja.
Setelah makan
siang, ayah dan Om Tarto ke ruang kerja ayah yang ada di lantai dua. Aku
pun disuruh ibu mengantarkan minuman ke atas. Aku melihat ayah
membisikkan sesuatu kepada Om Tarto dan memberinya uang yang entah
berapa jumlahnya. Dengan terburu-buru ayah keluar dari ruang kerjanya
dan hampir menabrakku.
“Sisil ! Mau apa Kamu ke sini ?” Tanya ayah dengan muka cemas.
“Sisil mau antar minum Yah ! Kok Ayah seperti terburu-buru?” Kataku.
“Ah sudah-sudah!” kata ayah sambil menepis tanganku yang membawakan kopi.
Ayah
pun langsung ke bawah. Ku dengar ia menghidupkan mobil. Dari atas aku
melihat ibu yang berteriak memanggil ayah. Namun seperti pepatah “anjing
menggonggong kavila tetap berlalu”, ayah begitu saja mengacuhkan
panggilan ibu. Aku kasihan melihat ibu. Namun apa yang dapat kulakukan?
Tidak ada! Aku hanya bisa menyabarkan ibu. Yang ada di atas sini hanya
aku dan Om Tarto. Ia seperti kasian kepadaku. Ia pun meminum air yang
kubawa. Kami pun mengobrol-ngobrol.
Aku merasa ada yang lain dari Om
Tarto. Ia menatapku begitu dalam. Ia menatap mataku seperti penuh
dengan rasa iba yang mendalam. Seperti menatap seorang anak yang baru
ditinggal meninggal oleh orang tuanya. Aku heran sekali. Tapi, ah
sudahlah.
Kami pun turun. Di bawah ada ibu dengan muka yang amat
kusut. Aku dan Om Tarto mendekati ibu. Nah, ini kali kedua aku melihat
sesuatu yang lain pada Om Tarto. Ia menatap ibu saat ini, sama seperti
ia menatapku di atas tadi. Ia tidak tega sekali melihat kami berdua.
Tanpa berkata-kata, tiba-tiba Om Tarto berlari meniggalkan kami. Kami
kembali berdua di rumah itu. Karena kepalaku penat sekali, aku mengajak
ibu jalan-jalan ke mall sekalian membeli pakaian untuk pesta Tante Siska
nanti malam. Untungnya ibu mau.
Sesampainya di mall, aku dan ibu ke
tempat pakaian. Kami membeli pakaian untuk ke pesta pernikahan Tante
Siska. Aku dan ibu melihat lelaki yang wajahnya mirip ayah dengan
seorang perempuan cantik. Aku berfikir itu ayah. Tapi kata ibu bukan.
Jadi kami segera menuju kasir. Kasir itu menghitung belanjaan kami. Saat
kasir itu menyebutkan total belanjaan kami, ibu ternyata melamun.
Seperti ada sesuatu yang dikhawatirkan ibu. Aku pun bersuara agak keras
sehingga memecahkan lamunannya.
Hemh, hari ini aku dibuat
terheran-heran oleh orang-orang di sekitarku. Ah sudahlah lupakan saja.
Karena ingin ke pesta Tante Siska, jadi sebelum pulang kami ke salon
dulu. Setelah itu baru kami pulang.
Sesampainya di rumah, kami
langsung berganti baju dan segera pergi karena pestanya sebentar lagi
dimulai. Karena ayah belum pulang, jadi kami pergi berdua saja. Hemh, ke
mana ayah? Jangankan malam seperti ini, saat makan siang saja ayah
biasanya pulang. Semoga ayah baik-baik saja. Saat di pesta Tante Siska,
ibu bertemu banyak teman lamanya. Tante Siska terihat cantik sekali
memakai baju pengantin ibu. Karena merasa tidak enak, aku menjauh dari
ibu. Saat aku berjalan sendiri sambil memegang minuman, aku melihat
wanita yang bertemu di mall sore tadi. Namun saat ini tidak ada ayah.
Yang ada hanyalah,,, Hah ? Itu kan Om Tarto! Kok Om Tarto ada di sini ?
Aku
pun mendekati mereka. Om Tarto terkejut melihatku. Seperti tak
mengenalku, Om Tarto pergi mengajak wanita itu meninggalkanku. Mereka
cepat sekali. Sampai-sampai aku tidak bisa mengikuti mereka. Jadi, aku
kembali mendekati ibu.
Tanpa terasa pesta selesai dan kami segera
meninggalkan tempat pesta. Saat di halaman depan, ada Om Tarto yang
sedang menelpon seseorang. Dan dengan sengaja aku mendengarkan omongan
Om Tarto.
“Ia Pak ! Tadi waktu saya mengajak Lulu ke pesta, kami bertemu Sisil ! Katanya yang terdengar olehku.
Hah?
Sisil? Itukan aku? Dan, Lulu? Siapa Lulu? Apa yang sebenarnya
dibicarakan Om Tarto? Berbicara dengan siapa dia? Dan masih banyak
pertanyaan lainya yang berputar di kepalaku.
Dari belakang, ibuku
langsung merebut telepon Om Tarto. Saat dilihat, ternyata ia menelpon
ayah. Dari dalam telepon terdengar suara ayah berteriak-teriak. Ibu
menyuruh Om Tarto untuk tidak menghiraukan ayah.
“Tarto! Tarto! Yah
sudah, tolong Kau bereskan si Lulu! Jangan sampai Sisil, apalagi istriku
mengetahui hubunganku dengan Lulu!” Suara ayah dari telepon.
Telepone
pun mati. Tatapan ibu mengarah pada Om Tarto. Om Tarto sepertinya tahu
maksud ibu menatap matanya. Namun ia tidak berani menatap kembali mata
ibu. Mulutnya tiba-tiba gagap. Karena ia berbicara antara gugup dan
takut.
“Siapa Lulu?” Tanya ibu dengan nafas yang terengah-engah.
“Di…dia..dia..!” kata Om Tarto yang langsung dipotong ibu.
“Siapa? Jawab!” potong ibu sambil membentak.
“Dia wanita yang ingin dinikahi Pak Doni Buk!” Jawabnya.
Saat
itu, tiba-tiba turun hujan. Ibu langsung mengajakku pulang tanpa
mengeluarkan sepatah katapun. Saat di rumah, ternyata ayah sudah pulang.
Ibu langsung menanyakan semuanya pada ayah. Celakanya, yang dibicarakan
Om Tarto tadi itu benar.
“Memang aku ingin menikahi Lulu! Jadi kenapa?” Bentak ayah.
Aku dan ibu menangis.
“Berarti
benar yang dikatakan Bu Ilham! Katanya, kalau baju pengantin kita
dipinjam orang, nanti pasangan kita yang akan dipinjam orang.” Kataku.
“Ah anak kecil! Tahu apa kamu?” Kata ayah sambil meninggalkan kami.
Tiba-tiba
ibu pingsan. Aku langsung membawa ibu ke rumah sakit. Setelah beberapa
hari dirawat, ternyata ibu mengalami gangguan jiwa. Dan ia terpaksa
harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di samping itu, ayah tetap
melangsungkan pernikahannya dengan Lulu kekasihnya itu. Aku tidak
menyangka ayah setega itu.
*****
Begituah perpecahan rumah tangga
orang tuaku yang terjadi 4 tahun lalu. Sejak kejadian itu, ayah tinggal
bersama Tante Lulu. Sedangkan ibu masih di rumah sakit jiwa. Dan aku
tinggal bersama nenek. Karena kejadian inilah aku takut dengan suara
hujan. Bahkan tak jarang aku menangis saat mendengar suara hujan.
Hemh,
Tuhan, inikah jalan takdirku? Terkadang aku iri pada teman-temanku yang
dijemput orang tuanya. Apalagi saat pembagian rapor. Ah sudahlah.
Percayalah bahwa pasti ada hikmah dari semuanya.
Aku teringat
perkataan Dona dulu. Katanya, ayah ganteng. Pasti banyak yang suka.
Benarkan kataku, kata-kata itu doa. Buktinya itu benar-benar terjadi.
Disamping
itu, aku juga teringat perkataan Bu Ilham. Hemh, mitos tetaplah mitos.
Mana mungkin jadi kenyataan. Apakah ini kebetualan? Aku tak percaya
kebetulan! Karena semuanya sudah diatur dan ada yang mengatur.
Kini
aku hanya mencoba untuk menerima kenyataan yang ada dan belajar dari
pengalaman. Karena pengalaman adalah guru terbaik. Aku tidak ingin
terjatuh pada lubang yang sama. Cukup rumah tangga orang tuaku yang
pecah. Jangan sampai itu terjadi padaku nanti. Amin! Amin Yaa Robbal
Alamin!
Karena sudah malam aku pun segera tidur. Selamat malam ayah
yang sudah bahagia bersama Tante Lulu! Selamat malam ibu! Besok aku
ingin jenguk ibu saja lah. Dan selamat malam dunia!
Hidup akan indah
jika kita meraih suatu kesuksesan. Sukses tersebut berawal dari
cita-cita. Dan cita-cita berawal dari mimpi. Maka dari itu mimpi
indahlah malam ini agar mendapatkan kebahagiaan diesok hari bahkan
dimasa yang akan datang.
*****
0 komentar:
Posting Komentar