Selasa, 17 September 2013

Trouble in Trouble

Aku mendapat hasil yang pantas dari perkataan yang telah ku ucapkan. Aku terlalu egois, hanya mementingkan perasaan ku sendiri. Tak salah ibuku mengatakan kalau aku sangat keras kepala, seperti batu. Dia, Si GD cukup dapat memahamiku, hanya saja aku terus menambahkan genderang perang padanya. Pikiran ku kacau karena ulahku sendiri.
Tak seharusnya aku berkata, dan menuangkan isi perkataan dan hati batuku ke dalam bentuk tulisan pesan teks kepadanya. Aku sungguh ingin memotong jemariku. Jemari yang tak dapat menghentikan pikiranku untuk menuliskan huruf demi huruf, kata demi kata hingga menjadi kalimat yang nantinya menyakiti si penerima pesan teks ini.
“Bagus, kau mengabaikan ku lagi untuk kesekian kali. Terus saja abaikan aku”, kata ku
Sebenarnya, GD tergolong orang yang sabar menghadapi si kepala batu seperti ku. Bermula dari pesan singkat yang ku ketik oleh jemari terkutuk dan pikiran ku yang tak jelas isinya. Seharusnya bila kepala ku benar batu seperti kata ibuku, aku tak akan berpikir untuk memperlebar hal kecil menjadi big trouble. Namun, tak berapa lama kerasnya kepala batu ku ini, dapat ku kuasai kembali. Aku dapat meredam amarahku, dan kembali tenang. Tapi, lagi lagi pikiran dan jemariku kembali bersekongkol menguasai diriku. Kembali mengetik kata demi kata hingga menjadi kalimat panjang bak surat upeti ke liang kubur penyesalan yang nantinya aku dapatkan. Suasana yang sempat hening memanas kembali, karena ulah ku lagi. Kembali aku lagi.
Aku sungguh menyesali perbuatan ku. Aku terlalu egois. Namun, dibalik itu semua aku mendapat titik terang. Aku terlalu takut kehilangan GD. Mungkin sangat lucu, mengapa takut kehilangan seseorang, namun benar aku takut kehilangan. Aku butuh dia, sebagai kakak ku, ayahku saat ayah kandungku tak di sisiku, dan sebagai pacar yang aku sayangi.
Aku di kuasai amarahku, aku sangat ingin membenturkan kepala ku dengan batu. Hantaman yang keras. Ku rasa itu cukup adil untuk kepala batu ku ini. Sehingga batu kepalaku dapat beradu dengan batu yang asli, hingga akhirnya aku mendapati mana yang lebih keras. Aku malu pada diriku sendiri, aku tak dapat memercayai diriku. Aku percaya padanya, tapi mengapa aku ragu pada diriku sendiri. Maafkan. Hanya itu yang dapat ku katakan. Aku sungguh bodoh. Maafkan.
Maafkan

0 komentar: