Selasa, 17 September 2013

Harusnya

Kau lebih dari sekedar bintang-bintang. Kau lebih dari sekedar sang rembulan ~
Suara Naga Lyla mengalun dari ponselku. Pertanda sebuah pesan baru masuk. Dengan cepat, jemariku meraih ponsel yang ada di sampingku.
Besok pas liburan
Kita maen ke Jogja, yuk!
Pesan dari Arga, tunanganku. Setelah sarjana, kami akan menikah. Saat ini, kami sedang melakukan proses ta’aruf. Arga adalah anak seangkatanku. Tapi, kami berbeda jurusan. Dia memilih jurusan teknologi dan aku jurusan teknik pertanian di ITB ini. Tempat tinggal Arga di Jogyakarta. Jadi, hanya tiap musim liburan dia dapat pulang ke kampung halamannya. Sifatnya yang ramah dan easy going, membuat dia mempunyai banyak teman. terkadang aku merasa beruntung dapat menjadi miliknya. Meski belum seutuhnya. Yahh.. aku memang harus berterima kasih dengan orangtuaku karena telah menjodohkanku dengan Arga. Dan aku berharap, dapat bersatu dengan Arga tuk selamanya.
Jari-jariku dengan cepat mengetik balasan untuk Arga. Aku harus bertanya dulu pada orangtuaku. Apalagi, seminggu yang lalu Nenekku menyuruh kami sekeluarga untuk berlibur ke Surabaya. Meski, aku yakin lebih baik liburan ke Jogja. Aku dapat lebih dekat dengan keluarga Arga dan itu memang tujuan kami kesana selain hanya menghabiskan waktu liburan. Aku harus segera bertanya pada orangtuaku. Secepatnya.

“Sa, Nenek kan sudah telfon kemari minggu lalu. Kita disuruh liburan ke Surabaya. Apa kamu tega menyakiti hati nenek yang sedang merindukan cucunya?. Lebih baik kamu tetap ikut ke Surabaya, Sa.” Kata Bunda menolak ideku untuk liburan bersama Arga.
“Bun, liburan-liburan yang lalu kita juga ke Surabaya kan. Raisa juga ikut. Tapi, Raisa mohon, Bun. Kali ini saja. Biarkan Raisa ke Jogja.” Aku tetap mengelak. Bagaimanapun, Nenek pasti akan mengerti alasan cucu tersayangnya ini untuk tidak liburan ke Surabaya dan memilih pergi ke Jogja.
“Tapi,” balas Bunda terpotong oleh gelengan kepala ayah ke arah Bunda. Bunda menghela nafasnya lalu menatapku dalam.
“Baiklah. Tapi, kamu janji tidak macam-macam.” Ucap Bunda.
Mataku berbinar. Aku menghembuskan nafas lega. Ayah memang hebat. Dengan satu gelengan saja, dapat meruntuhkan pertahanan Bunda. Ayahku memang tak banyak bicara. Namun, tiap perkataan yang keluar dari bibirnya, semuanya bermakna.
Aku langsung memeluk Ayah penuh bahagia. Ayah membalas pelukanku dengan hangat. Mataku melirik Bunda yang sedang menatapku dengan penuh keengganan. Apapun alasannya, Bunda tetap tidak dapat lagi menarik ucapannya. Aku tak sabar menghabiskan waktu liburanku di Jogja. Hmmm.. pasti seru

Mega telah Nampak di ufuk barat dengan semburat-semburat merah dan cahaya keemasannya ketika kami keluar dari taksi dan menuju stasiun. Sudah 3 minggu kami berada di Jogja dan kini saatnya kembali ke Bandung.
Hari-hariku di Jogja benar-benar terasa berlalu dengan cepat. Aku langsung disambut dengan hangat di keluarga besar Arga. Syukurlah, mereka dapat menerimaku dengan baik. Dengan begitu, aku merasa betah untuk tinggal lebih lama lagi di tengah-tengah keluarga Arga yang baik.
Aku dan Arga menghabiskan waktu di tempat-tempat wisata dan bersejarah. Kami menjelajahi 3 tingkatan Borobudur, mengelilingi Prambanan, mengagumi arsitektur keraton, berfoto dengan turis, menikmati indahnya sunrise di Parangtritis, memakan berbagai kuliner asli Jogja, hingga naik ke atas pesawat di museum Dirgantara. Sungguh aku bahagia. Ingin aku kembali lagi ke momen-momen istimewa di Jogja dan aku memang benar-benar kembali lewat mimpi indah di tidurku. Aku terlelap.
4 sampai 5 jam kemudian…
Samar-samar aku melihat wajah Arga di pundakku. Dia tertidur. Aku bangun dan mengggeliat untuk meregangkan otot-ototku yang kaku. Arga tetap bersandar pulas di pundakku. Aku dapat merasakan ritme nafas yang teratur menerpa kulit ariku.
Aku melihat arloji di tanganku. Sebentar lagi, kami akan sampai di Bandung. Ku raih ponsel untuk mengabari bahwa aku telah tiba di Bandung dengan selamat. Tapi, ternyata ada 2 pesan baru di layar ponselku. Tiba-tiba saja firasat aneh menyergapku. Aku membuka perlahan pesan itu.
From: Bunda
Sa, kamu jadi pulang hari ini?
Aku segera mengetik balasan untuk Bunda dengan cekatan. Lalu, kubuka pesan kedua.
From: kak Mhela
Dek, cepetan pulang. PENTING!
Aku mengernyitkan dahi. Kak Mhela, kakak kandungku, jarang sekali mengirim sms kepadaku. Tapi kali ini?. Keringat dingin keluar dari pori-poriku. Aku tegang dan was-was dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku teringat nenek. Bagaimana kabar nenek, ya?. Aku hanya memasrahkan diri di bangku kereta. Berharap semuanya baik-baik saja.

Aku meneteskan airmata lagi dan lagi. Bunda juga sesenggukan di pelukan Ayah. Kak Mhela hanya memandangku dengan tatapan sendu. Matanya merah dan terlihat jelas bahwa dia juga baru saja menangis. Kami ada di dalam kamar nenek yang sekarang kosong. Suara orang ramai di luar. Sayup-sayup juga terdengar lantunan tahlil dari luar. Airmataku kembali mengalir dengan deras. Arga menggenggam tanganku erat mencoba menguatkanku meski dia tau semua itu tetap sia-sia.
“Sebenarnya, sudah sejak sebulan yang lalu penyakit Nenek kambuh. Tapi, beliau tidak mau periksa ke dokter maupun ke rumah sakit. Beliau berkeras mengatakan baik-baik saja. Padahal, keadaan nenek saat itu sudah parah.” Kata kak Mhela menjelaskan.
“Tapi.. kenapa.. aku.. tidak.. kalian.. beritahu.. andai saja.. aku tau.. pasti.. aku.. akan.. memilih.. berlibur.. ke.. sini..” ucapku terbata-bata karena menahan tangis.
“Nenek yang melarang kami memberitahukan hal ini kepadamu, Sa. Beliau ingin kamu bahagia. Beliau tidak ingin kamu bersedih, karena kamu cucu yang sangat disayanginya.” Kata kak Mhela setenang mungkin.
Aku menelungkupkan wajah di dada Arga. Tangisku semakin pecah. Nenek sudah tiada. Penyakit ashma stadium akhir-nya, telah melumpuhkan nenek. Andai saja, aku tau sejak awal. Harusnya, aku tak pergi ke Jogja. Harusnya, aku menuruti ucapan Bunda. Harusnya, aku menemani Nenek di sisa-sisa terakhir hidupnya. Harusnya…
the end

0 komentar: