Allaahu akbar..
Allaahu akbar..
Allaahu akbar..
Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar..
Allaahu akbar..
Walillaahilhamdu
Samar, kudengar lantun merdu takbir raya memenuhi langit maghrib
petang itu. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan, setelah
kewajiban sholat ku selesai dilaksanakan. Butir segar dari air wudhu
yang beberapa saat lalu kuambil, sebagian masih ada yang menggelayut
manja di dagu, kening, dan pelipisku. Ku lipat pelan, mukena yang baru
saja terlepas dari tubuh ini.
Lagi. Takbir itu masih menggema, seolah merayap pada atap-atap biru
kemerahan yang sebentar lagi menyusut ke ufuk. Dan selalu, getaran hati
ini setia terbit kala takbir-takbir itu terkumandang indah, seakan
menjumpai pasangan getar yang sejati.
Aku beranjak duduk di teras depan rumah. Masih dengan getaran itu.
Manik mata yang kumiliki, mulai tak sabar berkeliaran menatap
orang-orang sekitar yang terlihat hilir mudik melewati jalan setapak
yang menjalar di depan halaman rumahku.
Deru motor dan mobil seperti tak ada habisnya mengiringi jiwa-jiwa
yang membawa segunduk rindu untuk keluarga yang menantinya. Peluh-peluh
menetes mengalir ke pelipis, melukiskan perjuangan mereka yang lagi, tak
kenal lelah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya tak jua menjadi
penghambat jarak untuk memenuhi hasrat berkumpul mereka dengan sanak
saudara.
Senyum bertengger di lengkuk bibir tipisku, saat kulihat beberapa di
antara mereka orang-orang-yang-melewati-jalan-setapak tengah sibuk
menjinjing beban yang dibalut plastik hitam sambil menggumam tak jelas.
Mereka mengantarkan zakat-zakatnya pada tetangga mereka yang
membutuhkan. Ada juga sebagian, memberikannya padaku.
Beranjak malam, langit tampak semakin cantik dengan ribuan kerlip
yang menggantung. Anak-anak kecil dengan tawa cerianya berlari, dengan
kaki-kakinya yang mungil dan dingin. Mereka senang, mereka gembira
ketika mengingat esok akan banyak angpau-angpau yang melekat pada
jemari-jemari mereka. Dan selebihnya hanya kegembiraan karena dapat
bersosonoan dengan para sepupu.
Tak ayal lagi, semua yang ku tatap lekat pada malam itu memaksa
sebutir liquid bening mataku membrutal dan siap meluncur. Aku menarik
nafasku dalam, dan menghembuskannya sangat pelan. Seolah itu adalah satu
rangkaian nikmat yang terakhir kan kurasakan.
Dan satu gurat ingatanku melayang pada sebuah hal. Kenikmatan yang ku
miliki. Ku syukuri dengan sangat, segenap jiwa dan nurani, kala tuhan
menempatkanku pada satu handau tolan yang beragama lurus. Pula, kala
Allah, tuhanku sang pencipta segala jagat, menganugerahiku segumpal iman
yang kini mengalir di tiap desah, denyut juga detakku. Iman yang tak
seluruh insan menggenggamnya.
00.05
Belum ada keinginanku untuk kedua bola mata ini memejam. Aku tenggelam
dan terhanyut. Tak hentinya mendesis, menggumamkan takbir serta syukur.
Ketika para tetangga, masih sibuk di keremangan dapur, membaui
dinding-dinding tempat tinggal mereka dengan wangi opor dan ketupat, aku
malah disibukkan oleh pikiranku sendiri.
Bergulat dan berkutat pada rasa-rasa peduli yang memenuhi hampir sepenuh isi kepala.
Bagaimana, dengan mereka yang tak bisa merasakan nikmatnya sekarang?
Bocah di kolong jembatan, para lansia di emperan toko, para ibu yang
kehabisan makanan untuk anaknya, dan masih terlalu banyak. Semua
membuncah.
Aku menangis. Dan itu, begitu deras.
Tak selesai disitu. Ada juga manusia-manusia brengs*k yang
mengenyahkan nikmat mereka. Kufur. Denting botol-botol alkohol
menggantikan nikmat yang sebenarnya. Malam itu, gema takbir, tawa sapa,
denting botol kaca, juga isakan tangis bercampur menjadi selembar
kenangan yang takkan terlupa.
Juga kerlip disana.
Cerpen Karangan: Nika Lusiyana
Facebook: Haruka Yuzu
Terus menulis, apapun itu. Asalkan baik!
0 komentar:
Posting Komentar