Selasa, 17 September 2013

Hitam Putih Hari Raya

Allaahu akbar..
Allaahu akbar..
Allaahu akbar..
Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar..
Allaahu akbar..
Walillaahilhamdu
Samar, kudengar lantun merdu takbir raya memenuhi langit maghrib petang itu. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan, setelah kewajiban sholat ku selesai dilaksanakan. Butir segar dari air wudhu yang beberapa saat lalu kuambil, sebagian masih ada yang menggelayut manja di dagu, kening, dan pelipisku. Ku lipat pelan, mukena yang baru saja terlepas dari tubuh ini.
Lagi. Takbir itu masih menggema, seolah merayap pada atap-atap biru kemerahan yang sebentar lagi menyusut ke ufuk. Dan selalu, getaran hati ini setia terbit kala takbir-takbir itu terkumandang indah, seakan menjumpai pasangan getar yang sejati.
Aku beranjak duduk di teras depan rumah. Masih dengan getaran itu. Manik mata yang kumiliki, mulai tak sabar berkeliaran menatap orang-orang sekitar yang terlihat hilir mudik melewati jalan setapak yang menjalar di depan halaman rumahku.
Deru motor dan mobil seperti tak ada habisnya mengiringi jiwa-jiwa yang membawa segunduk rindu untuk keluarga yang menantinya. Peluh-peluh menetes mengalir ke pelipis, melukiskan perjuangan mereka yang lagi, tak kenal lelah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya tak jua menjadi penghambat jarak untuk memenuhi hasrat berkumpul mereka dengan sanak saudara.
Senyum bertengger di lengkuk bibir tipisku, saat kulihat beberapa di antara mereka orang-orang-yang-melewati-jalan-setapak tengah sibuk menjinjing beban yang dibalut plastik hitam sambil menggumam tak jelas. Mereka mengantarkan zakat-zakatnya pada tetangga mereka yang membutuhkan. Ada juga sebagian, memberikannya padaku.
Beranjak malam, langit tampak semakin cantik dengan ribuan kerlip yang menggantung. Anak-anak kecil dengan tawa cerianya berlari, dengan kaki-kakinya yang mungil dan dingin. Mereka senang, mereka gembira ketika mengingat esok akan banyak angpau-angpau yang melekat pada jemari-jemari mereka. Dan selebihnya hanya kegembiraan karena dapat bersosonoan dengan para sepupu.
Tak ayal lagi, semua yang ku tatap lekat pada malam itu memaksa sebutir liquid bening mataku membrutal dan siap meluncur. Aku menarik nafasku dalam, dan menghembuskannya sangat pelan. Seolah itu adalah satu rangkaian nikmat yang terakhir kan kurasakan.
Dan satu gurat ingatanku melayang pada sebuah hal. Kenikmatan yang ku miliki. Ku syukuri dengan sangat, segenap jiwa dan nurani, kala tuhan menempatkanku pada satu handau tolan yang beragama lurus. Pula, kala Allah, tuhanku sang pencipta segala jagat, menganugerahiku segumpal iman yang kini mengalir di tiap desah, denyut juga detakku. Iman yang tak seluruh insan menggenggamnya.
00.05
Belum ada keinginanku untuk kedua bola mata ini memejam. Aku tenggelam dan terhanyut. Tak hentinya mendesis, menggumamkan takbir serta syukur. Ketika para tetangga, masih sibuk di keremangan dapur, membaui dinding-dinding tempat tinggal mereka dengan wangi opor dan ketupat, aku malah disibukkan oleh pikiranku sendiri.
Bergulat dan berkutat pada rasa-rasa peduli yang memenuhi hampir sepenuh isi kepala.
Bagaimana, dengan mereka yang tak bisa merasakan nikmatnya sekarang? Bocah di kolong jembatan, para lansia di emperan toko, para ibu yang kehabisan makanan untuk anaknya, dan masih terlalu banyak. Semua membuncah.
Aku menangis. Dan itu, begitu deras.
Tak selesai disitu. Ada juga manusia-manusia brengs*k yang mengenyahkan nikmat mereka. Kufur. Denting botol-botol alkohol menggantikan nikmat yang sebenarnya. Malam itu, gema takbir, tawa sapa, denting botol kaca, juga isakan tangis bercampur menjadi selembar kenangan yang takkan terlupa.
Juga kerlip disana. :)
Cerpen Karangan: Nika Lusiyana
Facebook: Haruka Yuzu
Terus menulis, apapun itu. Asalkan baik!

0 komentar: