Jumat, 13 September 2013

Puisi Bersampul Kuning

Terbangun ia dari tidurnya yang pulas. Sontak ia berteriak dengan kencang.
“Puisi itu, puisi itu, sampul kuning itu…!”
Kaget bangkit. Matanya jalang mengitari seputarnya. Seolah ada kekuatan dari dalam.
“Mana anak itu? Mana?”
Suaminya sontak terbangun. Kelopak matanya langsung menyorot tubuh istrinya yang sempoyongan namun memaksakan diri. Segera ia cegah istrinya yang segera keluar meninggalkan kamar.
“Hastuti, sadar Hastuti, ini masih pagi. Apa yang akan kau lakukan? Kau bermimpi lagi? Tanya Hendro sang suami.
“Aku yankin kalau mimpi itu nyata. Karea sudah beberapa hari ini ku bermimpi tentang kelakuan anak itu!” jawab Hastuti.

“Mimpi itu bunga tidur Hastuti, kau terlalu mempercayainya. Dan rasa kecurigaanmu itu yang menjadi momok dihidupmu sendiri.” Jelas Hendro.
“Tidak, dia memang anak tak tahu diuntung. Anak durhaka, kurang ajar.” Jawab istrinya dengan membentak.
“Sudah Hastuti cukup. Aku bosan. Setiap pagi harus mendengar ocehanmu itu. Cobalah berfikir positif Tuti!” lanjut Hendro.
Hastuti terdiam sketika. Dengan jantung yang berdetak tak beraturan dan dengan nafas yang terengah-engah, dia terduduk di kasur tipis yang ditopang ranjang tua.
Setiap malam Hastuti bermimpi bahwa anaknya menjadi penulis puisi terkenal. Dalam mimpinya selau ada puisi bersampul kuning yang sering dibuat anaknya. Ia tidak bisa membayangkan. Jika anaknya terus-terusan membuat puisi, ia akan dikucilkan dari desa.
*****
Terdengar suara kaki yang perlahan semakin mendekat.
“Ayah, Ibu, ini aku bawakan air putih!” kata Resi anak sematang wayangnya.
“Ini yang kau bilang anak kurang ajar. Ia sopan,ia baik.” Jelas suminya.
“Heemh, dia anak yang sudah membuat kita malu. Karena dia kita hampir diusir dari sini. Resi,Resi, jadi anak kok susah dinasehati sih.” Kata Hastuti sambil mendorong kepala Resi dengan telunjuknya.
Dengan mata berkaca-kaca, ia memandang ayahnya. Tatapan ayahnya pun serba salah. Saat ayahnya mulai membuka mulut untuk bicara, ia pergi meninggalkan ayahnya.
Resi pergi meninggalkan rumah dan menuju ke sebuah gubuk. Ternyata di sana ada semacam sekolah non-formal. Namun, tak ada satu murid pun melainkan Resi. Awalnya banyak anak desa sini yang ingin ikut bersekolah dengan Kanti. Seorang yang mengajar di sini. Namun hampir seluruh orang tua di sini melarang anaknya untuk bersekolah. Mereka berfikir bahwa sekolah tidak penting. Yang terpenting untuk anaknya adalah mengajarkan membajak sawah dan berternak jika anak mereka lelaki. Juga mengajarkan bersawah jika anak mereka seorang perempuan.. Dan menikah ketika anaknya sudah akil balik. Hanya itu. Tidak lebih. Mereka beranggapan sekolah hanya menghambur-hamburkan uang.
Mengenai sekolah, apalagi cita-cita, itu jauh dari yang difikirkan. Sebagai konsekuensinya, bagi anak yang melanggar, keluarga tersebut atau anaknya saja akan dikucilkan.
Di sini Resi mempunyai hobi menulis puisi. Ia ingin membuktikan pada orang tuanya dan warga desa bahwa sekolah itu penting. Dan mempunyai cita-cita merupakan tujuan sekolah agar bisa hidup dengan layak. Puisi buatan Resi memang indah. Ia selalu megumpulkan uang untuk membeli kertas puisi, tinta pena berwarna dan sampul kuning. Ayah Resi sebenarnya cukup bangga atas kemampuan anaknya. Tetapi sebenarnya ia juga tak rela jika anaknya harus pergi dari desa itu.
Pulang dari sekolah, ia membuat pisang goreng dan menjualnya. Ibunya tersenyum mendengar Resi akan menjual pisang goreng. Saat selesai berjualan, Resi menyerahkan uang hasil dagangan kepada ibunya yang sebelumnya telah ia ambil sebagian untuk membeli peraralatan menulis puisi.
Masuklah ia ke kamar dan mulai menggoreskan tinta berwarnanya pada kertas bergambar boneka.
“Andai aku adalah batu,
Yang keras dan selau diam membisu
Andai aku adalah pohon,
Yang tegar dan tak tergoyahkan
Andai aku adalah air,
Yang diam mengalir ke hilir.
Tapi,
Aku adalah seorang insan,
Yang lemah dan goyah,
Yang berdiri tegak karena paksaan,
Aku ingin seperti batu yang kuat,
Seperti pohon yang tegar,
Atau seperti air yang mengalir apa adanya
Inginku hanya sebatas asa yang tak terlepas dari Yang Kuasa”
Diletakkannya puisi itu dalam sebuah sampul kuning. Di pojok kamarnya, ada sebuah puisi yang selalu ia jaga.
Tiba-tiba, ibunya masuk.
“Oh, jadi benar apa kata tetangga. Kau masih mempelajari puisi itu. Daripada ibu yang harus pergi, lebih baik kau yang pergi. Pergi sana. Anak kurang ajar.” Bentak Hastuti.
Dibereskan semua barang-barangnya serta puisi-puisi sampul kuningnya. Tapi puisi di pojok kamarnya sengaja ditinggalnya. Pergilah ia dari kampung itu. Ayahnya tak bis berbuat apa-apa. Tujuan Resi satu-satunya, pergi ke gubuk tempat Kanti mengajar. Kanti mengajak Resi pergi dari desa itu. Raut mukanya seolah berkata ‘kalian akan menyesal telah mengusir Resi’. Ketika mereka pergi, masuklah Hendro ke kamar Resi. Ia menemukan puisi bersampul kuning di pojok kamar. Dibacalah oleh Hendro.
“Ku seperti anjing yang hilang
Merengek menangis dalam hitamnya malam
Mencari setitik cahaya kedamaian
Langitpun menumpahkan isinya
Sang anjing berlari…
Sembunyi…
Dan merintih…
Ahh….

Bimbangku dalam keramaiannya,
Resahku dalam kegirangannya,
Begitupun sedihku,
Tawa buatmu.
Tapi sebaliknya…
Sedihmu, sedih buatku,,,
Tawamu, tawa buatku…
Biarlah ketidak adilan ini terus menyikraku
Sampai sang bayang menyadarinya…
Berkaca-kacalah mata sang ayah. Di balik puisi itu, ada tulisan lain bertinta merah tua. Hendro pun melanjutka bacaannya.
“Mengapa nasibku berbeda dengan yang lain. Aku ingin seperti anak lain yang bisa bersekolah dan mempunyai cita-cita. Aku ingin mempnyai orang tua yang mengerti kemauan anaknya. Terkadang aku berfikir bahwa Tuhan tak adil padaku. Aku tak pernah minta dilahirkan ibuku. Tapi mereka yang mengadakanku di sini. Namun mengapa mereka begitu membenciku hanya karena hobi dan cita-citaku ini. Orang bilang hidup adalah pilihan. Tapi bagiku tidak. Karena aku tidak pernah memilih untuk ada dan hidup di bumi yang fana ini.”
Kali ini meneteslah air mata Hendro. Ditunjukkanlah oleh Hendro pada istrinya. Layaknya manusia biasa, hati Hastuti tergerak hingga ia menyesali perbuatannya. Hartati merasa bodoh telah menyia-nyiakan Resi.
*****
Hari-hari terus berlalu. Hingga tak terasa sudah hampir 6 tahun Resi pergi.
“Resi pergi saat umur 16 tahun kan Yah? Berarti sekarang ia sudah 22 tahun. Aku merindukannya. Aku menyesal Yah!” kata Hastuti sambil menundukan kepala.
Hendro hanya bisa terdiam. Ia juga sedih tapi bercampur rasa geram karena Hastuti telah mengusir Resi.
“Assalamu’alaikum! Tok…tok…tok…!” suara dari depan rumah.
Ternyata yang datang adalah Kanti. Guru Resi. Rupanya Kanti ingin menunjukan sesuatu yang terjadi pada Resi. Tanpa fikir panjang, Hastati dan Hendro langsung pergi bersama Kanti. Ditunjukkanlah sebuah rumah yang mewah. Keluarlah gadis cantik dari rumah itu dan masuk ke dalam mobil.
“Kalian tahu siapa itu? Itu adalah Resi! Anak yang dulu kalian usir.” Kata Kanti.
Hendro dan Hastuti segera mendekati Resi. Resi terkejut melihat orang tuanya ada di hadapannya. Rupanya, ia menghidupkan mobil untuk menjemput orang tuanya di desa. Tapi Kanti telah lebih dulu ke desa.
Kini, ia telah dapat membuktikan pada orang tuanya bahwa sekolah itu penting. Sekarang ia telah menjadi seorang penulis puisi terkenal.
Hendro terlihat memegang secarik kertas. Di tunjukkannyalah kertas itu pada Resi. Ternyata, kertas itu adalah puisi yang ditinggalkan oleh Resi. Puisi itu masih disimpan oleh Hendro. Tersenyumlah Resi melihat kertas itu. Mimpi Hartati menjadi nyata bahwa puisi bersampul kuning telah menghantarkan anaknya ke pintu kebahagiaan.
Resi pun telah menyadari bahwa pasti ada hikmah dibalik sesuatu apapun. Jika dulu ia berkata Tuhan tidak adil, kini ia bersyukur pada Tuhan. Karena jika ia tidak dilahirkan oleh Hastuti dan diusir dari desa, mungkin ia tidak akan menjadi seperti sekarang.
Jika orang mengatakan hidup adalah pilihan, baginya itu benar. Karena ia masih hidup sampai sekarang dan menjadi seorang penulis puisi adalah pilihannya sendiri. Bukan paksaan dari siapapun.
Menurutnya, kalau tidak berani hidup, sebaiknya mati saja. Dan jika takut menghadapi kematian, jangan hidup di dunia ini.
*****

0 komentar: