Selasa, 17 September 2013

Setelah Papa Pergi

Ketika senja tak lagi mampu bertahan, meninggalkan bumi dalam kegelapan, memaksa sang surya tuk menutup hari. Mengukir sepenggal kisah dalam pelupuk mata, menyiratkan keindahan yang palsu. Keindahan yang hanya terlukis kala mentari mulai menyingsing dan berakhir kala sang surya tenggelam di ufuk barat.
Hari yang indah di sekolah ini, seakan begitu cepat berlalu. Keindahan dan kebahagiaannya seakan lenyap setelah aku tiba di rumah. Bergantikan dengan suasana kesedihan dan kemuraman yang begitu menyiksaku. Kehidupanku di sekolah dan kehidupan pribadiku di rumah mungkin berbeda 180 derajat.
Bagiku bukan hal asing lagi melihat ke dua orang tuaku bertengkar dan saling memukul. Entah bagaimana awalnya hingga keluargaku menjadi berantakkan seperti ini. Yang ku tahu semua malapetaka ini di mulai beberapa bulan yang lalu saat aku masih kelas 6 SD dan sedang menjalani UASBN. Beruntung aku masih mendapat nilai yang tidak begitu mengcewakan, hingga aku bisa di terima di sekolah ini. Jika tidak, entahlah…
Semua masalah seakan datang bertubi-tubi, silih berganti tak jemu-jemunya menyambangi bahtera rumah tangga kedua orang tuaku ini. Mulai dari Papaku yang di kabarkan selingkuh, Papaku yang bangkrut karena di tipu oleh temannya, hingga hutang yang membelit keluarga kami, dan masih banyak hal yang lain yang mungkin tak pantas untuk di ceritakan.
Papa menjadi jarang di rumah dan sering pulang malam. Papa menjadi temperamental dan uring-uringan. Pernah suatu malam beliau pulang dalam keadaan mabuk. Entah setan apa yang telah merasuki raga Papaku yang amat ku cintai ini.
Sejak aku kecil sampai tumbuh sebesar ini aku memang cenderung lebih dekat dengan Papa. Papa adalah sesosok Ayah yang begitu sabar, perhatian, penyayang, dan sangat mencintai keluarganya. Hampir tak pernah ku dengar dan ku lihat ucapan serta tindakan kasar darinya. Itulah yang membuatku sangat menyayanginya. Pernah suatu hari aku bertanya pada Papaku, tanya polos seorang anak kecil…
“Papa kalau berantem sama mama kok kalah sih?” Tanyaku polos yang saat itu masih SD.
“Papa gak kalah dek, Papa itu mengalah” Kata Papa membelai rambutku dengan lembut.
Sejak saat itu, aku selalu mengingat kata-kata Papa dan belajar menjadi sosok yang penyabar darinya. Dialah satu-satunya sosok laki-laki yang begitu aku banggakan hingga detik ini. Seburuk apapun ia di mata orang lain, ia tetap Ayah yang terbaik untukku. Ayah yang selalu menjadi penopang hidupku. Ayah yang selalu mengajarkanku arti kesabaran dan kelemah lembutan.
Aku pun belajar menjadi seorang wanita yang kuat, tegar dan tangguh dari Mamaku. Beliau figure seorang ibu yang begitu menjadi sumber inspirasiku, bagaimana pun keadaan keluarganya yang sudah di ambang kehancuran, tak pernah ku lihat Beliau mengeluh dan menangis di depan anak-anaknya. Beliau selalu terlihat tegar meskipun mungkin hatinya menjerit-jerit, menangis tak kuasa menahan beban kehidupan yang begitu berat.
Malam yang telah larut memaksaku untuk segera memejamkan mata, menutup hari ini. Saat ku tengah terbuai akan keindahan alam mimpi, sayup-sayup terdengar keributan pertengkaran orang tuaku yang membuat Papaku kalap dan membanting segala macam benda sebagai pelampiasan emosinya.
Ku coba tuk tegarkan diri, bertahan di kamarku dengan berselimut rasa takut. Ku coba tahan airmataku. Ku coba tuk tegar selayaknya ibuku, tapi aku tetap tak bisa. Raga ini tak mampu menolak teriakkan batin yang begitu memekakan telinga. Tangisku pecah… Ku keluar dari kamar, ku coba tuk berlari sekuat tenagaku menuju ke rumah nenekku yang masih satu lahan dengan rumahku.
Tak bisa ku bendung segala tangisku, badanku bergetar hebat menggigil ketakutan. Tak lama Papa datang menjemputku, membujukku untuk pulang ke rumah.
“Rachel, ayo pulang dek” Rayu Papaku menarik tanganku dengan halus. Bujukkan itu hanya ku balas dengan gelengan kepala. Setelah beberapa menit membujukku Papa akhirnya menyerah. Tak lama berselang Mamaku datang. Mencoba membujukku dengan isak tangis. Melihatnya menangis, tangisku pun kembali pecah.
“Bu, saya udah gak kuat begini terus, Papanya Rachel udah kayak orang kesetanan begitu” Keluh ibukku dengan isak tangis. Nenekku hanya diam membisu. Papa pergi.
Keesokkan harinya Papa pulang, membawa beberapa lembar kertas. Beliau kelihatan begitu sibuk dengan pekerjaannya. Ku perhatikan terus setiap gerakan-gerakan tubuhnya, sepertinya Papa menyadari bahwa sedari tadi aku terus memperhatikannya. Ia mendekatiku, membelai kepalaku dengan lembut.
“Rachel kalau tinggal sendiri sama Papa gak papa ya?” Tanyanya yang membuatku bingung.
“Kok sendiri? Terus Mama sama Adik?” Tanyaku tak mengerti.
“Kalau misalnya Papa sama Mama cerai, Rachel ikut sama Papa aja ya di sini, biar mama pergi sama Adik” Katanya tertahan. aku hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Papaku tadi. aku sempat tersentak mendengar kata “CERAI”, Papa Mamaku cerai? Ya Tuhan, kenapa harus berakhir seperti ini…
Sorenya Papa pergi, awalnya aku bersikap biasa saja dengan kepergian papaku, karena memang sudah seperti biasanya belia pergi setelah bertengar dengan ibukku. Namun, satu hari, dua hari, tiga hari ku tunggu tak juga Papa pulang. Hingga akhirnya aku sadar Papa pergi dariku, pergi meninggalkanku dan mungkin takkan kembali lagi. Apa mungkin Papa dan Mama sudah cerai? Ku tepis segala prasangka burukku itu. Gak, gak mungkin Papa sama Mama cerai… Gak mungkin…
Mentari terus berputar mengiringi peredarannya, siang berganti senja, senja berganti kelam, kelam pun menyibak berganti dengan terang. Begitu seterusnya, hari-hari ku lewati tanpa kehadiran sosok Papa di sampingku. Andaikan Mama tau, aku sangat rindu dengan Papa, aku rindu dengan Ayahku. Namun percuma juga aku mengatakannya, percuma aku berteriak, karena Mama takkan pernah tau rengekkan hati kecilku ini.
Dimana… akan kucari
Aku menangis, seorang diri
Hatiku, selalu ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah.. hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah, aku ingin bertemu
Denganmu, aku bernyanyi
Airmataku menetes, setiap kali aku menedengar dan menyayikan lagu itu. Lagu yang mengingatkanku tentang sosok ayah yang amat ku cintai dan begitu ku rindukan. Yeah, hanya lewat lagu itu aku bisa mengingat dan mengenang papa. Karena mungkin Mama telah menghapus segala memory tentang Papaku, sepeninggal beliau beberapa bulan yang lalu. Salah satunya dengan meninggalkan rumahku yang sekarang ku tempati dan pindah rumah.
Setelah aku pindah rumah, banyak hal yang berubah dengan kehidupanku. Kehidupan yang seakan dimulai dari nol. Kehidupan yang bagaikan terlahir kembali tanpa kehadiran sosok AYAH di hidupku, kehadiran sosok ayah yang tak pernah ku kenal.
“TAMAT”
Cerpen Karangan: Anggi Putri Pravintya
Facebook: Anggie Putryy
Nama panggilan : Anggi
Sekolah : SMP 2 Bambanglipuro
Kelas : 9E
Facebook : Anggie Putryy
Alamat : Gedogan, Kaligondang, Sumbermulyo Bambanglipuro, Bantul

0 komentar: