Selasa, 20 Agustus 2013

PAST SPEAKS part 1

Anak lelaki itu memasukkan mainan terakhirnya kedalam kardus. Ayahnya tersenyum, dan mengangkat kardus mainan itu untuk dimasukkan kedalam mobil. Anak itu hanya memperhatikan ayahnya sambil ikut tersenyum. Tak lama setelah ayahnya turun, ia memandang keluar jendela, menikmati angin yang berhembus di kota kecil itu, untuk yang terakhir kalinya.
Ibunya memanggil namanya dari lantai bawah. Samar, tapi terdengar. Anak lelaki itu mengambil tas yang berada didekatnya, lalu berlari ke asal suara itu. Ayah dan kakaknya sudah ada didalam mobil. Ibunya berada dibelakang anak lelaki itu, mengunci pintu. Anak lelaki itu memandang ke depan. Ke arah rumah diseberang yang kosong dan melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya. Entah ke arah siapa.

Jimmy terbangun dari tidurnya. Beberapa bulan terakhir, Jimmy sering bermimpi hal yang sama. Seorang anak laki-laki yang—tampaknya—ingin pindah rumah. Entah siapa anak kecil itu, ia tidak pernah memikirkan hal yang baginya tidak penting.
“Sarapan ada di meja makan. Ibu pergi dulu ya, sayang.” Baru saja keluar kamar, Ibunya sudah mencium Jimmy. Meninggalkan bekas lipstick dikulit coklat miliknya. Ia hanya tersenyum dan masuk kekamar mandi. Mencoba mengabaikan dunia. Sama seperti yang biasanya dia lakukan.
Jimmy hanya memakai kaos oblong berwarna biru dengan celana juga jaket jeans. Dan pastinya, sepatu converse putih kesayangannya. Ia membawa ransel berisi laptop, buku dan kertas-kertas untuk keperluan kuliahnya.
Tidak seperti teman-temannya yang lain, Jimmy lebih suka naik kendaraan umum dibandingkan mengendarai motor. Menurutnya, itu membatu mengurangi polusi yang sudah banyak merugikan manusia. Dan itu merupakan salah satu cara untuk bertemu seorang gadis SMA cantik yang tinggal satu blok dengan rumahnya.
Gadis itu bisa dibilang pendek. Sama tingginya dengan bahu Jimmy. Rambutnya yang panjang dan ikal selalu diikat. Kulitnya putih bersih. Bola matanya berwarna hitam. Bahkan ketika disinari mentari.
Angkutan umum jarang melewati depan sekolah gadis itu dan universitas Jimmy yang berdekatan. Membuat mereka terkadang harus berjalan cukup jauh.
Pernah suatu hari ketika mereka turun dari angkutan umum, hujan mendadak berjatuhan. Baru saja Jimmy berniat menawarkan payungnya, sudah didahului teman dari gadis itu. “Selalu.” Keluh Jimmy. Sepertinya dunia tak memudahkan mereka dekat atau bahkan hanya berkenalan.

“Ibu, besok aku bisa bertemu Erina lagi kan?” Suara anak lelaki itu bergetar. Terlihat sekali ia ragu saat menanyakan itu.
“Dia jatuh cinta, Bu!” Jawab anak lelaki yang lain.
“Engga!”
“Kemungkinan kita gak akan kembali ke kota ini lag, sayang. Kali ini, ayah bekerja tetap di kota tempat tinggal kita nanti. Gak pindah-pindah lagi.” Ibunya menjawab dengan setenang mungkin. Seiring dengan semakin jauhnya mobil yang mereka naiki, anak lelaki itu semakin menunduk menyesali segalanya.

“Jim!” Max mengguncang tubuh Jimmy. Pelajaran sudah berakhir dan Jimmy tertidur sepanjang pelajaran. “Akhir-akhir ini lo sering tidur deh. Ada apa sih?”
“Gak apa-apa. Kok lo ga bangunin dari tadi sih?”
“Kasian gue sama lo. Capek banget keliatannya. Yaudah, pulang yuk.”
Jimmy membereskan buku-bukunya. Menjejalkan semuanya ke dalam tas coklatnya yang sudah minta diganti. Ia mengencangkan tali sepatu, lalu mengikuti Max keluar.
“Jim, ada cewek incaran lo tuh.” Max menyenggol Jimmy sambil mengedipkan matanya. “Gue ada janji sama pacar gue, gak pulang bareng dulu ya. Kali ini, deketin yang bener!”
“Santai.” Jimmy melambaikan tangan tanpa melihat kearah Max. Matanya tertuju pada Gadis itu. Ia sekarang sendirian, berjalan di bawah langit yang tertutupi awan hitam. Jimmy menyukai gadis itu bukan hanya karena dia cantik. Tapi juga karena senyumnya yang seperti matahari. Cerah. Bahkan ketika tertutup awan hitam.
Jimmy mempercepat langkahnya, lalu menyeberangi jalan. Ia berada beberapa meter didepan gadis itu sekarang. Jalanan tidak terlalu ramai, tidak juga sepi. Hanya ada beberapa anak sekolah yang menuruti kata ibunya untuk langsung pulang kerumah dan tidak pergi kemana-mana setelah sekolah berakhir. Termasuk gadis itu.
Jimmy menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan tubuhnya yang tinggi dan sedikit kurus. Jimmy hanya bisa terpaku. Melihat gadis itu juga menghentikan langkahnya, dan balik menatap dirinya.
Jimmy bertanya-tanya, apa dia menyadari kalau ia selalu memperhatikan gadis itu? Entah, Jimmy tak akan tahu jawabannya kalau saat ini ia lari. Ia mendekati gadis itu. Sebelum Jimmy mencoba tersenyum, gadis itu sudah memberikan senyumannya yang selama ini membuat Jimmy menyukainya. Dengan senang hati, ia membalas senyuman itu. Senyum yang selalu mengundang senyum Jimmy. Senyum yang tak pernah diberikan untuknya, kini didapatinya.
“Nama kamu siapa?” Jimmy menyodorkan tangannya.
“Aliana. Kamu?” Aliana menyambut tangan Jimmy. Tangannya hangat. Sepertinya dulu aku pernah menggenggam tangan ini. Dulu. Waktu yang sangat lama.
Jimmy menggelengkan kepala. Terlalu sering ia larut dalam pikirannya sendiri. “Jimmy.” Ia melepaskan genggaman Aliana. Aliana mengerutkan keningnya. Seperti sedang memikirkan nama di masa lalu.
Rintik hujan mulai turun membasahi jalanan. Dengan cepat, Jimmy mengeluarkan payung, dan memayungi dirinya, juga Aliana. “Pulang bareng? Kita satu blok.”
Gadis itu—Aliana—hanya mengangguk.
Pada akhirnya Jimmy bisa berkenalan dengannya. Berkenalan juga cukup. Jimmy bersyukur, walaupun hanya tahu namanya.

Ibunya memanggil namanya dari lantai bawah. Samar, tapi terdengar. “Jimmy!” Anak lelaki itu mengambil tas yang berada didekatnya, lalu berlari ke asal suara itu. Ayah dan kakaknya sudah ada didalam mobil. Ibunya berada dibelakang anak lelaki itu, mengunci pintu. Anak lelaki itu memandang ke depan. Ke arah rumah diseberang yang kosong dan melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya. Entah ke arah siapa.

Jimmy melihat jam tangan yang sedaritadi masih dipakainya. Pukul delapan malam. Ia menyambar jaket didekatnya, lalu berjalan keluar kamar.
Ibunya tidur di atas sofa. Baru pulang dan kelelahan. Akhir-akhir ini ibunya sering bolak-balik rumah sakit untuk menjaga Rick, kakak Jimmy. Jimmy mengambil selimut dikamarnya, lalu menyelimuti ibunya.
Ia memakai sepatu, dan berjalan keluar. Menghirup udara malam selalu membuatnya rileks setelah mengerjakan tugas yang menumpuk. Dan aku bisa rileks setelah mendapat mimpi aneh itu.
Rumahnya hanya beberapa langkah dari taman. Ia duduk di ayunan, memandangi langit yang cerah. Berbeda dengan sore tadi.
“Jimmy!” Terlihat sesosok perempuan berlari sambil melambaikan tangan kearah Jimmy. Ia memakai dress selutut dengan rambut dicepol. Cantik. Bahkan lebih cantik dari biasanya. “Kamu ngapain sendirian disini?”
“Aku sering duduk disini. Biar pikiran segar, gak penat. Kamu abis darimana?”
“Pesta ulang tahun temen. Dia tujuh belas tahun hari ini.” Aliana duduk di ayunan yang lainnya, sambil sesekali melihat kearah langit. “Langitnya bagus ya. Membawa beberapa kenangan.”
Tatapan Jimmy sendu. Ia tahu, kemungkinan besar Aliana sudah mempunyai pacar. Atau kalau tidak, kemungkinan dia masih mencintai mantannya. Jimmy mencoba tidak berharap banyak. Tapi ia sendiri tahu, ia mengharapkan banyak hal. Harapan hanya sekedar harapan, tak akan lebih. Ia tahu. Dari dulu, dia memang tahu.
“Sebaiknya kita pulang. Tidak baik terlalu sering menghirup udara malam.” Aliana mengulurkan tangannya. Jimmy menyambut tangan itu. Hangat. Bahkan di udara yang sedingin ini, tangan itu tetap hangat.

“Aku Erina. Kamu siapa? Baru pindah kesini ya?” Anak perempuan berkulit putih itu tersenyum.
“Aku Jimmy. Iya, ayahku bekerja disini, jadi kami ikut pindah.”
“Malam ini ibuku pergi. Mau temani aku bermain di taman? Kita bisa melihat bintang, sambil sedikit mengobrol.”


Anak laki-laki itu hanya mengangguk. Mereka bergandengan tangan sepanjang perjalanan ke taman, sambil bersenandung dan memandangi langit.

0 komentar: