Selasa, 20 Agustus 2013

Cerpen - Cinta dan Takdir

“Jay, lihat gadis itu!” Jill menunjuk ke arah seorang gadis berambut pendek cantik yang baru saja ditinggal mobilnya. “Aku ingin punya sahabat seperti itu. Dan mungkin ia bisa aku manfaatkan. Kau tau maksudku, kan?”
“Dengar, Jill, aku tak akan membiarkanmu memanfaatkan orang seperti itu. Lagipula Mom bilang—”
“Terserahlah,” Jill memotong perkataan Jay dan menariknya ke arah si gadis, “aku hanya ingin berteman. Aku janji. Hey, gadis cantik!” Gadis itu memutar tubuhnya tepat saat Jill menepuk bahunya. Ia memperlihatkan wajahnya yang secantik Dewi Yunani.
“Aku Jilldon. Siapa nama kamu?” Jill menyodorkan tangannya dan senyum selebar yang ia bisa.
“Aku Sam,” gadis itu — Sam — menyambut tangan Jill. Ia lalu melirik ke arah Jay, “kamu saudaranya, ya? Kalian mirip.” Jay merasakan wajahnya memerah. Ia tak pernah melihat gadis secantik Sam. Sam mengulurkan tangan ke arah Jay. “Siapa nama kamu?”
“Well, aku saudara kembar Jill. Aku Jaydon.” Jay menyambut tangan Sam. Halus sekali. Rasanya tak ada gadis selain Jill yang tangannya sehalus dia. Ia menggelengkan kepala dan melepaskan tangan Sam. Sayang sekali. “Anak baru?”
“Iya, pindahan dari Sydney.” Sam mengembangkan senyumnya, lalu melihat sekeliling. Ia kebingungan dengan seluruh mata yang kini tertuju padanya. “Apa ada sesuatu di wajahku? Kenapa orang-orang melihatku seperti itu?”
Jill terkekeh. “Tidak ada apapun, mereka hanya kebingungan kenapa ada seorang bidadari yang terjatuh ke sekolah mereka,” ia lalu menggandeng Sam dan Jay, setengah menyeret mereka, “mari kuantar kau ke kelas.”
Sam tidak menyadari. Ini adalah awal sebuah keabadian yang ditawarkan oleh Jill. Dan dia menerima dengan tangan terbuka lebar. Keabadian yang menyakitkan. Keabadian yang menuntut untuk menyakiti dan membunuh.

Sesampainya Jill dan Jay di rumah, mereka langsung membanting tubuh mereka ke sofa. Jay menikmati teh yang sudah disediakan Mrs. Oliver, asisten rumah tangga di rumah keluarga Tomlin. Yang Mrs. Oliver tau, Jill tidak suka beberapa macam makanan. Ia hanya tahu itu. Ia tidak tahu bahwa Jill memang tidak suka ‘semua’ makanan manusia.
“Jill, sebaiknya kamu menjauhi Sam.”
Jill melotot. Ia sangat mengerti maksud Jay. Tapi biasanya Jay tidak pernah peduli. Jay hanya melakukan apa yang almarhum Mom suruh — memberi aku makan dan menjagaku. Selama ini ia sudah melakukan hal-hal itu dengan sangat baik. “Apa maksudmu?”
“Tak ada maksud dibalik itu,” Jay menyesap teh-nya, “aku hanya meminta kali ini, jangan sakiti gadis itu.”
Jill mengernyitkan dahi. “Kamu jatuh cinta dengan Sam?”
“Ya.” Jay menjawab terang-terangan. Jay tidak pernah berbohong pada Jill, begitu juga sebaliknya. Mereka bahkan tidak pernah basa-basi pada satu sama lain. Mereka selalu punya sesuatu untuk dibicarakan. “Sadarkah kini kau hampir menjadi seperti Emily dan Treya?”
Jill kembali membuka memori otaknya. Mendengar nama Emily dan Treya membuatnya ingin muntah. Jill benci mereka. Mereka yang mengubah Jill menjadi seperti sekarang ini — seperti monster. Walaupun Jay berkata bahwa Jill semakin cantik, mereka tetap harus bertanggung jawab atas perubahan ini. Tidak, bukan mereka, tepatnya hanya Treya. Tapi kini Jill bisa bernapas lega karena Treya dan Emily sudah pergi entah kemana.
“Jangan sebut dia, Jay. Kau tau aku benci mereka.” Jill mengerang. Iris matanya yang berwarna hitam perlahan berubah warna menjadi merah. “Kemarikan jarimu, Jay.” Dengan sigap, Jay pindah tempat duduk ke sebelah Jill, dan menyodorkan jarinya. Jill langsung menggenggam jarinya dengan kencang, menggigitnya, lalu menghisap darahnya.
Hanya beberapa tetes darah manusia, dapat membuatku kenyang. Dapat menggantikan darah sepuluh kelinci. Pikir Jill, lalu melepaskan tangan Jay. Jay kini terlihat sedikit pucat. Jill tersenyum miris, lalu mengelus tangan Jay.
“Aku menyayangimu, Jay. Aku tak bisa terus-terusan melihatmu berwajah pucat setiap hari,” ia menghela napas, Jay membalas senyumannya, “aku mau saja berburu. Tapi kau tau sendiri, tak ada cukup darah kelinci di kota ini. Pada akhirnya, aku akan mengurung diri di kamar. Mengerang dan mengutuk diri sendiri. Aku akan ada di luar kendali, lalu—”
“Diamlah, Jill. Aku senang, aku bisa bermanfaat untukmu. Aku menyayangimu. DIsamping itu, aku juga menjalankan perintah Mom.” Jay memeluk Jill. Mencoba menghapus semua rasa bersalahnya. Tapi walau bagaimanapun, Jill tetap merasa bersalah. Itu yang membuatnya ingin memanfaatkan Sam. Menjadikannya sahabat yang bisa menjaga rahasia, dan menguras darahnya setiap hari.
“Maaf, tapi aku akan tetap melakukan rencanaku terhadap Sam.” Jill melepaskan pelukan Jay. Tampak jelas kalau Jay kecewa. Tapi Jay tidak pernah menuntut lebih dari Jill walaupun Jay amat sangat kecewa.
“Baiklah,” Jay menghela napas. Mencari kata-kata yang pas untuk dikatakan agar Jill tidak tersinggung, lalu merengkuh wajah Jill dengan kedua tangannya, “tapi usahakan agar tidak merubahnya. Oke?”
“Ya.” Jill pergi ke kamar, meninggalkan Jay sendirian berdoa agar Jill tidak merubah siapapun.
Jay tidak mengerti bahwa selama ini Jill kesepian. Setiap malam, Jill terbaring dengan mata terbuka, berharap ada seseorang di luar sana yang seperti dirinya. Selain Treya, tentunya. Ia mengimpikan hidup normal. Bertambah tua dan menjalin cinta. Yang pasti, tidak abadi.
Jill berubah ketika ia dan Jay berumur enam belas dan sekarang Jay berumur delapan belas. Sementara Jill akan terus berada dalam tubuh – enam – belas – tahun miliknya. Mom bilang, mereka tidak boleh berkata kalau mereka kembar ketika Jay berumur dua puluh tahun. Perbedaannya akan terlihat jelas, orang-orang juga akan curiga.
Mom juga menasehati Jill untuk tidak jatuh cinta, ataupun mempunyai sahabat, agar ‘kedok’ nya tidak ketahuan. Mom tidak pernah mengajari untuk mengubah seseorang yang Jill cintai agar Jill bisa hidup abadi bersamanya. Mom bilang itu sesuatu yang jahat.
Kini, setelah satu tahun kepergian Mom, dan untuk kesekian kalinya, Jill merasa kesepian. Ia butuh nasihat Mom tentang apa yang harus dilakukannya dengan Sam. Ia mulai meringkuk. Menyetel beberapa lagu Bruno Mars keras-keras agar Jay tidak mendengar tangisannya. Ia lalu menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, dan membenamkan kukunya di punggungnya. Ia tidak peduli dengan sakit pada punggungnya. Sesuatu yang ada di dalam tubuhnya lebih menyakitkan. Hatinya, sakit.
Ia tak tahan menghabiskan sisa malamnya yang panjang di kamar seperti biasanya, jadi ia memilih keluar, mencari beberapa kelinci yang bisa dikuras habis.

Berbulan-bulan mereka habiskan waktu di sekolah. Jill dan Jay kini menginjak kelas dua belas. Begitu juga Sam. Mereka bertiga kini sangat lengket. Hampir setiap malam mereka habiskan bersama—menginap di rumah si kembar. Jay selalu menyediakan kamar tamu untuk Sam, dan menegaskan Jill untuk tidak mengajaknya tidur bersama. Jay takut Jill akan melakukan sesuatu yang diluar kendali.
Setelah Jill memastikan bahwa Sam sudah cukup dipercaya, Jill mengatakan kalau ia bukan seorang gadis biasa. Ia monster. Sam berkata, “apapun kamu, aku akan tetap menjadi sahabatmu. Karena kita sudah begitu dari sebelum aku tau kamu itu ‘apa’, dan akan tetap begitu selamanya.” Setelah itu, Sam tersenyum dengan sangat tulus. Dan Sam menawarkan darah-nya untuk menjadi makanan Jill setiap hari. Jill mengiyakan dengan senang hati.
Tapi kini Jill sadar. Ia kini mengingkari perkataan Mom. Tak seharusnya ia menerima persahabatan Sam. Jill pun sekarang menyadari, bahwa ia memang ingin bersahabat dengan Sam. Tanpa imbalan apapun, tanpa darah, tanpa fisik sempurna atau apapun itu. Jill mencintai Sam sebagai sahabat. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, Jill tidak pernah meminta setetespun darah Sam.
Tapi, kita memang tidak bisa mengakali takdir. Apa yang ditakutkan Jay, kini terjadi. Apa yang selama ini menjadi mimpi buruk mereka, terpampang nyata di depan mereka. Hal itu dimulai ketika Jill meminta Sam untuk tidur bersamanya. Ia bilang, mereka bisa melakukan midnight gossip, movie marathon, dan sebagainya. Sam tertarik, dan ikut memohon pada Jay.
Jay bisa saja tidak mengabulkan permohonan salah satu permintaan dari kedua gadis itu. Tapi, keduanya adalah gadis yang dicintai Jay dan permintaan mereka hanya satu. Apa susahnya untuk mengabulkan permintaan sederhana itu? Lagipula Jill tidak pernah meminum darah Sam. Mereka benar-benar bersahabat. Pikir Jay. Maka, Jay mengabulkan permintaan mereka.
“Akhirnya ya, setelah sekian lama,” ujar Sam. Ia lalu menyetel lagu-lagu dari Bruno Mars yang ada di meja Jill, “suka Bruno Mars juga?”
Jill hanya mengangguk senang. Ia lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Sam bernyanyi-nyanyi kecil sambil mengganti bajunya dengan piyama. “Apa yang ditakutkan Jay kalau aku tidur denganmu? Ia takut kamu mengubahku?” Sam melempar baju ke tasnya. “Aku tidak takut. Sepertinya menjadi vampire itu seru. Kau tau, hidup abadi.”
Jill merasakan matanya memanas. Air mata menggebu-gebu ingin keluar. Sam tidak tahu apa yang ia katakan. Ia bodoh. Sam bodoh. “Kau tidak bisa berkata begitu. Menjadi makhluk sepertiku mengerikan. Tak ada serunya hidup abadi jika kau tau orang-orang yang kau sayangi akan meninggalkanmu,” Jill memberi jeda pada perkataannya. Ia mulai merasakan pembuluh darahnya terbakar. Perutnya terasa kosong. Ususnya seperti diperas habis-habisan. Iris matanya berubah menjadi merah terang. Ia mengerang, dan menerjang Sam.
Jay sedang mencoba tidur ketika ia mendengar jeritan Sam. Mrs. Oliver sudah pulang, dan rumahnya jauh dari tetangga. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Paling tidak, tak ada orang awam yang tahu. Tapi tetap saja, Jay tidak menginginkan ini.
Jay berlari secepat mungkin ke kamar Jill. Ia mendobrak, dan melihat Sam mencoba mendorong Jill. Jay membantunya dengan cara menarik dan langsung mengarahkan pergelangannya ke mulut Jill. Bodohnya aku. Aku lupa memberi makan Jill.
Jay melihat dari balik Jill, Sam sedang mengejang dan jelas, kulitnya yang berwarna kecoklatan kini berubah putih pucat. Bibirnya memerah, begitu juga matanya. Jill pun sadar dan berteriak histeris. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk Sam dan mengucapkan “maaf” berkali-kali. Tapi percuma, Sam sudah berubah. Sekarang pun, ia tak akan pernah mendengar permohonan maaf Jill. Ia lapar.
Jay menarik Jill yang terus-terusan memeluk Sam, lalu memberikan pergelangannya yang lain ke mulut Sam.
6 TAHUN KEMUDIAN.
Jill mengarahkan mobilnya ke jalan menuju kota tempat tinggalnya yang baru. Kini, ia harus hidup berpindah-pindah. Ia tak ingin dicurigai warga kota karena keadaannya yang tidak pernah bertambah tua. Ia hanya tinggal di sebuah kota selama tiga tahun, lalu pergi.
Sebelum keputusannya untuk berpindah-pindah, ia mampir ke makam Mom, Jay dan Sam. Ya, Jay dan Sam sudah meninggalkan Jill. Sekitar tiga bulan setelah perubahan Sam, ia dan Jay resmi berpacaran. Cinta mereka berlebihan. Hal yang menurut Jill amat sangat tidak baik. Atau mungkin ini hanya perasaan iri Jill karena takut tergantikan? Entahlah, Jill sendiri tidak tahu.
Tepat ketika mereka mengadakan anniversary yang pertama, Jay kecelakaan ketika sedang di jalan menuju rumah Sam. Jay koma selama berminggu-minggu. Sam ingin untuk mengubah Jay menjadi seperti dirinya, agar ia tidak kehilangan Jay. Tapi tentu saja, Jill melarang. “Kita tidak bisa mengubah takdir, Sam.”
“Bisa! Aku akan mengubahnya sekarang juga!” Sam berteriak.
“Kita memang bisa. Tapi tolong pikirkan apa yang akan terjadi. Kau pikir Jay akan senang dirubah seperti itu? Selama bertahun-tahun aku hidup dengannya, aku tidak pernah berpikir untuk merubahnya. Kau tau kenapa? Aku menyayanginya. Aku tak ingin dia merasakan lapar yang menyiksa. Tak bisakah kau mengerti itu?” Jill menghela napas, lalu melanjutkan, “Terkadang, apa yang menurutmu baik belum tentu baik di mata orang lain. Dan terutama, belum tentu yang terbaik di mata orang tersebut.”
Setelah itu, Sam menahan diri untuk tidak merubah Jay. Tapi ternyata, Jay memang tidak bisa tertolong. Jay meninggalkanku. Meninggalkan kami.
Sam tidak bisa menerima semua kenyataan berat ini. Kini ia mengerti bahwa hidup abadi itu menyesakkan. Jill berkata padanya, “kau masih punya aku.” Tapi ia hanya tersenyum, dan pergi seharian.
Sampai akhirnya, Jill mendengar kabar kalau Sam meninggal di hutan. Ia mematahkan kepalanya sendiri. Jasadnya ditemukan di hutan Trezlewood.
Jill membawa tiga bunga mawar. Ia mengunjungi makam Mom. Jill menaruh setangkai bunga. Matanya mulai berair, dan ia tidak mencoba untuk menahannya. “Pada akhirnya aku sendiri, Mom. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk memiliki siapapun. Pertama Mom, ibuku yang paling berharga. Lalu saudara yang kucintai, Jay. Lalu Sam,” Jill mengusap airmatanya. Tapi airmata itu tetap saja keluar, “siapa lagi Mom? Siapa lagi yang akan diambil oleh waktu dan takdir? Mengapa takdirku menjadi monster?”
Jill berdiri. Mengusap matanya. Airmatanya tidak mengalir lagi kini. Ia meninggalkan makam Mom, dan pergi menuju makam Jay dan Sam. Makam mereka bersebelahan. Jill tahu mereka menginginkan ini.
Ia menaruh setangkai mawar di masing-masing makam. Ia tersenyum. “Semoga kalian tenang disana. Aku mencintai kalian. Sangat. Sampai jumpa, dan maafkan aku.”
Jill kembali ke mobil. Riasannya sudah luntur oleh airmata. Tapi kini ia sadar, airmata tak akan menyelesaikan masalah. Melegakan, tapi tidak selamanya. Cara menyelesaikan masalah adalah dengan melaluinya. Jill akan melalui ini. Ia tak akan menyerah seperti Sam. Ia tak akan lagi mengubah orang lain seperti apa yang dilakukan Treya dan dirinya dulu. Jika ia tak punya makanan, ia akan mengurung dirinya di kamar sampai mati. Ia tak akan menyakiti manusia lainnya. Jill akan menjalani segalanya sendiri. Karena dari awal takdirnya adalah untuk menjadi sendirian di dunia yang luas ini.

0 komentar: