Selasa, 20 Agustus 2013

Cerpen - The Truth

“Serius lo, Gi?” Yogas menatap Egi geram. Seakan tak percaya dengan apa yang baru dikatakan sahabatnya barusan.
Egi pun berusaha menatap Yogas dan perlahan mengganggukan kepalanya.
“Gi, lo bebal atau apa sih? Lo gak paham apa yang gue omong kemaren?” sahut Yogas sambil menarik kaus Egi hingga membuat Egi terpaksa bangun dari duduknya. “Gue nyuruh lo buat jagain dia. Bukan macarin!” jelas Yogas berteriak. Egi pun semakin merasa bersalah.
Yogas melepas tangannya dari kaus Egi. Egi tersaruk di sofa dan langsung menyeka darah yang mengalir dari mulutnya akibat pukulan Yogas tadi.
Yogas melirik ke arah Egi. “Sori.” Ia menghela nafasnya. “Tapi, apa sih maksud lo ngelakuin ini. Lo ga tau, Lilas itu malaikat keajaiban gue. Dan apa lo nggak mikir gimana perasaan Karin?”
“Sori Gas.” Sesal Egi yang sudah kembali duduk normal. “Gue emang bukan sahabat yang baik buat lo. Tapi, kalau lo minta buat ngelepas Lilas sekarang, gue akan lepas, Gas!”
“Gi! Cowo bukan sih lo? Lo bener-bener nggak mikir ya. Dengan seenaknya lo bilang mau nge-lepas Lilas. Lo tuh sadar gak, udah nyakitin 2 cewe?” sahut Yogas semakin geram karena ucapan Egi yang tak masuk akal baginya. Yogas menjambaki rambutnya. Menyesal. Mungkin satu kata yang tepat baginya.
“Gue nggak peduli dengan Karin. Dia bukan siapa-siapa gue, Gas.” Ucap Egi dengan menerawang pandangannya.
Yogas membenarkan dalam hati. Karin memang bukan pacar ataupun kekasih Egi. Tapi Yogas tau, Karin begitu memuja sosok Egi. Sebagai sahabatnya, Yogas mendukung penuh perasaan Karin. Yogas berusaha mendekatkan Karin dengan Egi. Tapi apa daya, Egi sama sekali tak merespon kehadiran Karin.
“Iya gue tau, tapi..”
“Gas, gue tau, lo sahabat Karin. Tapi please, jangan maksa gue buat nerima Karin. Soal Lilas, gue bener-bener minta maaf. Gue sama sekali nggak ada niat buat ngerebut malaikat keajaiban lo, Gas.” potong Egi yang membuat Yogas tersentak “Sekali lagi, sori Gas.”
Yogas bangkit dari tempat duduknya, berjalan beberapa langkah. Pikirannya masih menerawang. Sebenarnya siapa yang perlu ia kasihani. Karin ataukah Lilas?
Yogas pun terduduk di lantai bersemen yang cukup dingin. Hatinya terus bergejolak, mencari sebuah jawaban yang sekiranya dapat membuatnya sedikit lebih tenang.
Cerpen The Truth

Hari ini Yogas memutuskan untuk bolos kuliah. Ya, lagi-lagi hal itu yang dilakukannya. Ia sudah tidak peduli lagi, apabila ada dosen atau siapapun yang menegurnya. Bahkan jika nanti ia akan di drop out, hatinya sudah siap menerima.
Kesendirian Yogas terjadi sewaktu teman-teman sekampusnya yang enggan lagi bermain atau sekedar bertegur sapa dengannya. Yogas yang terkenal sangat dingin dan pernah terlibat tawuran itu telah ter-cap buruk di mata semua orang.
Disana hanya ada Egi, satu-satunya orang yang mengerti keadaan Yogas, dan sahabat SMA-nya Karin.
Yogas begitu merasa hutang budi terhadap Karin, berkat Karin ayahnya selamat dari hantaman truk besar yang sebentar lagi mengenai tubuh ayahnya. Karena itu juga, Yogas mati-matian mendekatkan Karin dengan Egi, semenjak ia tau kalau Karin menyukai Egi. Tapi masih sama, sikap Egi nggak pernah menganggap Karin sebagai teman special di hidupnya.
Yogas benar-benar merasa hidup dalam kegelapan. Kesunyian. Yang entah kapan, keajaiban ‘kan bergerak datang menemuinya.
Ya! Saat itulah cinta datang. Memberinya setitik cahaya dalam kegelapan. Membuatnya merasakan harapan yang muncul di tengah keputusasaan. Ya, itulah Lilas.
Seorang cewe lugu yang masih berpakaian ala tahun 80-an. Walau begitu ia termasuk salah satu orang dengan IPK tertinggi di kampusnya.
Dari awal, Lilas tak pernah menjauhi Yogas seperti yang dilakukan teman-temannya. Ia menerima Yogas sebagai teman baiknya. Yogas tersenyum dalam hati saat pertama kali cewe lugu itu mengajarkan rumus fisika padanya, ‘Keajaiban telah datang menjemput gue’ teriaknya dalam hati. Seakan ia ingin LIlas pun mendengar teriakan hatinya saat itu juga.
Tapi, keadaannya telah berbeda. Ya! Sewaktu Yogas menitipkan Lilas pada Egi untuk dijaganya. Karena ada urusan penting yang harus dilalui Yogas kala itu. egi dengan niat pertamanya ingin menjaga LIlas, lama kelamaan niat itu berubah menjadi cinta.
Lilas merespon dengan baik. Tanpa berfikir apa yang akan dilakukan Yogas padanya setelah ini, Egi nekat menyatakan cintanya pada Lilas. Dan detik itu juga, Egi dan Lilas resmi berjalan sebagai sepasang kekasih.
Yogas menerima itu dengan amarahnya. Ia nggak mungkin nyuruh Egi buat ngelepas LIlas. Karena itu pasti akan membuat Lilas menyesal karena telah mencintai Egi. Ataupun ia akan sedih berkepanjangan. Dan Yogas nggak mau liat Lilas seperti itu.
Yang ada difikirannya sekarang adalah bagaimana cara menemukan malaikat keajaibannya selain Lilas. Ia nggak mungkin mengharapkan Lilas lagi. Biarlah LIlas berbahagia dengan sahabatnya, Egi. Mungkin itu adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuknya.

Hidup Yogas kembali dalam kegelapan dan kesunyian. Bukannya dia tidak menerima cahaya yang ‘kan jadi penerangnya. Tapi memang belum ada cahaya yang ingin masuk dalam gelapnya. Ia terus menjambaki rambutnya. Otaknya pun terus berfikir keras.
Hari ini, tak satupun gumpalan awan mendung yang menghiasi langit. Yogas menghirup udara pagi ini dalam-dalam dan memberanikan matanya menatap sang mentari. Hati kecilnya bertanya ‘Tak adakah mentari yang berwujud manusia?’ Lalu ia menghela nafasnya berat dan tersenyum getir. Mungkin ini ‘kan jadi pagi terakhir yang akan dilewatinya.
Yogas menatap nanar belati yang digenggamnya sejak tadi. Sudah tak ada lagi gunanya ia hidup, karena tak ada lagi yang mau peduli dengannya. Tak ada lagi malaikat keajaiban yang datang menemuinya. Dan tak ada lagi seorang pun yang dapat mengerti kehampaannya. YOgas telah membulatkan tekadnya, ia akan mengakhiri hidupnya. Sekarang. Ya, mungkin ini adalah waktu yang tepat.
“Yogas. Jangaaan!!” sebuah suara wanita beriak menggema di telinganya. Suara itu sudah tak asing lagi.
Yogas pun menoleh ke belakang. Untungnya belati itu belum mendarat tepat di pergelangan tangan kirinya.
Wanita itu menghampiri Yogas. Ia terisak. “Yogas, jangan Gas! Kamu mau apa dengan belati itu?”
Yogas melempar pandangannya ke arah gumpalan awan putih yang berarakan. “Gak ada lagi yang peduli sama gue, Rin. Gak ada lagi gunanya gue hidup!.” Ucap Yogas yang menitikan air matanya juga.
Karin menatap punggung Yogas yang sekilas tampak sempurna. Tapi, mengapa hidupnya harus begini? Sebegitu kejamkah takdir terhadap sahabatnya ini? Karin semakin keras dalam isakannya.
“Gas, aku ada disini. Aku masih peduli sama kamu.” Karin menatap Yogas dan menghapus air mata Yogas dengan jemarinya. “Kalau kamu mau, aku akan jadi malaikat keajaiban kamu, Gas!”
Yogas tampak membatu. Ia bahkan merasakan begitu hangatnya sentuhan jemari Karin. Ia menatap Karin mencoba mencari kebenaran dari matanya.
Detik berikutnya Yogas sadar dari pembekuannya. “Nggak, Rin. Gue udah banyak berhutang budi sama lo. Gue nggak mau ngerepotin lo, lebih banyak lagi.” Yogas melepas pandangannya. “Sori, gue gak berhasil ngedeketin lo sama Egi.”
Karin tersenyum getir dalam isakannya. “Kamu apa-apaan sih, Gas. Aku nggak pernah nyuruh kamu buat ngedeketin aku sama Egi.”
Yogas melirik Karin lagi “Tapi lo suka kan?” tanyanya.
Karin hanya merunduk dan membenarkannya dalam hati. Ia memang menyukai Egi, tapi ia tidak pernah meminta apa lagi memaksa Yogas untuk mendekatkannya dengan Egi. Cukup hanya untuk sebuah perasaan saja. Bila perlu, dipendam. Supaya tidak ada lagi perasaan kecewa dari mata sahabatnya itu.
Karin menghela napas beratnya. “Gas, aku nggak peduli lagi tentang perasaan itu. yang aku peduli sekarang, ya kamu. Aku ingin jadi sahabat sekaligus bagian hidup kamu Gas.” Ucapnya berusaha meyakinkan.
Yogas menatap nanar wanita di hadapannya kini. Hatinya telah berjanji, tak akan pernah memintanya lagi. Menerima bantuan, apalagi sampai mengorbankan perasaannya. “Nggak Rin. Gue itu tetap hutang budi sama lo. Gue nggak bisa ngorbanin perasaan lo!”
“Hutang budi?” Karin kembali tersenyum getir. “Gas, di dalam persahabatan itu gak kenal yang namanya hutang budi. Sahabat itu emang udah ditakdirkan untuk saling tolong menolong. Mengerti dan saling memahami.”
Yogas kembali menatap Karin yang kini telah bermandikan air mata. Ingin sekali ia rengkuh gadis itu. tenggelam dalam takdir yang mungkin terlalu jahat padanya. Tapi, ia tidak boleh egois. Itu akan lebih menyakiti hatinya. Yogas pun bangkit, menyeka air matanya dan berkesiap meninggalkan gadis itu.
“Gas..” sahut Karin membuat Yogas terhenti dari langkahnya. “Aku mungkin bukan Lilas. Tapi aku tetep mau jadi malaikat keajaiban kamu. Aku janji, akan selalu menemani kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, walau semua orang menjauhi kamu, Gas!”
Yogas menoleh ke arah Karin dan sekali lagi menatap matanya dalam-dalam. Apa benar, ada ketulusan dari matanya. Tanpa sadar, Yogas kembali terisak. Ia melepaskan belati yang masih ia genggam sejak tadi. Ia merengkuh Karin, melepas dan menyerah.
Mungkin ini adalah bagian dari takdir Tuhan untuk melewati kesunyian itu bersama Karin. Ya. Malaikat keajaibannya yang sebenarnya.
“Lo janji nggak akan ninggalin gue?” tanya Yogas yang terdengar lembut di telinga Karin.
Karin pun hanya membatu dan menganggukan kepalanya di tengah dekapan Yogas.
“Maaf.”
“Maaf untuk apa, Gas?” tanya Karin yang sedikit bingung.
“Maaf, kalau gue udah nolak keajaiban ini dari awal.” Jawab Yogas dan kembali tenggelam dalam pelukan eratnya.
Kini pelangi terlihat bersinar memenuhi sisi bagian langit. Angin berhembus alami. Dan senja pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hari istimewa ini.
Moment yang selalu ditunggu Yogas dalam hari kelamnya. Kini telah menjadi nyata. Di sampingnya, Karin telah bersiap menghapus awan gelap di hari-hari Yogas. Menggantinya dengan semangat dan senyum yang tak pernah pudar sampai waktu telah mentakdirkan dirinya untuk terhenti.

0 komentar: