“Serius lo, Gi?” Yogas menatap Egi geram. Seakan tak percaya dengan apa yang baru dikatakan sahabatnya barusan.
Egi pun berusaha menatap Yogas dan perlahan mengganggukan kepalanya.
“Gi, lo bebal atau apa sih? Lo gak paham apa yang gue omong kemaren?”
sahut Yogas sambil menarik kaus Egi hingga membuat Egi terpaksa bangun
dari duduknya. “Gue nyuruh lo buat jagain dia. Bukan macarin!” jelas
Yogas berteriak. Egi pun semakin merasa bersalah.
Yogas melepas tangannya dari kaus Egi. Egi tersaruk di sofa dan langsung
menyeka darah yang mengalir dari mulutnya akibat pukulan Yogas tadi.
Yogas melirik ke arah Egi. “Sori.” Ia menghela nafasnya. “Tapi, apa sih
maksud lo ngelakuin ini. Lo ga tau, Lilas itu malaikat keajaiban gue.
Dan apa lo nggak mikir gimana perasaan Karin?”
“Sori Gas.” Sesal Egi yang sudah kembali duduk normal. “Gue emang bukan
sahabat yang baik buat lo. Tapi, kalau lo minta buat ngelepas Lilas
sekarang, gue akan lepas, Gas!”
“Gi! Cowo bukan sih lo? Lo bener-bener nggak mikir ya. Dengan seenaknya
lo bilang mau nge-lepas Lilas. Lo tuh sadar gak, udah nyakitin 2 cewe?”
sahut Yogas semakin geram karena ucapan Egi yang tak masuk akal baginya.
Yogas menjambaki rambutnya. Menyesal. Mungkin satu kata yang tepat
baginya.
“Gue nggak peduli dengan Karin. Dia bukan siapa-siapa gue, Gas.” Ucap Egi dengan menerawang pandangannya.
Yogas membenarkan dalam hati. Karin memang bukan pacar ataupun kekasih
Egi. Tapi Yogas tau, Karin begitu memuja sosok Egi. Sebagai sahabatnya,
Yogas mendukung penuh perasaan Karin. Yogas berusaha mendekatkan Karin
dengan Egi. Tapi apa daya, Egi sama sekali tak merespon kehadiran Karin.
“Iya gue tau, tapi..”
“Gas, gue tau, lo sahabat Karin. Tapi please, jangan maksa gue buat
nerima Karin. Soal Lilas, gue bener-bener minta maaf. Gue sama sekali
nggak ada niat buat ngerebut malaikat keajaiban lo, Gas.” potong Egi
yang membuat Yogas tersentak “Sekali lagi, sori Gas.”
Yogas bangkit dari tempat duduknya, berjalan beberapa langkah.
Pikirannya masih menerawang. Sebenarnya siapa yang perlu ia kasihani.
Karin ataukah Lilas?
Yogas pun terduduk di lantai bersemen yang cukup dingin. Hatinya terus
bergejolak, mencari sebuah jawaban yang sekiranya dapat membuatnya
sedikit lebih tenang.
—
Hari ini Yogas memutuskan untuk bolos kuliah. Ya, lagi-lagi hal itu
yang dilakukannya. Ia sudah tidak peduli lagi, apabila ada dosen atau
siapapun yang menegurnya. Bahkan jika nanti ia akan di drop out, hatinya
sudah siap menerima.
Kesendirian Yogas terjadi sewaktu teman-teman sekampusnya yang enggan
lagi bermain atau sekedar bertegur sapa dengannya. Yogas yang terkenal
sangat dingin dan pernah terlibat tawuran itu telah ter-cap buruk di
mata semua orang.
Disana hanya ada Egi, satu-satunya orang yang mengerti keadaan Yogas, dan sahabat SMA-nya Karin.
Yogas begitu merasa hutang budi terhadap Karin, berkat Karin ayahnya
selamat dari hantaman truk besar yang sebentar lagi mengenai tubuh
ayahnya. Karena itu juga, Yogas mati-matian mendekatkan Karin dengan
Egi, semenjak ia tau kalau Karin menyukai Egi. Tapi masih sama, sikap
Egi nggak pernah menganggap Karin sebagai teman special di hidupnya.
Yogas benar-benar merasa hidup dalam kegelapan. Kesunyian. Yang entah kapan, keajaiban ‘kan bergerak datang menemuinya.
Ya! Saat itulah cinta datang. Memberinya setitik cahaya dalam kegelapan.
Membuatnya merasakan harapan yang muncul di tengah keputusasaan. Ya,
itulah Lilas.
Seorang cewe lugu yang masih berpakaian ala tahun 80-an. Walau begitu ia
termasuk salah satu orang dengan IPK tertinggi di kampusnya.
Dari awal, Lilas tak pernah menjauhi Yogas seperti yang dilakukan
teman-temannya. Ia menerima Yogas sebagai teman baiknya. Yogas tersenyum
dalam hati saat pertama kali cewe lugu itu mengajarkan rumus fisika
padanya, ‘Keajaiban telah datang menjemput gue’ teriaknya dalam hati.
Seakan ia ingin LIlas pun mendengar teriakan hatinya saat itu juga.
Tapi, keadaannya telah berbeda. Ya! Sewaktu Yogas menitipkan Lilas pada
Egi untuk dijaganya. Karena ada urusan penting yang harus dilalui Yogas
kala itu. egi dengan niat pertamanya ingin menjaga LIlas, lama kelamaan
niat itu berubah menjadi cinta.
Lilas merespon dengan baik. Tanpa berfikir apa yang akan dilakukan
Yogas padanya setelah ini, Egi nekat menyatakan cintanya pada Lilas. Dan
detik itu juga, Egi dan Lilas resmi berjalan sebagai sepasang kekasih.
Yogas menerima itu dengan amarahnya. Ia nggak mungkin nyuruh Egi buat
ngelepas LIlas. Karena itu pasti akan membuat Lilas menyesal karena
telah mencintai Egi. Ataupun ia akan sedih berkepanjangan. Dan Yogas
nggak mau liat Lilas seperti itu.
Yang ada difikirannya sekarang adalah bagaimana cara menemukan malaikat
keajaibannya selain Lilas. Ia nggak mungkin mengharapkan Lilas lagi.
Biarlah LIlas berbahagia dengan sahabatnya, Egi. Mungkin itu adalah
jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuknya.
—
Hidup Yogas kembali dalam kegelapan dan kesunyian. Bukannya dia tidak
menerima cahaya yang ‘kan jadi penerangnya. Tapi memang belum ada
cahaya yang ingin masuk dalam gelapnya. Ia terus menjambaki rambutnya.
Otaknya pun terus berfikir keras.
Hari ini, tak satupun gumpalan awan mendung yang menghiasi langit. Yogas
menghirup udara pagi ini dalam-dalam dan memberanikan matanya menatap
sang mentari. Hati kecilnya bertanya ‘Tak adakah mentari yang berwujud
manusia?’ Lalu ia menghela nafasnya berat dan tersenyum getir. Mungkin
ini ‘kan jadi pagi terakhir yang akan dilewatinya.
Yogas menatap nanar belati yang digenggamnya sejak tadi. Sudah tak
ada lagi gunanya ia hidup, karena tak ada lagi yang mau peduli
dengannya. Tak ada lagi malaikat keajaiban yang datang menemuinya. Dan
tak ada lagi seorang pun yang dapat mengerti kehampaannya. YOgas telah
membulatkan tekadnya, ia akan mengakhiri hidupnya. Sekarang. Ya, mungkin
ini adalah waktu yang tepat.
“Yogas. Jangaaan!!” sebuah suara wanita beriak menggema di telinganya. Suara itu sudah tak asing lagi.
Yogas pun menoleh ke belakang. Untungnya belati itu belum mendarat tepat di pergelangan tangan kirinya.
Wanita itu menghampiri Yogas. Ia terisak. “Yogas, jangan Gas! Kamu mau apa dengan belati itu?”
Yogas melempar pandangannya ke arah gumpalan awan putih yang berarakan.
“Gak ada lagi yang peduli sama gue, Rin. Gak ada lagi gunanya gue
hidup!.” Ucap Yogas yang menitikan air matanya juga.
Karin menatap punggung Yogas yang sekilas tampak sempurna. Tapi, mengapa
hidupnya harus begini? Sebegitu kejamkah takdir terhadap sahabatnya
ini? Karin semakin keras dalam isakannya.
“Gas, aku ada disini. Aku masih peduli sama kamu.” Karin menatap Yogas
dan menghapus air mata Yogas dengan jemarinya. “Kalau kamu mau, aku akan
jadi malaikat keajaiban kamu, Gas!”
Yogas tampak membatu. Ia bahkan merasakan begitu hangatnya sentuhan
jemari Karin. Ia menatap Karin mencoba mencari kebenaran dari matanya.
Detik berikutnya Yogas sadar dari pembekuannya. “Nggak, Rin. Gue udah
banyak berhutang budi sama lo. Gue nggak mau ngerepotin lo, lebih banyak
lagi.” Yogas melepas pandangannya. “Sori, gue gak berhasil ngedeketin
lo sama Egi.”
Karin tersenyum getir dalam isakannya. “Kamu apa-apaan sih, Gas. Aku nggak pernah nyuruh kamu buat ngedeketin aku sama Egi.”
Yogas melirik Karin lagi “Tapi lo suka kan?” tanyanya.
Karin hanya merunduk dan membenarkannya dalam hati. Ia memang menyukai
Egi, tapi ia tidak pernah meminta apa lagi memaksa Yogas untuk
mendekatkannya dengan Egi. Cukup hanya untuk sebuah perasaan saja. Bila
perlu, dipendam. Supaya tidak ada lagi perasaan kecewa dari mata
sahabatnya itu.
Karin menghela napas beratnya. “Gas, aku nggak peduli lagi tentang
perasaan itu. yang aku peduli sekarang, ya kamu. Aku ingin jadi sahabat
sekaligus bagian hidup kamu Gas.” Ucapnya berusaha meyakinkan.
Yogas menatap nanar wanita di hadapannya kini. Hatinya telah berjanji,
tak akan pernah memintanya lagi. Menerima bantuan, apalagi sampai
mengorbankan perasaannya. “Nggak Rin. Gue itu tetap hutang budi sama lo.
Gue nggak bisa ngorbanin perasaan lo!”
“Hutang budi?” Karin kembali tersenyum getir. “Gas, di dalam
persahabatan itu gak kenal yang namanya hutang budi. Sahabat itu emang
udah ditakdirkan untuk saling tolong menolong. Mengerti dan saling
memahami.”
Yogas kembali menatap Karin yang kini telah bermandikan air mata. Ingin
sekali ia rengkuh gadis itu. tenggelam dalam takdir yang mungkin terlalu
jahat padanya. Tapi, ia tidak boleh egois. Itu akan lebih menyakiti
hatinya. Yogas pun bangkit, menyeka air matanya dan berkesiap
meninggalkan gadis itu.
“Gas..” sahut Karin membuat Yogas terhenti dari langkahnya. “Aku mungkin
bukan Lilas. Tapi aku tetep mau jadi malaikat keajaiban kamu. Aku
janji, akan selalu menemani kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu,
walau semua orang menjauhi kamu, Gas!”
Yogas menoleh ke arah Karin dan sekali lagi menatap matanya dalam-dalam.
Apa benar, ada ketulusan dari matanya. Tanpa sadar, Yogas kembali
terisak. Ia melepaskan belati yang masih ia genggam sejak tadi. Ia
merengkuh Karin, melepas dan menyerah.
Mungkin ini adalah bagian dari takdir Tuhan untuk melewati kesunyian itu
bersama Karin. Ya. Malaikat keajaibannya yang sebenarnya.
“Lo janji nggak akan ninggalin gue?” tanya Yogas yang terdengar lembut di telinga Karin.
Karin pun hanya membatu dan menganggukan kepalanya di tengah dekapan Yogas.
“Maaf.”
“Maaf untuk apa, Gas?” tanya Karin yang sedikit bingung.
“Maaf, kalau gue udah nolak keajaiban ini dari awal.” Jawab Yogas dan kembali tenggelam dalam pelukan eratnya.
Kini pelangi terlihat bersinar memenuhi sisi bagian langit. Angin
berhembus alami. Dan senja pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
hari istimewa ini.
Moment yang selalu ditunggu Yogas dalam hari kelamnya. Kini telah
menjadi nyata. Di sampingnya, Karin telah bersiap menghapus awan gelap
di hari-hari Yogas. Menggantinya dengan semangat dan senyum yang tak
pernah pudar sampai waktu telah mentakdirkan dirinya untuk terhenti.
0 komentar:
Posting Komentar