Selasa, 20 Agustus 2013

Cerpen - Kidung Luka di Kolong Senja

Aku tak bermaksud menciptakan duniaku sendiri di tengah megah dunia kalian. Tapi aku tak berdaya. Setiap goresan luka dan sayatan perih yang kalian hadiahkan padaku di semua waktu, memaksaku tuk membangun benteng kokoh yang menghadang setiap kilau gemerlap dunia kalian yang coba menerobos masuk ke peraduanku. Fatamorgana. Ya… memang hanya sebatas fatamorgana. Aku hidup dalam khayal bergelut dengan imajiku.
Tapi, di sinilah aku berlari, mencoba mengobati luka dan perih yang kalian hadiahkan padaku sebagai simbol cinta-kasih kalian yang agung. Sahabat. Apa pula omong kosong itu, bagiku tak lebih berharga dari kain rombeng yang telah koyak di setiap sisinya.
Semenit yang lalu kalian belai aku dengan penuh cinta kasih, tapi menit, jam, hari dan setiap hitungan waktu selanjutnya kalian cerca aku tanpa kenal ampun. Bagiku semuanya palsu. Begitu juga kasih kalian, hanyalah sebatas sebuah kedok untuk sebuah gundukan kemunafikan yang berbau anyir.
Oleh: Felisya Aurora
Merinding. Itulah kata yang mampu terfikirkan olehku untuk mewakili perasaanku setelah membaca tulisan Feli yang dimuat di Kompas pagi ini. Aku tak tahu persis apa motivasi Feli saat merangkai kata demi kata yang tertera di kertas itu. Tapi aku menangkap ada ribuan kemarahan dan kebencian yang tersembunyi di balik kertas bisu itu. Potongan cerpen Felin yang aku baca beberapa menit yang lalu benar-benar menyisakan rasa ngeri dan takut di sudut hatiku. Sepuluh tahun sudah kami bersahabat tak sekalipun aku temukan kata-kata sekasar itu terselip di tulisan-tulisan Feli. Adakah Feli sebegitu membenci kami? Benarkah persahabatan kami telah benar-benar berakhir? Ma’afkan aku Feli. Ma’afkan kami semua.
Felisya Aurora, gadis periang dan berbakat itu adalah sahabatku. Aku, Feli, Raisya, Shamita, Regina, Syeila dan Nindia bersahabat sejak kami masih duduk di bangku SMP. Kami bukan sekedar teman biasa tapi sudah seperti saudara bahkan mungkin lebih. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, kami telah mengenal pribadi masing-masing. Banyak hal yang telah kami lalui bersama. Meski satu, dua kali kami dihadapkan pada suatu konflik atau pertengkaran-pertengkaran kecil kami selalu saja mampu melewatinya. Kami bertujuh tak pernah terpisahkan karena kami adalah satu. Dan kami berharap semuanya akan terus berlangsung dengan indah.
Agaknya benar apa yang dikata orang bijak “tak selamanya angin tak selalu bertiup sesuai yang dimau oleh awak kapal”. Angan yang kami rajut telah menembus nirwana tapi ternyata cerita yang digariskan Tuhan untuk kami tak sejalan. Tiga bulan yang lalu Raisya dan Feli mengalami kecelakaan mobil. Feli selamat dia hanya menderita luka ringan di pergelangan tangan kanan dan pelipisnya, tapi tidak dengan Raisya. Raisya meninggal dunia saat dilarikan ke rumah sakit.
Kecelakaan maut itu terjadi saat mereka menghadiri acara reuni SMA yang diadakan di rumah Nindia. Saat itu Feli yang menyetir, menurut beberapa saksi mata mobil Feli melaju dengan kecepatan tinggi dan akhirnya menabrak sebuah tiang listrik karena menghindari tabrakan dengan sebuah truk. Aku tahu dan kami semua pun tahu kebiasaan Feli yang suka kebut-kebutan seringkali mencelakai dirinya sendiri bahkan beberapa di antara kami pun pernah.
Regina, Shamita dan Syeila menyalahkan Feli atas meninggalnya Raisya. Di hari pemakaman Raisya mereka bertengkar hebat. Makian, cercaan dan semua kata-kata kasar yang belum pernah aku dengar sebelumnya keluar dari mulut mereka aku terkejut bukan kepalang. Berbarengan dengan adu mulut itu ada hal lain yng benar-benar tersentak, sebuah tamparan dari Nindia mendarat di pipi kanan Feli.
Sejak kejadian itu, semuanya berubah. Tak ada lagi senyum riang yang menghiasi kebersamaan kami. Yang ada hanya kebekuan. Kami tak pernah lagi menjumpai Feli yang dulu, dia telah berubah drastis. Tak sekalipun dia menyapa bila berpapasan dengan kami bahkan dia tak pernah mau menoleh barang sedetikpun saat aku memanggilnya. Dia seolah membangun dunia baru yang tak bisa kami masuki. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sepertinya Feli benar-benar membenci kami.

0 komentar: