Selasa, 20 Agustus 2013

Burnt.

Aku disini bersamanya. Amanda. Kami sedang makan malam disebuah café kecil setelah lelah berkeliling Jakarta. Seperti biasa, Amanda makan banyak. Beberapa perempuan mengeluh tentang naiknya berat badan mereka, dan ketakutan mereka terhadap makanan berlemak. Amanda berbeda. Badannya tetap kurus, tidak peduli ia makan seberapa banyak. Tapi bukan itu yang kusuka darinya. Aku tak peduli jika suatu hari nanti, berat badan Amanda berubah menjadi 100 kg. Aku tetap cinta. Aku bisa menjamin itu. Karena bukan fisik yang membuatku cinta padanya. Ia baik. Bahkan mungkin bidadari bisa iri dengan kejernihan hatinya.
                Sebenarnya, hari ini adalah hari dimana kita pertama kali berkenalan, 2 tahun yang lalu. Dan sejujurnya, aku ingin merayakan lebih dari ini dengannya. Walaupun aku tahu, dia sama sekali tidak ingat hari pertama kita berkenalan.
Kami berkenalan beberapa bulan setelah Amanda berpacaran dengan Vicky. Vicky sahabatku. Sahabat terbaikku. Yang sekarang sudah menjadi mantan Amanda. Entah apa yang kulakukan selama beberapa bulan ini. Mengkhianati Vicky? Mungkin. Tapi aku baru mendekati Amanda setelah dijodohkan orangtuaku dan orangtuanya. Beberapa bulan setelah Amanda dan Vicky putus. Jujur, aku bahagia. Aku amat sangat bahagia.
Amanda meminta merahasiakan ini dari Vicky. Aku suka melihat Amanda senang. Aku suka melihat Amanda tersenyum. Walaupun Ketika mendengar permintaan Amanda, rasanya mengecewakan, tapi paling tidak Amanda akan tersenyum jika aku mengabulkannya. Dan benar saja, ia tersenyum setulus yang ia bisa. Walaupun aku tahu, senyum tulus Amanda tidak diperuntukkan untukku. Tapi untuknya—Vicky.
Aku meremas tas kecilku. Disana, ada kotak cincin yang siap kuberikan kepada Amanda. Aku akan melamarnya malam ini. Ya, seharusnya aku melamarnya malam ini. Sebelum akhirnya aku kembali memikirkan semuanya. Aku memikirkan Vicky. Bagaimana bisa aku mengkhianati sahabatku? Aku bahkan tak pernah bilang cinta Amanda didepannya. Seharusnya aku sadar, mereka tidak pernah tidak cinta. Bahkan sampai sekarang.
Piring Amanda hanya tersisa beberapa sendok nasi goreng. Ia menyuap sambil sesekali melihat ke arahku. Aku tak mengerti dengan skenario Tuhan. Untuk apa kita mengenal, bahkan mencintai orang yang kita tahu kalau orang itu tidak akan pernah bisa balik mencintai kita? Untuk pelajaran hidup? Mungkin.
“Tadi kamu bilang mau ngomong. Mau ngomong apa sih?
Lamunanku buyar. Aku sudah membulatkan tekadku. Apapun yang terjadi, aku harus berusaha. “Aku mau bilang ke kamu. Sebaiknya, hubungan kita sampai sini aja. Aku yang akan kasih tau ke orangtua kita masing-masing. Mereka pasti ngerti. Kamu mau ini juga kan? Aku tau kamu masih cinta sama Vicky. Dia juga sama kok.”
Amanda menaruh sendoknya, yang sudah dipenuhi oleh nasi goreng suapan terakhir. Perlahan senyumnya mulai mengembang, “Vicky bilang apa?”
“Dia cinta kamu.”
“Kamu serius?” Amanda tersenyum manis. Kali ini, senyumnya benar-benar tulus. Sama seperti senyum yang selalu dilihatku, ketika kami sedang bersama Vicky. “Jujur, aku masih cinta Vicky. Memang sebaiknya kita berhenti berdrama didepannya. Lagipula, kita tidak pernah saling cinta kan?”
Kalimat terakhir dari Amanda memang menyakitkan. Akhirnya terungkap, bahwa Amanda memang tidak pernah mencintaiku. Tidak akan pernah. “Ya,” aku membuka tas ketika Amanda memakan suapan terakhirnya, lalu mengambil kunci mobilku. Merasakan padatnya kotak cincin yang tadinya ingin kuberikan padanya. “pulang yuk. Udah malem, nanti mama kamu khawatir.”

Amanda hanya mengangguk, lalu kami berjalan beriringan. Aku seharusnya berusaha untuk tidak mengkhianati sahabatku. Aku memang seharusnya berusaha sedari dulu. Berusaha untuk memadamkan cintaku padanya.

0 komentar: