Selasa, 20 Agustus 2013

Cerpen: Terima Kasih Sahabatku

MP3 playerku masih setia menemaniku hingga senja tiba. Lagu-lagu favoritku dan dia terus terputar di playlist yang telah ku buat. Membuat ku semakin tenggelam dalam kenangan saat masih bersamanya. Sahabatku yang dulu selalu ada di sampingku. Aku masih terhanyut dalam kenangan di masa lalu sejak pagi tadi. Kini senja mulai menampakan wujudnya, namun aku masih tak ingin keluar dari kamarku.
Bayangkan ku melayang seluruh nafasku terbang. Bayangkan ku menghilang semua tanpamu teman. Bila nafasku lepas, semua langkah yang lelah, semua waktu yang hilang tapi bayangmu tetap....”
Tak mampu lagi aku menahan air mata ini saat terdengar lagu Sahabat terputar di MP3 player yang ku taruh tepat disampingku. Air mataku mulai jatuh membasahi pipiku. Aku hanya bisa menggigit kecil bibir bawahku untuk menahan kesedihanku. Ku buka satu persatu gambar-gambar yang penuh kenangan di album fotoku. Gambar-gambar yang mengingatkan ku akan sosok dia yang pernah menjadi orang paling penting dalam hidupku. Namanya adalah Rosid. Sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Dahulu kami selalu bersama, dimanapun ada dia maka disitulah aku berada.

***
Namanya adalah Rosid. Dia adalah seorang anak pecinta alam. Bahkan karenanya lah kini aku juga menjadi anak pecinta alam juga. Saat itu Rosid dan teman-teman lainnya yang tergabung dalam ekskul pecinta alam di sekolahku ingin mengadakan pendakian ke gunung Semeru yang terletak di Malang. Acara ini memang di khususkan dalam rangka perpisahan untuk angkatan ku yang memang sebentar lagi akan lulus dan keluar dari sekolah tentunya. Rosid sudah terbilang sebagai pendaki yang aktif walaupun umurnya masih 18 tahun saat itu. Dia sudah pernah mendaki ke gunung Gede Pangrango sebanyak dua kali, ke gunung Salak dan Semeru satu kali. Walaupun aku berteman dengannya tak lantas membuatku juga aktif sepertinya. Aku hanya pernah mengikutinya mendaki ke gunung Gede Pangrango, itu pun hanya sekali. Maka dari itu dia sangat bersikeras untuk mengajakku mendaki lagi. Karena dia pernah mengatakan padaku “Sahabatku harus menjadi manusia yang kuat, terbiasa menghadapi tantangan dan menaklukan tantangan itu.”

Hari keberangkatan pun tiba. Kami berkumpul di sekolah tepat pukul 11 pagi. Hari itu tak semendung biasanya. Awan hitam mulai menyelimuti langit sejak pukul setengah 11 tadi. Membuat langit terlihat gelap seolah sedang bersedih akan kepergian seseorang. Namun, aku hanya menganggapnya sebagai tanda akan turun hujan. Sekitar jam 1 siang barulah kami berangkat dengan bis yang telah di sewa sebelumnya. Hujan yang ku kira akan turun tadinya ternyata tak turun juga. Tapi saat bis mulai berjalan keluar dan menuju ke jalan besar barulah rintikan hujan mulai terlihat. Sepanjang perjalanan kami terus bernyanyi dan tertawa bersama. “Jek, lagunya Mr. Big Jek yang judulnya Bang Toyib!” Teriak Rosid saat itu meminta sebuah lagu ke Jaka yang sedang memainkan gitar. “Hahahaha” Kami pun tertawa bersama karena permintaan Rosid yang aneh itu.
_
“Bangun woi bangun!! Ayok udah sampe nih kita!” teriak salah satu temanku membangunkan kami satu persatu saat bis sudah sampai ke tujuan. Kami segera terbangun dan mulai turun dari bis. Saat itu kami diturunkan di pasar Tumpang dan sudah siap dua mobil jeep yang akan membawa kami menuju resort Ratu Pani. Sesampainya di resort Ratu Pani kami beristirahat sejenak menghilangkan rasa lelah yang telah menempel di tubuh sejak tadi.

Sudah lama aku tak melihat suasana seperti ini. Suasana para pendaki yang sudah siap dengan peralatan lengkapnya masing-masing. Berkumpul dan saling berinteraksi antara satu sama lainnya. Saling berbagi pengalaman dan memberikan masukan. Waktunya pendakian pun tiba, kami saling berkumpul membentuk lingkaran. Kami berdoa bersama kepada sang ilahi meminta perlindungannya agar semua dapat berjalan lancar. Selesai berdoa kami diminta oleh Rosid untuk bergabung dengan rombongan pendaki lain yang berasal dari mahasiswa pecinta alam dari Universitas lain di Jakarta.
“Loh, kita gabung sama mereka sid?” Tanyaku yang terheran-heran ke Rosid.
“Iyalah, mana sanggup gue ngejagain lo semua kalo sendirian? Kan kalo ada mereka banyak yang ngejagain orang amatir kayak lo pastinya. Haha..” Jawab Rosid sambil menggodaku.
“Emmm...Tau deh yang udah sering naik. Naik berat badan!” Balasku sembari menepuk bahunya.
“Hahaha...” Rosid hanya membalas dengan tertawa.

Sepanjang perjalanan aku dan Rosid selalu bersama. Rosid selalu berada di belakangku seperti ingin selalu menjagaku. Sempat aku merasa risih karena aku ingin sesekali berada di belakangnya. Namun, ah sudahlah mungkin memang belum saatnya aku menjaga dia. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah kami di Ranu Kumbolo. Pemandangan yang indah dengan rumput-rumput ilalang serta sekumpulan air jernih yang membentuk danau terlihat berada di tengah-tengahnya. Sungguh pemandangan terindah pertama kali yang pernah ku lihat saat mendaki gunung.
            
“Kita istirahat sebentar ya di sini!” Teriak salah satu mahasiswa pecinta alam yang mendampingi kami. Lalu kami mulai beristirahat sembari menikmati pemandangan. Sungguh hanya rasa syukur dan kagum pada sang ilahi saat itu yang ada di otakku karena aku benar-benar disuguhkan oleh pemandangan yang indah. Belum lama aku merasa cukup beristirahat, rombongan kami sudah diminta untuk melanjutkan perjalanan lagi. Aku yang masih merasa lelah saat itu lalu meminta Rosid untuk tinggal beberapa saat lagi. Rosid menerima permintaanku dan mempersilahkan rombongan untuk jalan lebih dulu. Setelah sudah cukup aku beristirahat barulah aku dan Rosid mulai melanjutkan perjalanan lagi. “Lo tau jalan kan Sid?” Tanyaku yang ingin menggodanya. “Iya tau, tau..” Jawab Rosid sambil terus berjalan di belakangku. Memang aku sudah percaya saat itu dengan Rosid karena dia memang sudah pernah ke Semeru sebelumnya. Tak lama kami berjalan sampailah kami di padang rumput yang cukup luas dengan bukit dan hutan yang mengelilingi di sisinya. Padang rumput itu bernama Oro-oro ombo. Aku terus berjalan sambil terus menikmati pemandangan, hingga aku sedikit memelankan langkahku. “Ini jalannya kemana Sid?” tanyaku yang bingung. “Udah jalan lurus aja.” Jawab Rosid yang sempat terdiam beberapa detik saat aku bertanya. Beberapa langkah aku sudah berjalan aku memutuskan untuk berhenti karena aku tidak bisa membaca arahsaat itu. Aku meminta Rosid untuk berada di depanku dan dia pun langsung berada di depanku. Baru pertamakalinya saat itu Rosid benar-benar berada di depanku dalam perjalanan pendakian.

Saat itu aku memang benar-benar percaya padanya karena dia memang sudah pernah ke Semeru sebelumnya. Tapi sepanjang aku di belakangnya Rosid tampak seperti orang yang mencari arah. Sering dia melihat ke kanan dan ke kiri, bahkan tak jarang dia memutarkan badannya memperhatikan sekitar sambil terus melangkah. Sempat aku ingin bertanya padanya tapi rasa tak enak dalam diriku membuatku membatalkan niatku. Kami terus melangkah hingga memasuki wilayah hutan pinus. Kami terus melanjutkan langkah kami satu jam lamanya dan aku masih melangkah di belakang Rosid. “Boy kita nyasar kayaknya nih..” ucap Rosid padaku. Awalya aku hanya menganggap itu sebagai candaannya saja tapi ternyata dia tidak bercanda. “Yaudah kita balik aja ke tempat tadi Sid!” ucapku mencoba memberikan pendapat pada Rosid. “Nggak bisa, kita udah terlalu jauh masuk ke hutan, lagi pula tadi aku lupa tak memberi tanda sepanjang perjalanan kita masuk ke hutan tadi.” Jelas Rosid yang mulai bingung. Saat itu hari mulai gelap, kami terus berjalan hingga bisa menemukan tempat yang pas untuk kami bersitirahat sejenak. “Kita istirahat dulu di sini. Kita nggak akan jalan di malam hari. Terlalu bahaya...” Ucap Rosid padaku. Kami pun beristirahat, kami tidur dengan sleeping bag masing-masing ditemani api unggun kecil yang tadi sempat dibuat Rosid. Saat itu aku tak seperti orang yang hilang. Aku merasa sangat terjaga saat sedang bersamanya. Tak ada rasa ragu dan takut sedikitpun yang menyelimutiku.

Sudah hampir dua hari kami berada di dalam hutan dan masih belum bisa menemukan jalan keluar. Kali ini keadaannya benar-benar berbeda. Aku dan Rosid sudah mulai lelah, persediaan makanan dan air kami sudah habis. Bahkan saat ini Rosid kakinya terluka akibat tersayat batang pohon saat mencoba melewati pohon yang sudah tumbang. “Sid gue udah nggak kuat lagi nih..” kata ku yang berjalan tertatih-tatih sambil menuntun Rosid yang jalan terpincang-pincang. “Kita pasti bisa Boy, kita nggak boleh nyerah di sini. Belum waktunya...” Ucap Rosid yang mencoba memotivasiku. Semangatku kembali tumbuh saat Rosid terus memotivasiku. “Nah ini dia jalannya, nggak lama lagi kita sampe Boy!” teriak Rosid dengan penuh semangat. Tapi saat aku mulai melangkah tiba-tiba dia seperti menjerit kesakitan “Aaarrghh..”. “Lo kenapa sid?” tanyaku sembari mendudukan dan menyandarkan Rosid di bawah pohon. “Kaki gue sakit banget Boy..” Rosid merintih kesakitan sambil memegangi kakinya yang terluka. Aku melihat luka di kakinya semakin parah, mungkin karena infeksi. Memang saat Rosid mendapatkan luka itu, tak adanya obat membuat ku terpaksa hanya bisa mengikat luka yang cukup lebar di sekitar tulang keringnya dengan kain. Pikirku agar darahnya tak terus keluar dan infeksi tak cepat menyebar. Ku lihat wajahnya mulai pucat. Bibirnya mulai berwarna putih seperti orang yang kekurangan darah. “Sid lo harus kuat sid! Lo kan yang bilang kalo kita nggak boleh nyerah sekarang!” aku mencoba meyakinkan Rosid jika dia harus berjuang. “Udah nggak bisa Boy.. udah nggak bisa..Ssshhh..” Rosid menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memegangi kakinya dan menahan rasa sakitnya. “Lo harus pergi sekarang Boy, kita udah di jalur yang bener. Nggak jauh dari sini lo akan nemuin pos Kalimati..” Rosid mencoba menunjukan arah jalannya pada ku. “Nggak! Gue nggak akan pernah ninggalin lo! Kita bakalan hidup Sid!” Teriak ku saat itu yang mulai menitikan air mata.

“Kalo emang lo mau gue hidup, sekarang juga pergi ke pos Kalimati dan cari pertolongan di sana. Dan bawa pertolongan itu ke sini Boy..” Rosid mencoba menyuruhku pergi. Aku benar-benar tak bisa menahan air mata ku saat itu. Aku tertunduk lalu ku lihat wajahnya yang mulai pucat tersenyum padaku. Aku putuskan untuk segera berlari menuju ke pos Kalimati. Aku berlari dan terus berlari agar aku bisa menyelamatkan sahabatku. Aku terus berlari seolah aku sudah lupa jika badanku sudah letih saat itu. Akhirnya aku berhasil mencapai Kalimati dan kulihat banyak tenda dan para pendaki yang berkumpul di situ. Beberapa dari mereka melihat ke arahku. Langkahku mulai terhenti, aku masih terus mencoba mengangkat kakiku untuk terus melangkah. Pandanganku mulai buram, badanku mulai terasa berat dan nafasku sudah sangat terengah-engah. Tubuhku jatuh menghantam tanah, mereka yang melihatku langsung menghampiriku dan mengangkatku. Dari situ aku sudah mulai tak ingat apa-apa lagi hingga aku tersadar sudah terbaring di tandu yang dibawa oleh banyak orang.

Mereka menaruhku di sebuah pos penjagaan, ingatku itu adalah Ratu Pani. Pos pertama tempat kami mendaftar untuk mendaki. Aku masih belum bisa benar-benar ingat apa yang terjadi padaku saat itu. Tapi tiba-tiba terdengar teriakan seseorang “Ada satu lagi di belakang! Lukanya parah!”. Sontak aku langsung bisa mengingat semuanya dan aku langsung mencoba membangunkan tubuhku yang sudah benar-benar tak berdaya ini. Aku lihat samar seorang anak seusiaku yang sedang di bawa oleh petugas dengan menggunakan tandu. Berbeda denganku, anak itu langsung di berikan pertolongan yang intensif. Saat itu ramai orang yang berkerumun, berlari ke sana ke mari. “Rosiid.. Rosiid..” Ku teriak bersusah payah, namun hanya sedikit suara yang mampu keluar dari mulutku ini. Mereka yang berkerumun mulai pergi dan aku sudah bisa melihat Rosid dari kejauhan sedang diperiksa oleh petugas medis. Air mataku mulai berlinang, tubuhku kembali sangat lemas begitu aku melihat petugas medis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Memberikan isyarat pada petugas lain jika anak itu sudah tak lagi bisa diselamatkan. Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan air mata saat itu. Aku hanya bisa menangis saat itu sambil terus melampiaskan kekesalan di dalam pikiranku. “Bahkan saat sedang sekarat pun kau masih mencoba untuk menjagaku sid. Kau menyuruhku pergi dengan alasan untuk menyelamatkanmu. Padahal kamu tahu jika kamu tak akan bisa selamat! Lalu kenapa kamu menyuruhku pergi? Kenapa kamu tak membiarkanku di sampingmu? kanapa kamu ingin aku hidup? Kenapa kita tak bisa pergi bersama lagi Sid? kenapa.. kenapa..???”
***
Kini sepuluh tahun sudah kepergian mu kawan. Aku masih sangat ingat semua pesan yang kau berikan padaku. Aku masih ingat keinginanmu yang terakhir saat kita tersesat di hutan. Malam itu kau berkata padaku “Aku ingin bekerja membantu ibuku, membiayai adikku kuliah hingga melihatnya wisuda.” Kini aku sudah mewujudkan keinginanmu. Ku yakin kau sudah melihat adikmu wisuda dari tempatmu berada sekarang. Soal ibumu, aku sudah memberikannya warung kecil-kecilan. Jadi kau tak perlu khawatir lagi dan bisa tenang di sana. Tenang sahabatku itu semua sama sekali tak merepotkanku. Berkatmu kini aku telah menemukan alasan mengapa aku masih hidup hingga saat ini dan mengapa kau menginginkan ku tuk tetap hidup. Sampai jumpa sahabat ku. Jika di kehidupan lain nanti kita bertemu lagi, aku ingin kau menjadi sahabatku lagi dan aku lah yang akan selalu berada di belakangmu, melihat punggungmu dan menjagamu selalu. Terima kasih, sahabatku.

0 komentar: