Selasa, 20 Agustus 2013

Cerpen - Ayah Jangan Benci Aku (Isi Hati Seorang Bocah Kecil)

Aku adalah seorang anak yang bisa dikatakan masih sangat kecil. Umurku baru 2 tahun lebih. Keluargaku masih lengkap. Aku mempunyai seorang kakak cowok, dia baru berusia 3 tahun. Ayah dan ibuku menghidupi keluarga dengan cara membuka usaha kue kecil kecilan. Aku juga belum tahu benar, karena usiaku yang masih sangat muda. Namun, walaupun begitu keluargaku bukanlah keluarga yang bisa dikatakan berkecukupan. Kami masih saja kekurangan, karena untuk membeli susu aku dan kakakku, orangtuaku masih tidak mampu, oleh karena itu terpaksa kami berdua harus berbagi. Ibuku sangat mengasihi kami berdua. Tapi lain halnya dengan ayahku, dia hanya menyayangi kakakku saja. Setiap kali ayahku menggendong serta menimang-nimang kakakku, aku hanya terdiam. Pernah suatu kali ayahku menggendongku, aku sangat bahagia berada dalam dekapannya. Tapi itu hanya sesaat saja. Dengan serta merta aku berlari dalam pelukan hangat ibuku. Hanya ibu yang selalu menyayangiku dengan tulus.
Pada suatu hari, hari yang menurutku merupakan awal dari kisah derita hidupku, ibuku tiba tiba jatuh sakit. Awalnya badan ibuku panas dingin, kemudian dari hari ke hari sakit ibu semakin bertambah parah, walaupun ayahku sudah berusaha mengobati ibuku. Di badan ibuku mulai bermunculan bintik bintik merah. Tetanggaku yang berdatangan menjenguk ibuku mengatakan, biasanya itu pertanda bahwa penyakitnya keluar dan kemungkinan akan sembuh. Mendengar penuturan mereka, aku melihat raut wajah ibuku agak sedikit lega. Masih ada harapan untuk sembuh. Beberapa hari kemudian, ternyata penyakit ibuku bukannya malah berangsur angsur sembuh, akan tetapi semakin parah saja. Bobot tubuhnya kini kian mengurus. Aku yang masih kecil tak dapat berbuat apa-apa untuk ibuku. Tiap kali membutuhkan sesuatu, contohnya ketika ibuku sedang haus, maka kakakku lah yang mengambilkan minuman, walaupun dia juga masih belum terlalu bisa mengambilkan air minum. Ayahku sering tidak berada di rumah. Mungkin ayahku sudah tidak sanggup lagi menghadapi semuanya. Usaha kedua orangtuaku juga sudah tidak dikembangkan lagi, karena sudah habis untuk biaya pengobatan ibuku.
Beberapa bulan kemudian,
Keadaan ibuku semakin bertambah parah saja, kini badannya sudah sangat kurus tinggal tulang dan kulit saja. Ayahku tidak mampu merawat ibuku sendirian, apalagi kami juga tidak bisa diharapkan, karena kami masih sangat kecil.
Oh iya, aku lupa memperkenalkan namaku dan juga kakakku. Namaku adalah jansen, sedangkan kakakku bernama marvel.
Lanjut lagi ya ke ceritaku. Berhubung ayahku kini sudah kurang perhatian terhadap ibuku dan lebih memilih untuk keluar malam, bahkan kadang baru pulang keesokan paginya, tetanggaku di sebelah rumah simpati terhadap keluargaku. Tetangga sebelah rumahku ini bernama ibu anne. Dia sangat perhatian terhadap aku dan kakakku, juga terhadap ibuku. Sering kali ibu anne menanyakan ibuku menderita penyakit apa, tapi ibuku tetap bungkam dan mengatakan tidak tahu penyakit apa yang sedang dideritanya, karena ayahku merahasiakan itu. Namun, ibu anne tetap selalu menawarkan bantuannya. Terkadang beliau membawakan kami makanan, karena ayahku sekarang sudah jarang memperhatikan kami. Untuk makan saja, hanya sekali sehari. Persediaan susu untukku dan kakakku sudah ludes, terpaksa hanya minum air putih saja. Beruntung, ada ibu anne yang begitu baik hati. Aku sering diajak main ke rumahnya untuk menemani anak anak ibu anne yang lebih tua 2 tahun dan 5 tahun dari usiaku. Kamipun makan bersama, bahkan ibu anne membelikan susu untuk kami. Ibu anne sangat menyayangiku, karena beliau tahu, ayahku sama sekali tidak menyayanyiku sebagaimana layaknya seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri.
Hari berganti hari, keadaan ibuku semakin memburuk. Akhirnya ayahku menjemput nenekku yang tinggal di luar kota untuk menjaga kami berdua. Aku berharap dalam hati, agar nenekku juga mau menjaga dan merawat ibuku. Nenekku ini adalah ibu dari ayahku. Ketika tiba di rumah, nenek melihat keadaan ibuku. Bukannya berbelas kasihan, yang ada ibuku malah dimaki-maki, bahkan nenekku mencibir ibuku, bahwa ibu pantas mendapat itu semua. Setiap kali ibuku ingin makan, tidak pernah nenekku memenuhi permintaannya. Bahkan ibuku sampai berteriak sebisa mungkin hingga suaranya hampir habis. Untung saja ibu anne mendengar teriakan ibuku. Ibu anne kemudian segera mengambilkan makanan serta air minum untuk ibuku yang sudah tak berdaya lagi. Dengan penuh kesabaran, ibu anne menyuapi ibuku. Tatapan mata ibuku kosong, tidak ada harapan lagi. Ibu anne selalu memberikan support untuk ibuku agar tetap kuat. Ibu anne juga sering mendoakan ibuku agar cepat sembuh.
Pernah ibuku meminta ibu anne untuk mengangkatku jadi anaknya dan tinggal bersama mereka. Ibu anne sepertinya menyetujui hal itu, begitu juga anak anaknya. Keluarga mereka sayang sama aku, seperti saudara mereka sendiri.
Nenekku juga tak seperti yang kuharapkan. Aku dan kakakku sering ditelantarkan, bahkan tidak diberi makan seharian. Kelaparan sudah menjadi makanan kami sehari hari. Semenjak adanya kehadiran nenek, kami sudah tidak diperbolehkan lagi makan makanan dari ibu anne. Padahal, kami sudah sangat kelaparan, nenek hanya masak untuk dirinya sendiri. Ayah dan nenekku sama saja, kecuali ibuku. Hanya saja beliau tidak mampu berbuat apa apa.
Tuhan, sembuhkan ibuku…
Badanku yang dulu berisi, kini sudah mulai menyusut lantaran kurangnya asupan makanan yang masuk. Tapi tidak dengan kakakku. Ayahku lebih sering membelikan dia makanan bahkan susu untuknya. Aku hanya diberi susu kaleng yang baunya sudah tidak enak lagi. Aku hanya seorang anak kecil yang belum mengerti kesehatan, jadi apapun yang diberikan aku nikmati saja. Alhasil, aku sering buang kotoran cair, karena aku sering mengkonsumsi susu yang sudah tidak layak untuk diminum lagi.
Semuanya itu berlangsung sampai berbulan bulan. Pakaianku kotor dan badanku sudah tidak sewangi anak-anak seusiaku. Orang orang takut mendekatiku karena keadaanku ini. Hanya ibu anne saja yang masih mau merawatku. Aku kadang dimandikan dan dikenakan pakaian bekas anaknya yang masih layak pakai. Aku dibedaki dan diolesi minyak kayu putih. Tetanggaku yang lain tak pernah sebaik ini kepadaku.
Terimakasih ibu anne, kebaikanmu takkan pernah aku lupakan sepanjang hidupku hingga aku besar nanti.
Suatu kali, ibuku mendapat telpon dari orangtuanya, yaitu kakek dan nenekku. Mereka baru mendapat kabar bahwa ibuku sedang sakit parah. Akhirnya, ibuku dijemput dan kemudian segera dibawa ke tempat kakek dan nenekku di jakarta.
Aku sedih, aku menangis. Siapa lagi yang akan menjagaku nanti. Hanya ibuku yang menyayangiku, keluarga kandungku.
Beberapa hari setelah keberangkatan ibu, aku semakin hari semakin menderita. Aku tak pernah merasakan kasih sayang dari ayah dan nene. Nenekku sering memukuliku dan juga kakakku. Tapi jika ayahku sedang berada di rumah, kakakku mendapat perlakuan yang baik dari ayah dan nenekku. Sedangkan aku, tetap saja seperti hari hari biasa. Aku pernah di tempelin oleh nenekku menggunakan besi panas dan juga puntung rokok oleh nenekku. Betapa sakit dan perih kulit halusku saat itu. Parahnya lagi, ketika aku melihat kakakku digendong sama ayah, aku juga ingin digendong seperti itu. Tapi apa yang aku dapatkan, dengan sekuat tenaga ayahku menendang tubuhku hingga terpental. Namun, badanku sudah kebal. Aku sudah terbiasa dengan ini semua. Aku sudah pasrah.
Tidak berapa lama, ibuku kembali lagi. Apakah ibuku sehat lagi seperti semula? Oh tidak. Ibuku sudah seperti tengkorak hidup. Badannya sudah lemah. Tidak ada yang mampu mengobati penyakit ibuku. Ayahku seakan jijik melihat keadaan ibu, kasur yang biasa ibu pakai untuk tidur, dibuang oleh ayahku. Jadi ibuku hanya beralaskan karung yang kotor. Tega sekali ayahku.
Tiap kali ibu meminta makan, ayahku minta tolong kepada ibu anne untuk memberikan makanan untuk ibuku, karena ayah tidak mau masuk ke kamar ibu. Dengan senang hati, ibu anne membantu ibuku. Ibuku meneteskan airmata, sembari mengucapkan terimakasih kepada ibu anne, karena selalu ikhlas membantu keluarganya selama ini. Ibu anne hanya tersenyum dan menyarankan ibuku untuk istirahat.
Dan saat menjelang subuh, teriakan ibuku mengagetkanku hingga membuatku terkejut dan menangis. Tapi itu hanya sebentar, aku tidak mau menangis lagi. Melihat hal itu, ayahku segera membangunkan ibu anne dengan mencoba mengedor ngedor pintu rumahnya. Ibu anne pun segera berlari menuju rumahku dan menghampiri ibuku yang ternyata teriakannya tadi adalah teriakan terakhirnya.
Badan ibuku sudah kaku di atas hamparan karung beras itu. Ibu anne pun mendoakan jasad ibuku. Kemudian, beliau mengganti pakaian ibuku. Kulihat ayahku menelpon minta tolong. Aku tidak tahu siapa yang ditelpon sang ayah. Entahlah. Aku masih terlalu kecil untuk mencari tahu. Tidak lama setelah itu, aku melihat jasad ibuku ditutup oleh kain.
Beberapa saat kemudian, aku pun tertidur lagi. Semoga ibuku datang dan memelukku. Hanya pelukan ibu yang terhangat yang pernah aku rasakan.
Dan ayahku hingga kini masih tetap tidak menyukai aku, tak tahu apa salahku.
Hanya satu doa dan pintaku
“jangan benci aku, ayahku. Aku sangat menyayangimu seperti aku menyayangi ibuku.”

- the end -

0 komentar: