Selasa, 20 Agustus 2013

Cerpen - Korban Cinta Pertama

Setiap orang menyebutku bodoh ketika mereka melihat bagaimana ku bertahan dengan kisah yang tiada jelasnya. 3 tahun bukanlah penantian yang berarti untuk usiaku yang belia ini, 17 tahun. Tarik ulur hati oleh sebuah pesan singkat di handphone yang kadang muncul kadang tidak, hanya seperti permainan belaka. Dramatikal kisahku yang terasa semakin memburuk dengan kabar yang mengatakan dia telah menyukai wanita lain baru-baru ini. Status sosial media yang selama ini menjadi sumber berita tentangnya, penuh dengan kalimat romantis olehnya. Bukan untukku, meski kuharap begitu, namun untuk wanita lain. Terasa bodoh ketika harus menangis melihat tulisan yang tiada bisa menyakiti itu. Lebih dari silet yang menyayat ternyata, meski hanya untaian kata.
Setiap hari, foto-foto mereka muncul di beranda ku. Seakan ingin berbicara, “ini dia yang kusayang bukan kamu..”. hanya tetesan air mata kepedihan yang menemaniku. Berlebihan memang, tapi aku hanya “korban cinta pertama.” Hai kamu tersangka, kembalikan hatiku! Berapa lama lagi kamu bermain dengan kerapuhannya. Hanya pekikan lirih dari perihnya keadaan yang menyelimuti. Penjarakan setiap gerak raga ini.
Di saat ku berusaha lepaskan borgol ini, aku hampir saja menyentuh pintu keluar menuju cerita baru, tapi aku ditarik lagi oleh sebuah pesan singkat yang sangat berarti untukku, “hy”. Namamu terdaftar di inbox-ku saat kau mengirimkan pesan itu kepadaku. Ada getar yang menggerakan organ dalamku, tepatnya hatiku. Dengan semangat dan tak ingin membuat kau menunggu, aku membalas, “hy juga.. apa kabar?” saat ku hendak mengirimnya, sesaat aku terhenyak oleh foto-foto di facebookmu yang sedang ku buka, kau sedang bersama wanita itu. Aku mencoba mengurung niatku, tapi aku gagal oleh hasrat yang ingin kembali membaca pesan balasanmu. Aku mengirimkan pesan itu. Aku terasa begitu bersemangat saat itu. Saat hpku bergetar, aku melihat segera mungkin. Ternyata pesan dari operator. Oke, aku tetap menunggu. Hingga tak sadar dalam penantian itu, aku tertidur. Tak terasa malam membangunkanku, aku kembali melihat handphone, namun inboxku tiada bertambah lagi. Dada begitu menyesak. Menangis pun tak ada air mata yang keluar.
Buku diary yang seolah menjadi saksi bisu setiap luka ini kembali aku adui. Ku ceritakan setiap senyum yang sempat terlukis ketika membaca pesannya dan juga perih yang tak terkatakan. Sampai kapan Tita kamu seperti ini. Aku terus berpikir tentang keadaanku sebelum mengenal dia, Rio. Orang yang membuatku tidak mengenal diriku yang dulu. Aku baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Namun, entah apa yang ada dalam cinta pertama yang terus membelenggu pikiran dan hatiku yang seolah menjadi buta permanen selama 3 tahun. Cinta pertama yang dulu selalu aku dambakan. Aku bilang hidupku menjadi berwarna, aku bilang aku terlihat istimewa, namun aku lupa, bahwa itu hanya perasaanku saja. Cinta yang kuanggap indah, berwarna, semua hanya semu. Rio itu tidak pernah menanggapi rasa ku. Dia hanya mencoba bersikap wajar meresponiku. Namun, aku selalu berpikir positif dan menganggap dia menyukaiku. Kini aku tersadar. Perasaanku terlalu ikut campur hingga mematikan logikaku. Kini, korban cinta pertama seolah sebutan yang cukup dan tepat bagi hati yang masih berharap meski terus tak tertanggap. Perjalanan masih panjang untukku tetap bertahan. 3 tahun cukup untuk semua kebodohanku. Aku harus melepaskan predikat ini. Bebas dari cinta pertama yang hanya sebelah tangan.

0 komentar: