Senin, 19 Agustus 2013

Sebuah Cerpen Yang Belum Selesai

 Matahari bersinar cerah udara terasa hangat, orang-orang mulai ramai beraktivitas di depan rumah masing-masing. Pagi itu tepat pukul 07.30, seorang perempuan keluar dari pintu depan rumah bernomor 32. Perempuan itu memakai kerudung biru cerah menutupi dada dengan gamis berwarna biru pula dihiasi bunga-bunga berwarna-warni. Di bahunya tergantung tas tangan hijau polos, tangannya memegang beberapa buku bacaan. Ia berdoa beberapa saat sebelum berangkat pergi, kemudian ia melangkah menjauhi rumah tersebut. Langkahnya cepat menyusuri komplek perumahan tempat ia tinggal. Sesekali ia menyapa atau sekedar tersenyum pada beberapa orang yang ia temui. "Berangkat ya neng putri" sapa salah seorang ibu ketika ia melewati sebuah rumah bercat cokelat muda.
"Iya bu, mari" jawabnya sambil tersenyum pada si ibu.
"ya mangga-mangga" si ibu mempersilakannya melanjutkan langkah. Ia mengangguk kemudian kembali berjalan.
Tak lama, sekitar kurang lebih 10 menit ia sampai di sebuah halte bus. Beberapa mahasiswa dan pekerja telah ada disana menunggu bus datang. Kemudian ia bergabung bersama mereka. Selang beberapa menit bus datang menjemput, dengan tertib mereka naik satu persatu.
"Hari ini kuliah pertamaku, bismillahirohman nirohim semangat!" serunya dalam hati setelah ia duduk disebuah kursi. Bus berangkat, sepanjang perjalanan matanya memperhatikan jalan yang dilalui bus dengan seksama. Tiba-tiba fikirannya melayang ke masa lalu masa ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

***
           Hari itu sekolah ramai. Para orang tua murid mengajak anaknya duduk di kursi kelas 1. Seorang guru wanita datang memberi pengarahan, kemudian satu persatu orang tua murid dipanggil olehnya membicarakan pendaftaran sekolah. "Orang tua Aya" panggil guru bernama Lia tersebut.
"Iya saya" seorang lelaki berumur 40 tahun menghampiri.
"Tunggu sebentar ya, bapak dipanggil bu guru" ia bicara pada anaknya.
"Iya" jawab Aya.
Aya melihat ke sekeliling dan mencoba menyapa beberapa anak yang lain. "Hai!" gadis cilik itu tersenyum pada salah satu temannya.
Tapi sapaanya tidak digubris temannya. Ia malu dan sedih. Ia terdiam sesaat, kemudian mengalihkan pandangan pada ayahnya yang sejak tadi berbicara dengan gurunya. Beberapa kali ayahnya terlihat bertanya dan sesekali mengangguk faham mendengar jawaban dari si Guru. Kemudian berdiri dan menyalami si Ibu Guru.
"Besok berangkat sekolahnya sendiri ya, tidak usah ayah antar lagi. Aya kan anak pintar" ujar ayahnya pada Aya saat menghampirinya.
"Iya." Aya menjawab sekenanya.
"Sekarang kita pulang. Mulai belajar di sekolahnya besok. Ayo" ayahnya menarik tangan Aya. Aya mengikutinya keluar kelas.
Sepanjang perjalanan pulang ayahnya tak mengatakan apapun padanya. Ia hanya menuyun Aya hati-hati. Diantara langkahnya Aya menengok wajah ayahnya. Ia lihat mata ayahnya merah berkaca-kaca. Ia fikir ayahnya menangis. Tapi ia tidak tahu apa yang sedang difikirkan ayahnya. Ada rasa sedih melihat ayahnya. Ya Allah apa tadi aku berbuat nakal pada ayah? Fikir Aya. Ia merasa bersalah tapi tidak tahu kesalahannya.
"ya Allah maafkan aya!" lirihnya. Air matanya jatuh, seketika ia hapus tak ingin ayahnya tahu. Ia takut.
 
***

    Bus behenti. Perempuan berkerudung biru cerah bernama Putri itu tersadar dari lamunannya.
"Ah sudah sampai ternyata." serunya. Kemudian ia memberikan ongkos pada kondektur yang mendekat. Seorang penumpang naik, kemudian ia turun. Bus kembali jalan.
"Putri!" seorang perempuan berambut panjang menghampirinya.
"Hai Santi, kamu sudah punya jadwal?" tanyanya.
"Tentu, ini aku bawakan untuk kamu." jawabnya memberikan secarik kertas pada Putri.
"Terimakasih."
"Sama-sama."
"Eh, lima menit lagi masuk mata kuliah pertama. Cepet masuk kelas yuk!"
"Oh oke!." Mereka pergi menuju kelas.
Sesampainya di kelas mereka duduk di bangku depan. Tak lama seorang pria muda berkemeja rapi berwarna biru telor asin memasuki kelas. Tubuhnya tinggi tegap berisi, wajahnya putih bersih, tampan. Ia memperkenalkan diri sebagai dosen.
"Selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Andi. Saya mengajar mata kuliah komunikasi. "
 ***
     Pukul 14.30 seluruh mata kuliah telah selesai. Putri keluar kelas bersama Santi diikuti mahasiswa lainnya. Cuaca sore itu masih cerah. Santi menarik Putri duduk di kursi taman kampus.
"Put, dosen yang tadi oke ya?" Santi membuka pembicaraan.
"Yang mana? Pak Andi?" tanya Putri.
"Nah, itu kamu langsung tanggep!" Santi tersenyum menatap Putri.
"Tentu saja, aku kan juga sependapat denganmu"
"Kamu menyukainya?" Santi mengalihkan pandangannya ke depan.
"Menurutmu?"
"ya.." Mereka berdua terdiam sesaat. Tiba-tiba Putri menarik nafas. Ia menoleh ke arah Santi.
"Aku ingin menikah muda San.." lirihnya.
"Apa? Kamu serius? Calonnya?" Santi agak terkejut.
"Ya dosen itu, dia calonnya"
"Tapi apa kamu yakin? Kamu kan belum mengenalnya?"
"Siapa bilang?"
"Kamu sudah kenal dengan dia?"
"Dia orang yang dijodohkan denganku. Kami dikenalan 1 bulan yang lalu. Aku pun baru tahu kalau dia mengajar di sini"
"Lalu apa yang menjadi bebanmu?"
"Karena aku tidak tahu isi hatinya. Tapi aku terlanjur menyukainya, sementara belum tentu dia setuju dengan perjodohan ini? Menurutmu secara fisik kita bagaimana? Soal umur kita beda delapan tahun."
"Jujur saja menurutku kalian cocok, ada kemiripan secara fisik. Umur tak jadi masalah, tapi apa hati kalian juga cocok? Kau sudah tahu sifatnya?"
"Karena itu aku ingin hatiku dengan hatinya cocok. Justru karena sifatnya aku menyukainya, bahkan mungkin aku sudah mencintainya!"
"Kehilatannya dia tahu kita membicarakannya," Santi melirik ke arah seorang pria berkemeja biru yang menghampiri mereka. Putri mengikuti arah mata Santi, benar saja Andi menghampirinya.
"Sebaiknya aku pulang duluan, besok kita bicara lagi, dah!" Santi meninggalkan Putri sendiri, sebelum Andi datang. Putri melambaikan tangannya, "dah.."
Ia kemudian melihat ke arah Andi dan tersenyum. Andi duduk disebelahnya, dimana Santi duduk tadi.
"Fyuuuh.." Andi menarik nafas sesaat, "mau pulang?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Ya, tentu saja kalau kamu tidak mengajak bicara," jawab Putri.
"Kita pulang sama-sama," Putri mengangguk. 
 Andi membukakan pintu depan sebelah kiri mobil sedannya untuk Putri. Putri masuk, Andi menutup pintu mobil. Ia berbalik, membuka pintu depan mobil sebelah kanan. Ia masuk, kemudian menutupnya kembali, memasang sabuk pengaman bersamaan dengan Putri. Ia menyalakan mesin, mobilnya melaju dengan kecepatan sedang.
"Aku setuju dengan perjodohan kita," Andi memulai pembicaraan sambil menyetir. "Kamu juga setuju kan?" ia menoleh ke arah Putri, kemudian kembali konsentrasi menyetir.
"Iya, aku setuju," jawab Putri. "Tapi, jika ada cinta diantara kita itu lebih baik," lanjutnya.
Putri menatap Andi lekat-lekat dalam hati ia berkata, "ya Tuhan, bagaimana mungkin aku menolak perjodohan ini? Kak Andi adalah orang yang baik, sukses, cerdas dan tampan! Apa dia tahu betapa aku mengharapkan dia mencintaiku seperti aku mencintainya, semoga ia tak menganggap pernikahan ini sebagai keterpaksaan?"
Mendengar jawaban itu Andi hanya terdiam. Mereka tak berbicara apapun lagi sampai di rumah Putri. Andi mengantar Putri sampai ke pintu depan.
"Aku bisa belajar untuk mencintaimu setelah kita menikah nanti. Tapi itu tak perlu, jika kau masih mengingatku Aya! Aku pamit, besok aku jemput." Andi balik menuju mobil , kemudian melaju pergi.
Putri terkejut mendengar Andi memanggilnya dengan nama Aya. Ingatannya kembali melayang.
 
***

Di sekolah Aya tak banyak berteman. Ia selalu menyendiri. Sampai seorang anak lelaki 8 tahun diatasnya menemaninya, ia begitu senang dengan kehadiran teman barunya itu. Anak lelaki itu adalah anak sahabat ayahnya. Semenjak mereka berteman, ayah Aya tak terlihat bersedih lagi sampai ia meninggal dunia menyusul istrinya. Ya Aya menjadi yatim piatu, ia begitu sedih ditinggal ayahnya. Tapi itu tak berlarut, "jangan sedih aku akan menjaga kamu menggatikan ayah" kata-kata teman kecilnya itu selalu membuatnya kembali kuat. Tapi kebersamaan mereka hanya sampai 6 tahun. Mereka terpisah untuk melanjutkan sekolah. Aya ikut tantenya ke Bandung.
"Kak Didi.." ucap Putri Allya lirih..
Putri tersenyum bahagia sekarang ia tahu isi hati orang yang ia cintai. Betapa tidak, cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ia sekarang yakin Andi merasakan hal yang sama dengannya. Seperti ketika mereka kecil daluhu rasa sayang diantara mereka tetap ada hingga tumbuh menjadi cinta.
Putri masuk ke dalam, ia kemudian menutup pintu. Tantenya yang bernama Dian keluar dari dapur membawa beberapa toples kue dan meletakannya diatas meja ruang tamu. Sejurus kemudian ia menoleh ke arah Putri yang menghampirinya.
"Putri, kau diantar Andi? Kenapa tidak kau suruh dia masuk dulu?" tanyanya seketika.
"Sepertinya kak Andi sudah sangat lelah, biar dia istirahat di rumahnya saja Tante. Lebih nyaman," Putri duduk di sofa.
"Lha disini memangnya tidak nyaman? Tak ada yang mengganggu kok," Tante Dian kemudian duduk disebelah Putri.
"Kalian sudah sepakat mengenai tanggal pernikahan?" Tante Dian melanjutkan.
"Kami belum menentukannya, tapi kami sudah mantap. Hanya saja Putri ingin secepatnya." Jawab Putri.
"Bagaimana kalau bulan depan?"
"Putri setuju saja."
"Kalau begitu biar nanti Tante bicarakan dengan Andi. Biar Tante telepon setelah shalat isya."
"Iya, terimakasih ya Tante. Tante dan Om sudah mau direpotkan selama ini mengurusi Putri," Putri tersenyum menatap tantenya, matanya berkaca-kaca. Rasanya sulit untuk berpisah dengan tante sebaik dia.
"Jangan bicara seperti itu, sudah menjadi kewajiban tante untuk merawat kamu setelah ayahmu meninggal. Pasti almarhum bahagia jika kau menikah dengan orang yang baik seperti Andi." Mereka berpelukan berbaur rasa haru.
Tante Dian sebenarnya merasa berat melepas keponakannya itu. Ia akan kesepian ditinggal Putri, sementara ia tak punya anak. Ia hanya tinggal bersama suaminya yang terkadang sibuk. Tapi meski demikian Tante Dian bersyukur mendapat suami seorang pekerja keras, pengertian, setia kepadanya. Juga sama menyayangi keponakannya seperti anak mereka sendiri. Tapi ia yakin Andi bisa menjaga dan menyayangi Putri sepertinya. Senyumnya mengembang melepas pelukan Putri.
***
 
    Usai shalat isya tante Dian pergi ke ruang tamu dimana terdapat telepon rumah. Seperti yang telah ia katakan pada Putri, ia berniat menelpon Andi untuk membicarakan tentang pernikahan Putri dan Andi. Ia menekan beberapa angka, sesaat kemudian telepon tersambung.
"Halo, assalamualaikum Andi," tante dian berbicara sembari duduk di kursi dekat meja telpon.
"walaikumussalam, iya ini tante Dian ya? Ada apa tante?" jawab suara di seberang telepon sana.
"Begini Ndi, langsung saja. Tante ingin tahu kepastian mengenai tanggal pernikahan kamu dengan Putri. Tadi tante sudah menanyakannya pada Putri. Dia bilang terserah sama kamu saja, tapi jika bisa ia ingin secepatnya. Jadi menurutmu kapan?" Jelas tante Dian.
Beberapa saat tak ada suara, mungkin Andi tengah berfikir.
"Iya tante, sebenarnya saya sendiri akan ke sana besok untuk membahas tentang hal ini. Tapi berhubung tante sudah menanyakan saya jawab sekarang. Saya setuju dengan keinginan Putri untuk menikah secepatnya. Oleh karena itu saya kira hari kamis depan saja pernikahan saya dan putri dilaksanakan. Bagaimana menurut tante?"
"Baik tante juga setuju. Biar nanti tante sampaikan pada Putri dan Omnya tentang kesepakatan ini. Begitu saja Ndi, tante tutup telponnya. Salamualaikum."
"Walaikumussalam.."
 
***

Putri tengah selesai shalat dikamarnya, ketika kemudian tante Dian datang. Putri langsung membereskan perlengkapan shalatnya. Lalu ia duduk diatas tempat tidurnya disusul tante Dian.
"Put, tante sudah bicara dengan Andi. Ia bilang ia ingin pernikahan kalian dilaksanakan hari Kamis depan," cerita tante Dian pada Putri.
"Berarti seminggu lagi ya tante? Apa Putri harus cuti kuliah?"
"Sebaiknya iya, biar kamu dipingit. Tante ingin pernikahan kalian berjalan lancar. Karena pernikahan itu adalah insyaAllah sekali seumur hidup. Jangan lupa besok kamu mulai ijin dan bicarakan pada dosennya ya!"
"Baik tante," Putri mengangguk, tantenya tersenyum.
Tante Dian kemudian pergi meninggalkan Putri. Sampai di depan pintu kamar ia keluar dan menutup pintu tersebut pelan.

0 komentar: