Selasa, 02 April 2013

"Strawberry dari Firriz"


PENDAR sinar mentari pagi kuabaikan. Kubiarkan ia menjilati lengan dan pipiku. Aku lebih tenggelam dengan perdu-perdu Strawberry yang menghampar di depanku di tempat yang lebih rendah dari aku duduk.
“Tehnya lagi, Teh,” kataku ketika melintas seorang pelayan bercelemek kotak-kotak merah-putih yang sudah kukenal baik.
“Iya, Mbak.”
“Gulanya kurangi, ya Teh?”
Ia mengangguk. “Kemanisan, ya Mbak Ella?”
“Nggak. Karena kelewat manis saja. Apalagi sudah ada Teteh Titin yang pagi ini ceria.”
“Ah, bisa saja Mbak Ella ini.”
Pagi mulai beringsut, pelan-pelan tapi. Karena aku pun tak ingin membiarkan segera berganti dengan siang yang biasanya lebih galak sengatannya. Walau ini di Bandung, ah, Lembang. Ah, sama saja. Sebuah tempat yang sudah tak berbilang kukunjungi. Termasuk sendirian seperti sekarang.
Saatnya mandi pagi, ketika matahari sudah sepenggalah. Itu pun dengan sedikit menahan gigil, karena aku tak ingin mengganti dengan air hangat yang tersedia di hotel yang terhubung dengan kebun strawberry.
“Seorang menteri bakal menjadi tersangka dalam kasus korupsi,” kata penyiar dari TV lamat-lamat kudengar dari kamar mandi. Heh, apa peduliku coba? Menteri, mantan Ratu Kecantikan atau siapa pun, korupsi ya mesti dihukum. Menjadi pejabat publik mestinya tidak menelan uang rakyat. Jangan disederhanakan sebagai uang negara. Karena uang negara itu adalah uang rakyat negeri ini.
Aku tertawa sendiri sebelum akhirnya mengguyur kepalaku yang mulai dijalari hawa panas karena mendengar berita TV dan mencoba menganalisa. Lalu aku menyanyi. “Bandung, Bandung di lingkung gunung, Parahyangan. Waktu Tuhan tersenyum lahirlah Pasundan.”
Beginilah kalau seorang diri melarikan dari kepenatan Jakarta. Ngaco-belo. Tapi kawah Tangkuban Perahu, air hangat Ciater dan Kebun Strawberry adalah obat mujarab. Tak ada yang lebih mengasyikkan daripada itu semua. Dan nanti sebentar lagi memetik strawberry nan ranum di dekat kamar. Langsung kusesap sambil kuemut-emut merasakan manis-manis asam. Seraya memejamkan mata. Hidup mesti begitu. Ada manis, ada asamnya. Huadeuh!
Kukenakan celana pendek merah dan sweater kedombrongan biru tua. Lalu kutenteng topi kain merah untuk mengurangi sengat matahari. Kupatut-patut di depan cermin. Kulempar senyum, dijawab senyum pula. Itu kan aku. “Gilaaa, he he he,” runtukku sendiri.
“Bruuuk …!”
Tabrakan persis di depan pintu kamarku tak terhindarkan. Itu pasti karena aku sok pasti dengan langkahku setelah melewati malam dan pagi dengan teh di resto tadi. Teh hangat yang kuseruput dua cangkir belum mampu untuk menopang tubuhku dalam tabrakan mengejutkan itu.
“Maaaf …maaf … Bu.”
Aku mendelik. “Apa? Ibu?”
“Eh, Teteh ….”
Aku sesungguhnya segera terpana dengan sosoknya. Lebih-lebih ketika hmmm … kuhirup wangi …lavender? Eh, bukan, bukan. Bukankah itu aroma maskulin. Ya, ya …aroma sporty yang mirip-mirip: kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya. Ah, ngaco. Tapi ini lebih dari itu. Mungkin aroma laki-laki penunggang kuda, dan bukankah di sini banyak lelaki berkuda? Bahkan di dalam taman Ciater banyak kuda tunggangan? Lebih ngaco lagi, memang lelaki itu kuda tunggangan?
Aku jadi tak meneruskan ketidaksukaanku karena sebutan Bu dan Teteh tadi. Tapi secepatnya aku berpikir, apa aku sudah pantas menyandang Ibu? Yang benar saja. Hampir seluruh karyawan hotel dan Kebun Strawberry ini kenal aku. Setidaknya mengenalku. Lha ini? Oh, mungkin ia tamu.
“Anda tamu di sini?” tebakku karena ia tidak berseragam seperti Teh Titin.
“Mmmm … bukan.”
“Pegawai sini? Pegawai baru?”
“Mmm ….”
“Aku hampir seluruh pegawai sini kenal.”
“Oya? Oh, maaf. Saya juga tahu siapa Mbak, kok.”
Aku meneliti ke arahnya. Jangan-jangan ia menelan strawberry terlalu banyak dan mabuk. Eh, tapi apa kebanyakan makan strawberry bisa mabuk? Ah, sudahlah. Ia lelaki bersosok menarik. Perawakannya proporsional. Wajahnya memang belum masuk nilai delapan, tapi tujuh saja rasanya kurang. Mungkin tujuh setengah atau tujuh plus.
“Mbak Ella nggak percaya?”
“He, tahu namaku? Tahu dari mana?”
“Titin.”
“Titin? Oya, ya. Jadi benar situ karyawan baru sini?”
Ia menatapku, dan tidak segera menjawab.
“Ya, ngaku saja. Apa salahnya, sih? Pegawai, pelayan juga manusia ….”
Ia tertawa. Oh, sungguh indah suara tawanya. Apalagi dibarengi sedikit bukaan dari mulutnya, memperindah kumis yang tertarik ke atas.
“Ya, ya. Saya … maaf, saya Donny.”
Aku manggut-manggut. Dan ini yang lebih gila. “Tapi jangan kemudian ngaku yang baru menerima piala citra itu, kan?”
Dia tertawa. Makin manis. Makin tampak kelimis. Kok jadi cepat berubah, ya? Ini ada yang nggak beres pada diriku. Apa ini: sebuah pandangan pertama yang menggetarkan? “Yes!” jentikku antara ibu jari dan jari tengah.
“Tentu saja bukan. Saya ….”
“Ya, sudah. Saya ….”
“Maaf. Apa ada yang sakit, dan ada yang perlu diobati atau untuk dirawat?”
“Hi hi hi. Nggak. Nggak usahlah pakai rawat-rawatan segala. OK. Saya mau petik strawberry. Kalau situ bagian room service, benahi kamar dan jangan sentuh apa pun.”
Lelaki itu diam. Kalau digambarkan, mirip symbol bulatan yang bibirnya tertarik ke bawah: tanda merengut. Meski yang ini berkumis.
“Kenapa diam seperti itu?”
“Ya, kalau membersihkan tanpa menyentuh apa pun, bagaimana Mbak Ella?”
Ok juga nih. Tak seperti yang kubayangkan sebagaimana seorang room service atau setara itu. Paling tidak, ia berani membantah dan tak dibebani kesalahan adegan tabrakan tadi.
“Maksudku, awas kalau ada yang hilang dari barang-barangku.”
“Siap. Dijamin tidak.”
“Apa jaminannya?” aku jadi tergoda. Tepatnya, menggoda.
“Ya diri saya ini.”
Kali ini aku tak mau meladeni lebih jauh. Bisa-bisa gila untuk menilai dan memberi ponten kepadanya. Aku segera berlalu untuk ke kebun. Ya, menikmati strawberry yang manis-manis asem. Lalu memejamkan mata. Sambil membayangkan, hah? Masak wajah Donny? Gelo, ah!
Sebenarnya tak seberapa strawberry yang bisa kusesap. Ritual di kebun dan memilah-milah mana yang mesti dipetik itulah yang mendatangkan sensasi. Sambil membayangkan sebagai tuan puteri berada di taman yang aman dan nyaman karena dijaga para pengawal. Ah, ini kelewatan. Imajinasi seorang yang sedang menghilangkan penat, rupanya seperti ini. Apalagi berada di kebun strawberry dan baru saja bertemu dengan seorang lelaki yang lebih tepat disebut tuan. Itu kalau dilihat sosok dan penampilannya.
Dari kejauhan kulihat Titin sedang asyik berbincang dengan Donny. Mereka seperti asyik benar. Entah pembicaraan macam mana? Lho, kok aku merasa gerah? Bukankah mereka sama-sama pegawai yang setidaknya memungkinkan untuk berbicara dan bekerja sama dalam lingkungan yang sama. Satu manajemen.
Aku melangkah ke arah mereka, entah terseret alasan apa. Namun sebelum tiba di tempat mereka, Donny bergerak. Lalu ia menuju mobil bak terbuka. Dan tak lama menghilang setelah melewati pintu gerbang kebun ini.
“Donny ke mana, Teh Tin?” tanyaku ketika tiba di depan Titin. Aduh, kok terlepasan? Telanjur. “Ada kerjaan, ya?”
Titin menatapku heran. Namun ia segera menyunggingkan senyum manisnya.
“Ya, dia ke kebun sebelah selatan sana. Kebun satunya lagi yang besar.”
Manggut-manggut aku.
“Dia lagi lebih sering di sana. Mungkin karena belum dikenal seperti yang di sini.”
“Ya, benar. Kalau yang di sini, kan saya sudah mengenal beberapa waktu lalu.”
Lalu Teh Titin dengan senang hati bercerita tentang kebiasaan di sekitar Lembang. Ya makin banyak warga tertarik dengan berkebun buah warna merah itu. Mengingat bisa dilakukan oleh petani yang ladangnya terbatas. Di samping strawberry bisa diolah menjadi selai strawberry, ice cream, juice atau lainnya.
“Atau dijual eceran di tepi jalan,” kata Titin bak seorang juru bicara.
“Gitu, ya Teh?”
“He-eh.”
Aku pun mengakuinya. Kenapa juga berani seorang diri ke tempat ini? Kalau tak dikelola secara baik, benar dan enak untuk dikunjungi, pasti aku tak betah. Tepatnya tak berani. Meski kebun-kebun strawberry sekarang di sini makin banyak, aku memilih ke tempat Teh Titin bekerja. Apalagi sekarang menemukan Donny. Hadeuh.
“Aku jadi ingin sering-sering ke sini. Ini karena tangan-tangan kreatif. Bisa menjual buahnya dan menjual suasana. Iya kan?” kataku pelan seperti pada diri sendiri.
“Kenapa memang, Mbak Ella?” tanya Teh Titin ingin menegaskan, menyadarkanku.
Kugelengkan kepala. Masak terus terang. Apalagi kalau akan menyakitkannya, kalau dikira aku menyerobot Donny.
“Tadi katanya Mas Donny bertabrakan dengan Mbak Ella, ya?” tanyanya, mengagetkan.
Aku melongo. Sungguh ini tidak elok. Apalagi kalau bisa terbaca secara tepat oleh Titin.
“Dia cerita?” aku mencoba bertanya balik.
“Ya.”
Kali ini aku tak dapat menahan diri, kutempeleng kepalaku sendiri. Plak! Celaka.
“Ya, ya. Gitulah. Malah kemudian dia kusuruh membersihkan kamarku.”
“Ha!”
“Kenapa? Dia kan room service eh, karyawan sini, kan? Ya sebagai hukumannyalah.”
Kulihat Titin tidak nyaman. Galau.
“Waduh kurang ajar dia kalau cerita yang nggak-nggak. Apalagi kalau dibalik-balikin, diputar balik.”
“Nggak. Dia nggak bakal berbuat seperti itu. Apalagi kepada tamunya.”
Aku senang juga mendengarnya. Hanya aku menjadi iseng.
“Kalau begitu, aku mau ke kebun sana. Akan kutegur dia. Di mana alamatnya?”
Wanita muda mungkin lebih muda setahun-dua dariku itu tampak ragu. Meski akhirnya memberi gambaran kebun strawberry di selatan Ciater itu. Walaupun wajahnya tampak kurang ceria seperti tadi saat bercerita tentang orang-orang Lembang yang mulai berkebun strawberry. “Jangan bilang dari saya, ya Mbak?”
“Beres!”
Kuluncurkan mobil ke arah selatan. Kulewati tikungan Tangkuban Perahu. Kulampaui Ciater yang semalam kukunjungi untuk berendam air hangat di sana.
Laju mobil mulai kepelankan. Hamparan strawberry mulai kulihat. Di mana dia?
“Sriiit …!” aku mengerem mobil ketika kulihat Donny sedang berbincang dengan beberapa orang. Sementara sebagian mengangkut buah merah manis-anis asam yang ada di keranjang ke bak mobil yang tadi dikendarai Donny.
“Selamat siang …,” sapaku, seolah-olah tidak untuk dipersalahkan ketemu dengannnya.
“Oh, Mbak Ella. Selamat pagi. Ini masih good morning, masih pukul sepuluhan. Eh, malah kurang,” sambutnya seraya melihat jam dari HP-nya.
Sialan! Dia kenapa jadi lebih Ok, ya? Seperti lebih pede. Jarak hanya berbilang sepelemparan batu dari hotel tempatku menginap dengan Kebun Strawberry di selatan Ciater, kenapa membuatnya berubah?
“Ada yang bisa saya bantu? Bagaimanapun, Mbak Ella tamu di tempat kami,” katanya seperti ingin menetralisir keadaan saltingku. Mana enak memburu orang yang diburu secara diam-diam, dan kemudian menjadi salah tingkah karena ketahuan? Sangat tidak Ok.
“Sedang apa di sini, Don?” sapaku enteng.
“Ya, bagaimana sih seorang ….”
Seorang lelaki mendekati Donny, dan berkata yang jelas kudengar.
“Maaf, Gan! Sudah selesai semua,” kata salah seorang yang tadi mengangkuti keranjang berisi strawberry ke bak mobil.
Donny tampak kikuk. Lalu memberi isyarat, agar menyingkir dari pembicaraan kami.
“O, o. Ketahuan sekarang ….”
“Apa, Mbak Ella?” Donny tampak gelagapan.
“Kalau Donny ….”
Dia pasang senyum dulu. Lalu, “Ya, beginilah saya, Mbak Ella.”
“Tak begitulah. Ok. Senang saya dengan Anda yang sebagian sudah kudengar dari Titin.” Aku setengah berbohong.
“Emm, soal apa? Omong apa saja dia?” tanya Donny kurang senang.
“Santai saja. Dan jangan salahkan dia. Kan saya juga punya andil salah. Dengan tabrakan dan memperlakukan juragan Donny ….”
Donny senyum-senyum dan menggeleng-gelengkan kepala. “Ok, Ok. Sebagai acara perdamaian ini, saya mentraktir Mbak Ella dengan makan strawberry sepuasnya. Silakan.”
“Ok juga. Dengan satu syarat.”
“Dengan senang hati akan kupenuhi, kalau memungkinkan.”
“Pasti.”
“Sebentar, Mbak Ella,” katanya. Lalu ia memerintahkan di antara pegawainya untuk membawa mobil yang sudah berisi strawberry. “Tang, strawberry kauantar ke Dago. Nanti saya telepon Pak Dadang.”
“Siap, Gan.”
Aku pun menyebutkan syarat itu ke Donny. Aku hanya minta dia menemani selama melihat-lihat Kebun Strawberry yang memang lebih besar daripada yang selama ini kukunjungi dan kuinapi. Sedangkan di sini hanya kebun strawberry.
“Tapi ini sebenarnya milik ramai-ramai. Milik beberapa warga yang dipercayakan kepada kami, kepada saya tepatnya. Untuk dikelola.”
Aku manggut-manggut. “Aku yakin, aku yakin.”
“Yakin apa?”
“Donny mampu mengelolanya. Ini kawasan bagus, dan menjanjikan untuk sebuah bisnis kebun strawberry.”
“Aaah ….”
“Jangan ah saja. Anda pastinya lebih tahu. Anda sudah hidup di sini dan sekarang mendapat amanah dari warga.”
Donny garuk-garuk kepala. Saya mau bilang apa lagi? Kecuali kemudian, “Kita balik ke Teh Titin. Eh, kebun dan hotel milik Donny ….”
Donny tak keberatan. Juga saat kuminta untuk yang membawa mobil.
“Pelan-pelan saja, ya? Sambil ngobrol.”
Aku mengangguk pasti.
“Seharian sampai di Teh Titin juga nggak apa,” kataku. Cuma itu hanya dalam hati.
Dan inilah saat aku menghirup dan meyakini ruap harum apa yang ada pada lelaki di sampingku. Lelaki keren di tengah padang dan wangi strawberry. Kalau saja aku tidak direm, mungkin sudah kusandarkan ke lengan kiri Donny. Lelaki Bandung yang punya kumis khas, mengingatkan pada Jaka Bimbo menjadi trend dan digilai mamaku kalau bercerita tipe laki-laki. Ya, anggota group musik balada yang lagunya kusenandungkan di kamar mandi tadi. “Waktu Tuhan tersenyum lahirlah, Donny …,” desisku kuplesetkan, dan sangat hati-hati. Agar tidak menjadi humming yang tertangkap telinga Donny. “Tapi kalau Donny dengar emang salah?” Hihihi.
Mobil berbelok ke kanan, dan kami langsung menuju ke resto atas permintaan Donny. Untuk melengkapi janji mentraktirnya karena kesalahan bertabrakan di depan kamar yang kuinapi.

0 komentar: