Kamis, 03 Oktober 2013

My Life Live



"Kau tahu, nak. Aku telah mengorbankan perasaanku untuk menikahi si Sugeng sebagai bapak kamu, tujuannya apa ta nak, biar bisa membiayai hidupmu, biar kamu gak hidup di panti Asuhan lagi, terimalah dia sebagai bapak kamu ya, nak”, Ibuku yang telah menyandang status janda memelukku dan merembeskan air matanya, memintaku untuk menerima Pak Sugeng sang juragan proyek sebagai ayahku. Hatiku benar-benar runtuh, dalam fikiranku yang masih labil, bagaimana bisa ibuku menerima seseorang yang tak dicintainya, hanya dijadikan sebagai tulang punggung keluargaku, yang selama ini biaya sekolahku dan adik-adikku, pamankulah yang menanggungnya setelah ayahku meninggal 2 tahun yang lalu, ah meninggal yang cukup menyedihkan, meninggal di suatu pulau Batam yang mayatnya tak di ketahui oleh ibuku, betapa hebatnya tangisan ibuku saat itu setelah teman ayahku memberitahukan berita duka kepada keluarga kami atas kecelakaan yang menimpa ayahku, ahh! Peristiwa itu membuat air mataku keluar, setiap ku mengingatnya, ayahku yang sangat aku cintai itu, yang sangat aku banggakan bagaikan pahlawan yang menyerang tentara jepang saat peristiwa Bandung Lautan Api. Aku masih terdiam sampai ibuku meninggalkanku sendiri di kamar rumahku.

2 bulan kemudian ...
Aku mempunyai ayah baru sekaligus adik perempuan baru yang di bawa dari ayah tiriku, Mala, umurnya 2 tahun di bawahku, anaknya cantik, rambutnya panjang rebondingan, kulitnya mulus penuh perawatan, maklum keluarga dari orang kaya, aku benar-benar belum bisa menerima mereka sebagai keluargaku, entah sampai kapan waktu kan membawaku untuk menerima mereka.
Saat aku pulang sekolah dan memarkirkan sepeda kuningku di samping rumahku, Ayah tiriku menghampiriku di beranda rumah ketika aku mengendorkan punggungku di kursi.
“Sal, bapak mau membelikanmu motor”, aku tak berguming sama sekali.
“Bapak merasa kasian lihat kamu, selalu capek pulang pergi ke sekolah naik sepeda ontel, kamu pengen motor apa?”,
“Ah, gak usah lah pak, terlalu berlebihan. Lagipula bapak kemarin udah membelikan kulkas baru, tv baru, juga PS baru untuk Mala, gak perlu lah bapak ngeluarin duwit lagi buat motor baru”, ini berlebihan bagi aku, jujur entah kenapa aku gak suka hidup seperti ini, ketika itu juga aku rindu sekali sama bapak kandungku dulu yang selalu mengajariku hidup kesederhanaan, aku sangat tidak setuju terhadap hidup bapak dan adik tiriku yang terlalu mewah.
“Halah, gak apa apa lah nak, selama semua ini untuk keluarga kita supaya kita bahagia nak, ayo aku punya brosur motor buat kamu lihat, kamu milih yang mana?, vixion, tiger?, coba kamu lihat dulu, bapak yakin kamu suka”, bapak itu tetap bersikeras menawari kemewahan dengan dalih kebahagiaan, tapi sayangnya hal itu sama sekali tak membuatku bahagia, aku tetap menolak keinginan bapak itu, dan meninggalkannya sendiri di beranda rumah. Ketika ku memasuki ruang tengah, aku benar-benar tak nyaman dengan keadaan semua ini, apa-apaan ini, kudapati Mala yang asik bermain PS barunya dengan pakaian yang tidak sopan!, aku hanya geleng-geleng kepala mendapatkan seorang ayah tiri dan adik tiri yang bobrok akan kesopanan, saat itu juga ku kemasi baju-baju seperlunya dan buku-buku sekolah ke dalam tas ranselku, niatku tlah bulat, aku tidak betah tinggal di rumah asing ini walaupun ku tahu ini rumahku, aku ingin kembali ke sebuah panti asuhan, dan dengan sedikit kedamaian yang menyelimutiku, aku bisa bergabung bersama anak-anak yang miskin kasih sayang, mengajari mereka membaca kitab Al-qur’an, menceritakan mereka tentang kisah-kisah nabi. Biarlah jika mereka tahu bahwa aku adalah anak panti asuhan yang sama derajatnya dengan orang-orang miskin dan gagal akan hidup.

{{_/!}}

“Kang Faisal!”, suara Neng Ratih memanggilku dari belakang. Dia adalah keponakan dari pengasuh pondok Al-iman yang pondoknya berjejer dengan panti asuhan tempatku mengajar anak-anak miskin kasih sayang.
“Iya neng”,
“Loh, akang kenapa balik kesini? Bukannya hidup akang sekarang udah enak?, kok masih mau jadi dermawan di panti ini?”, neng Ratih rupanya mengerti tujuan kedatanganku karena melihat tas rangselku yang biasa ku gunakan untuk mengemasi pakaian-pakaianku ketika ku bolak-balik ke rumah.
“Hehehe. Halah gapapa lah neng, kebahagiaanku itu hidup bersama mereka”, kataku sambil melirik anak-anak panti ketika mereka bermain di taman.
“Oalah kang, ah wes ah, aku maleh mundak ga paham apa seng saman maksud, aku pamit balik dulu ya kang, abah kayaknya nyariin aku. Assalamu’alaikum”,
“Wa’alaikumsalam wr. wb.”, aku tersenyum sendiri melihat ke anggunan keponakan pengasuh pondok pesantren itu. Rasa bahagia mengalir begitu saja, apakah Allah memang sengaja mengirim bidadari cantik itu di tengah-tengah kehidupanku. Aku jadi teringat ketika aku berdoa kepada Allah di sepertiga sholat malam tahajjudku, ketika itu aku berdoa agar mengirimkan seorang gadis untuk menemaniku sampai akhirat nanti. Rupanya keesokan paginya, aku melihat neng Ratih yang pindah ke pondok itu untuk membantu Pamannya sebagai pengasuh di ndalem, dan sore harinya neng Ratih datang ke panti ini untuk mengenalkan dirinya sebagai tetangga baru, saat itulah aku berkenalan dengan neng Ratih, ketika itu juga ku merasakan kenyamanan mengalir begitu saja setiap memandang wajahnya, kebahagiaan tersendiri yang tak bisa diuraikan dengan argumentasi apapun, tak lama perkenalanku dengan dia, kami sudah begitu akrab, dari sifatnya yang begitu ramah, aku yang selalu pendiam ini tak percaya kalau aku mempunyai teman gadis dari nashab keluarga terpandang, jauh sekali jika dibandingkan dengan keluargaku, lantas apakah neng Ratih jawaban atas doa’ku semalam itu?, hahahah rupanya begitu konyol jika ia benar-benar jawaban atas do’a do’a ku di sepertiga malam. Dasar sang pungguk lapuk mengharap bulan!

Hari demi hari ku jalani hidupku di sebuah panti asuhan ini, entah bagaiman kehidupan keluargaku di sebrang sana, hanya kadang kala jika aku merindukan ibukku, aku menelfonnya walau hanya menanyakan kabar Fadil, satu-satunya adik kandung kecilku yang saat ini duduk di Taman Kanak-kanak, sudah berkali-kali ibuku mengharapkanku untuk kembali ke rumah, tapi keteguhanku selalu meyakinkan ibuku jika aku disini baik-baik saja, yaah begitulah alasan yang aku lontarkan setiap kali ibuku mengharapkanku pulang.
“Akang”, suara menyejukkan hati memecahkan lamunanku ketika ku melamunkan ibuku.
“Oh, loh. Neng Ratih”, jawabku agak sedikit gugup karena konsentrasiku belum sepenuhnya berkumpul menjadi satu.
“Kang Fais mikirin apa lo?, dari tadi Ratih lihat kok murung terus?,”, tanya Ratih polos, wajahnya begitu anggun dengan balutan jilbab biru muda yang selaras dengan gamis yang ia kenakan.
“Hehe, enggak kok neng”,
“Oh, akang setelah lulus ini mau melanjutkan kemana?”, jeddar!! Pertanyaan Ratih seperti menghujamku, sebuah pertanyaan yang harus ku peras otakku untuk menemukan jawabannya, karena selama ini aku belum memikirkan apapun tentang apa yang aku tempuh setelah lulus SMA ini yang tinggal beberapa gelintir bulan saja, karena beberapa alasan yang membuatku tak ingin memikirkannya, yah! Beberapa alasan.
“Belum aku fikirkan neng,”, jawabku jujur, ntah kenapa jika aku di hadapkan dengan gadis asli kediri ini aku selalu terbuka dengannya, tak pernah aku tertutup padanya, hanya karena satu alasan aku merasa gadis inilah yang mampu mengerti aku, hingga aku nyaman tanpa alasan yang pasti.
“Loh, kok gitu ta kang?, memang akang kepengen kuliah di mana?”, jawaban yang ingin rasanya ku lewati saja jika itu adalah sebuah pertanyaan essay di ujian harianku Sosiologi, tapi sayangnya kehidupanku tak semudah dengan imajinasi blo’onku.
“Aku gak pengent kuliah neng”, jujur! Tanpa meleset ke jurang kebohongan sedikitpun.
“Loh? Ada apa lo kang?, ga sayang toh?, sering juara pararel trus akang juga pernah ke luar kota ikut olimpiade, kok gak meneruskan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi, ah pasti bohong nih akang”,
“Hehehe, enggak neng, aku ingin kuliah, tapi rasanya aku tidak mungkin”,
“Apanya yang tidak mugkin?”, Ratih terus mengejarku dengan beribu pertanyaan.
“Aku tidak mau memakai uang bapak untuk membiayai kuliahku, itulah alasannya knapa aku belum memikirkan kuliahku, neng. Aku merasa aku baru bisa kuliah jika aku benar-benar mampu membiayai kehidupanku dan kuliahku dengan jerih payahku sendiri, aku tak perlu mewajibkan bapakku itu untuk membiayaiku, tak perlu!”, jawabku yang membuatku sakit sendiri sampai ke ulu hati.
“Jadi selama ini, akang belum menerima beliau sebagai bapak kamu?”,
“Jujur, belum bisa neng”,
“Oh, menyedihkan”, sepertinya Ratih mampu membaca kode perasaanku hingga ia mampu merasakan apa yang aku rasakan.
“Tapi aku selalu berusaha untuk kuliah semampuku, dengan peluhku sendiri”, jawabanku meyakinkan diri, semata-mata juga meyakinkan gadis yang ada di sebelahku bahwa aku mampu.
“Bagaimana bisa kang?”, pertanyaannya sama seperti pertanyaan fikiranku yang terlemparkan pada otakku.
“Waallahu’alam”,
“Oh ya akang. Aku punya kakak yang sekarang kuliah S1 nya di Kalimantan Timur, daerah Mahakam, mungkin akang bisa ikut dengannya, gak usah khawatir soal biaya deh! Akang kan pinter, aku yakiin 100 % kalau akang bisa mengajukan beasiswa disana, gak cuma beasiswa pendidikan, tapi beasiswa hidup juga banyak disana”, kata-kata Ratih bagaikan api unggun yang mengobarkan jilatannya saking semangatnya.
“Kagak enak neng, ikut orang, nambah repot orang”,
“Enggak, kang. Malah kakakku sering mengeluh karena ia selalu merasa kesepian tinggal di rumah yang selalu di tinggal sama orang tuanya ke luar kota. Kakakku pasti seneng sekali mendapat teman seperti akang”,
“Ah, neng berlebihan. Hehehe,”, Ratih sangat menyemangati aku untuk meneruskan kuliahku, dan selalu berantusias agar aku menerima tawarannya untuk tinggal bersama kakakknya, aku sampai tak enak hati dibuatnya, sampai-sampai setiap kali Ratih chatting face to face dengan kakaknya lewat ipadnya ia selalu menunjukkanku dengan dalih mengakrabkanku dengan kakaknya ...

3 bulan kemudian...
Ku jatuhkan tubuhku di atas kasur sederhana. Ku kendorkan otot-ototku yang terasa tegang setelah seminggu berkutat dengan masa OSPEK. Ya, sekarang aku berada di pulau terjauh dari rumahku, terjauh menurutku. Neng Ratihlah yang membawaku menjelajahi Pulau Kalimantan ini hanya mencari sebuah gelar S1 yang menurutku entahlah apakah terlalu berguna di dunia pekerjaan nanti yang tidak terlalu mendominasi keberhasilan mendapatkan pekerjaan setelah UANG. Saat ini uanglah yang dapat mensukseskan manusia di negeri ini, uanglah yang dapat mengangkat gelar, yah uanglah yang dapat membahagiakan semua orang yang mata duitan, sebuah kebahagiaan yang menurutku gombal, tetapi itulah negara ini, dan aku hidup di negara ini, negara yang menjunjung kemenangan bagi yang beruang, tak mungkin negara yang beradaptasi dengan fikiranku yang tak bermodal, bagaimanapun juga akulah kelak yang harus beradaptasi dengan aturan-aturan dunia kerja yang jauh dari simbol burung bertoleh kanan yang biasa di pajang di tembok tiap kelas SDku. Lantas apa modalku yang bisa mensukseskan aku? Rupanya aku terlalu pessimis jika aku hanya mengandalkan otak udangku yang tak bermodal, ahh udahlah aku terlalu capek memikirkan masa depanku yang bagaikan tubuh tanpa tulang belulang, yah! Setidaknya aku harus bersyukur aku bisa menjejakkan kuliahku di sebuah di universitas Kalimantan, walaupun ini masih bagian start. Ya kumulai perjalananku dari sini. Suara adzan magrib berkumandang, sekilas ku langsung bergegas mencari air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat magrib.
Assalamu’alaikum warohmatulloh,
Assalamu’alaikum warohmatulloh
Ku selesaikkan duduk attahiyat terakhirku dengan khusu’, ingin rasanya aku memeluk ibuku saat ini juga, ku tadahkan kedua tanganku dan mendoakan keselamatan kedua orang tuaku, almahum bapakku, ibuku yang jauh disana, serta adikku yang paling aku sayang, ya Allah lindungilah mereka..
Tak lupa aku bersyukur kepada Allah telah mengirimkanku keluarga Ratih di tengah-tengah kehidupanku, mereka bagaikan malaikatku, mereka yang membuatku hingga aku bisa meneruskan studiku disini. Sejenak kujatuhkan tubuhku di atas sajadah panjang hingga basah seluruh wajahku merasakan sesak kehidupan ini. Dan aku tertidur lelap ...

4 tahun kemudian ...
Suara aliran damai menemaniku di tanah lapang ini, eah tak ku fikirkan hidupku kan menjadi seperti ini, bertahun-tahun dalam pulau besar ini, tak ada keluarga, tak ada keramaian yang mendamaikanku, mungkin tanah ini sudah mempunyai kedamaian dengan cara mereka sendiri, dan tinggal aku saja yang berdiri bagai setonggak kayu dalam pasir yang gagal menegakkan tubuhnya karena angin terus bertiup menghujamnya hingga membengkokkan badannya ke arah timur. Mungkin kalau bukan karena Neng Ratih, seorang gadis yang sangat aku hormati menyuruhku untuk meneruskan pendidikanku setelah lulus SMA, aku tak akan terbang menuju Pulau Kalimantan untuk mendapatkan beasiswa di salah satu universitas di Mahakam dan menyambi untuk bekerja di sini. Tak ada fikiran sedikitpun aku bisa menjadi seorang mahasiswa.
Hahaha, rasanya ingin tersenyum lepas mengingat kejadian 4 tahun silam, dimulai dari ibukku yang menikahi seorang mandor proyek, kehidupanku bersama ayah tiri dan adik tiri, hidupku di panti asuhan, perkenalanku dengan neng Ratih, semuanya ku ingat utuh dalam memory kecil Tuhan di otakku, rupanya narasi kehidupan Tuhan sungguh amat tak terduga.
Bolak-balik kubaca e-mail dari paman Ratih pada laptop kecil di pangkuanku, e-mail yang bermaksud memintaku untuk menikahi si Ratih, aku tak percaya dengan ini semua, tapi aku percaya hadiah Tuhan benar-benar ada, aku sangat bersyukur atas semua ini, ini adalah start hidupku memulai perjalanan hidupku yang benar-benar aku lalui dengan tubuhku sendiri bersama orang yang sangat aku hormati, ya paman Ratih telah mengizinkan Ratih tinggal di pulau ini kelak menemaniku melanjutkan studi S2ku. Dan yaa, aku telah dipercaya menjadi dosen di tempatku kuliah, dan aku telah mendapatkan beasiswa serta sedikit rezeki dari hasilku menjadi tutor. Beribu-ribu ucapan syukur rupanya tidak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaan ini, narasi Tuhan benar-benar luar biasa, keajaiban Tuhan benar-benar ada.
Kini ku siap melangkahkan kakiku menuju bandara yang akan menerbangkanku ke pulau terpadat di Indonesia untuk menjemput impian, cintaku dan akan membawaku menuju arsy untuk menyempurnakan setengah agamaku.
Bismillahirrohmanirrohim kumulai hidup baruku mulai detik ini.

0 komentar: