Anak lelaki itu memasukkan mainan terakhirnya kedalam kardus. Ayahnya
tersenyum, dan mengangkat kardus mainan itu untuk dimasukkan kedalam mobil.
Anak itu hanya memperhatikan ayahnya sambil ikut tersenyum. Tak lama setelah
ayahnya turun, ia memandang keluar jendela, menikmati angin yang berhembus di
kota kecil itu, untuk yang terakhir kalinya.
Ibunya memanggil namanya dari lantai bawah. Samar, tapi terdengar. Anak
lelaki itu mengambil tas yang berada didekatnya, lalu berlari ke asal suara itu.
Ayah dan kakaknya sudah ada didalam mobil. Ibunya berada dibelakang anak lelaki
itu, mengunci pintu. Anak lelaki itu memandang ke depan. Ke arah rumah
diseberang yang kosong dan melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya.
Entah ke arah siapa.
Jimmy terbangun dari tidurnya. Beberapa
bulan terakhir, Jimmy sering bermimpi hal yang sama. Seorang anak laki-laki
yang—tampaknya—ingin pindah rumah. Entah siapa anak kecil itu, ia tidak pernah
memikirkan hal yang baginya tidak penting.
“Sarapan ada di meja makan. Ibu pergi
dulu ya, sayang.” Baru saja keluar kamar, Ibunya sudah mencium Jimmy.
Meninggalkan bekas lipstick dikulit coklat miliknya. Ia hanya tersenyum dan
masuk kekamar mandi. Mencoba mengabaikan dunia. Sama seperti yang biasanya dia
lakukan.
Jimmy hanya memakai kaos oblong
berwarna biru dengan celana juga jaket jeans. Dan pastinya, sepatu converse
putih kesayangannya. Ia membawa ransel berisi laptop, buku dan kertas-kertas
untuk keperluan kuliahnya.
Tidak seperti teman-temannya yang
lain, Jimmy lebih suka naik kendaraan umum dibandingkan mengendarai motor.
Menurutnya, itu membatu mengurangi polusi yang sudah banyak merugikan manusia.
Dan itu merupakan salah satu cara untuk bertemu seorang gadis SMA cantik yang
tinggal satu blok dengan rumahnya.
Gadis itu bisa dibilang pendek. Sama
tingginya dengan bahu Jimmy. Rambutnya yang panjang dan ikal selalu diikat. Kulitnya
putih bersih. Bola matanya berwarna hitam. Bahkan ketika disinari mentari.
Angkutan umum jarang melewati depan
sekolah gadis itu dan universitas Jimmy yang berdekatan. Membuat mereka
terkadang harus berjalan cukup jauh.
Pernah suatu hari ketika mereka turun
dari angkutan umum, hujan mendadak berjatuhan. Baru saja Jimmy berniat menawarkan
payungnya, sudah didahului teman dari gadis itu. “Selalu.” Keluh Jimmy. Sepertinya
dunia tak memudahkan mereka dekat atau bahkan hanya berkenalan.
“Ibu, besok aku bisa bertemu Erina lagi kan?” Suara anak lelaki itu
bergetar. Terlihat sekali ia ragu saat menanyakan itu.
“Dia jatuh cinta, Bu!” Jawab anak lelaki yang lain.
“Engga!”
“Kemungkinan kita gak akan kembali ke kota ini lag, sayang. Kali ini, ayah
bekerja tetap di kota tempat tinggal kita nanti. Gak pindah-pindah lagi.”
Ibunya menjawab dengan setenang mungkin. Seiring dengan semakin jauhnya mobil
yang mereka naiki, anak lelaki itu semakin menunduk menyesali segalanya.
“Jim!” Max mengguncang tubuh Jimmy.
Pelajaran sudah berakhir dan Jimmy tertidur sepanjang pelajaran. “Akhir-akhir
ini lo sering tidur deh. Ada apa sih?”
“Gak apa-apa. Kok lo ga bangunin dari
tadi sih?”
“Kasian gue sama lo. Capek banget
keliatannya. Yaudah, pulang yuk.”
Jimmy membereskan buku-bukunya.
Menjejalkan semuanya ke dalam tas coklatnya yang sudah minta diganti. Ia
mengencangkan tali sepatu, lalu mengikuti Max keluar.
“Jim, ada cewek incaran lo tuh.” Max
menyenggol Jimmy sambil mengedipkan matanya. “Gue ada janji sama pacar gue, gak
pulang bareng dulu ya. Kali ini, deketin yang bener!”
“Santai.” Jimmy melambaikan tangan
tanpa melihat kearah Max. Matanya tertuju pada Gadis itu. Ia sekarang
sendirian, berjalan di bawah langit yang tertutupi awan hitam. Jimmy menyukai
gadis itu bukan hanya karena dia cantik. Tapi juga karena senyumnya yang
seperti matahari. Cerah. Bahkan ketika tertutup awan hitam.
Jimmy mempercepat langkahnya, lalu
menyeberangi jalan. Ia berada beberapa meter didepan gadis itu sekarang.
Jalanan tidak terlalu ramai, tidak juga sepi. Hanya ada beberapa anak sekolah
yang menuruti kata ibunya untuk langsung pulang kerumah dan tidak pergi
kemana-mana setelah sekolah berakhir. Termasuk gadis itu.
Jimmy menghentikan langkahnya. Lalu
membalikkan tubuhnya yang tinggi dan sedikit kurus. Jimmy hanya bisa terpaku.
Melihat gadis itu juga menghentikan langkahnya, dan balik menatap dirinya.
Jimmy bertanya-tanya, apa dia
menyadari kalau ia selalu memperhatikan gadis itu? Entah, Jimmy tak akan tahu
jawabannya kalau saat ini ia lari. Ia mendekati gadis itu. Sebelum Jimmy
mencoba tersenyum, gadis itu sudah memberikan senyumannya yang selama ini
membuat Jimmy menyukainya. Dengan senang hati, ia membalas senyuman itu. Senyum
yang selalu mengundang senyum Jimmy. Senyum yang tak pernah diberikan untuknya,
kini didapatinya.
“Nama kamu siapa?” Jimmy menyodorkan
tangannya.
“Aliana. Kamu?” Aliana menyambut
tangan Jimmy. Tangannya hangat.
Sepertinya dulu aku pernah menggenggam tangan ini. Dulu. Waktu yang sangat
lama.
Jimmy menggelengkan kepala. Terlalu
sering ia larut dalam pikirannya sendiri. “Jimmy.” Ia melepaskan genggaman
Aliana. Aliana mengerutkan keningnya. Seperti sedang memikirkan nama di masa
lalu.
Rintik hujan mulai turun membasahi
jalanan. Dengan cepat, Jimmy mengeluarkan payung, dan memayungi dirinya, juga
Aliana. “Pulang bareng? Kita satu blok.”
Gadis itu—Aliana—hanya mengangguk.
Pada akhirnya Jimmy bisa berkenalan
dengannya. Berkenalan juga cukup. Jimmy
bersyukur, walaupun hanya tahu namanya.
Ibunya memanggil namanya dari lantai bawah. Samar, tapi terdengar. “Jimmy!”
Anak lelaki itu mengambil tas yang berada didekatnya, lalu berlari ke asal
suara itu. Ayah dan kakaknya sudah ada didalam mobil. Ibunya berada dibelakang
anak lelaki itu, mengunci pintu. Anak lelaki itu memandang ke depan. Ke arah
rumah diseberang yang kosong dan melambaikan tangan untuk yang terakhir
kalinya. Entah ke arah siapa.
Jimmy melihat jam tangan yang
sedaritadi masih dipakainya. Pukul
delapan malam. Ia menyambar jaket didekatnya, lalu berjalan keluar kamar.
Ibunya tidur di atas sofa. Baru
pulang dan kelelahan. Akhir-akhir ini ibunya sering bolak-balik rumah sakit
untuk menjaga Rick, kakak Jimmy. Jimmy mengambil selimut dikamarnya, lalu
menyelimuti ibunya.
Ia memakai sepatu, dan berjalan
keluar. Menghirup udara malam selalu membuatnya rileks setelah mengerjakan
tugas yang menumpuk. Dan aku bisa rileks
setelah mendapat mimpi aneh itu.
Rumahnya hanya beberapa langkah dari
taman. Ia duduk di ayunan, memandangi langit yang cerah. Berbeda dengan sore
tadi.
“Jimmy!” Terlihat sesosok perempuan
berlari sambil melambaikan tangan kearah Jimmy. Ia memakai dress selutut dengan
rambut dicepol. Cantik. Bahkan lebih
cantik dari biasanya. “Kamu ngapain sendirian disini?”
“Aku sering duduk disini. Biar
pikiran segar, gak penat. Kamu abis darimana?”
“Pesta ulang tahun temen. Dia tujuh
belas tahun hari ini.” Aliana duduk di ayunan yang lainnya, sambil sesekali
melihat kearah langit. “Langitnya bagus ya. Membawa beberapa kenangan.”
Tatapan Jimmy sendu. Ia tahu,
kemungkinan besar Aliana sudah mempunyai pacar. Atau kalau tidak, kemungkinan
dia masih mencintai mantannya. Jimmy mencoba tidak berharap banyak. Tapi ia
sendiri tahu, ia mengharapkan banyak hal. Harapan hanya sekedar harapan, tak
akan lebih. Ia tahu. Dari dulu, dia memang tahu.
“Sebaiknya kita pulang. Tidak baik
terlalu sering menghirup udara malam.” Aliana mengulurkan tangannya. Jimmy
menyambut tangan itu. Hangat. Bahkan di
udara yang sedingin ini, tangan itu tetap hangat.
“Aku Erina. Kamu siapa? Baru pindah kesini ya?” Anak perempuan berkulit
putih itu tersenyum.
“Aku Jimmy. Iya, ayahku bekerja disini, jadi kami ikut pindah.”
“Malam ini ibuku pergi. Mau temani aku bermain di taman? Kita bisa
melihat bintang, sambil sedikit mengobrol.”
Anak laki-laki itu hanya mengangguk. Mereka bergandengan tangan sepanjang perjalanan ke taman, sambil bersenandung dan memandangi langit.
0 komentar:
Posting Komentar