Aku duduk termangu di atas kursi roda lengkap dengan baju pasien yang
aku kenakan. Ku tatap anak-anak seusiaku yang sedang asik bermain bola
basket. Mereka tertawa gembira. Ingin rasanya aku bergabung dengan
mereka. Aku ingin berlari dan bermain dengan bebas.
Fikiranku pun melayang ke waktu aku dan sahabatku bermain basket
bersama. Kita tertawa, berlari dan bergembira bersama. Aku terihat dan
merasa kuat saat itu. Bagiku saat itu adalah saat-saat paling
menyenangkan dalam hidupku.
Dulu hampir setiap hari aku bermain basket. Basket adalah semangat
dan soulmate bagiku. Basket adalah sahabat terbaikku. Saat aku ada
masalah, basket adalah tempatku menumpahkan keluh kesah, tempatku
mencari kedamaian dan solusi selain aku meminta pada Allah Swt melalui
shalat dan doa.
Aku bahagia bisa menikmati hari-hariku dulu dengan gembira. Jadi
gadis yang terihat sempurna, kuat dan penuh talenta. Jadi anak yang
begitu orang tuaku banggakan. jadi adik yang selalu Kak Tyo banggakan
dan sayangi. Ya, dulu hidupku bahagia. Tak pernah ada raut kesedihan di
wajahku.
Kanker, dialah penjahat yang telah mengambil kebahagianku Semenjak
dia ada di otakku, semua berubah. Aku bukan lagi gadis yang penuh dengan
kebahagiaan. Bukan lagi gadis yang telihat sempurna. Aku tak bisa lagi
jadi anak yang selalu dibanggakan. Semenjak kanker ini ada, aku jadi
sering keluar masuk rumah sakit. Aku pun sering tak masuk sekolah.
Dengan kondisi tubuhku yang lemah, aku tetap berusaha ikut latihan
basket di sekolahku. Aku tak ingin semua sahabat dan pelatihku curiga
dengan keadaanku. Mereka mengenal aku sebagai gadis yang rajin latihan,
bahkan aku tak pernah datang telat saat latihan.
Seperti biasa, latihan di mulai dengan berdoa bersama dan pemanasan.
Ku rasakan kepalaku amat berat saat memulai pemanasan. Namun, rasa itu
tak ku perdulikan. Aku mencoba bertahan. Setelah pemanasan seleai,
segara ku ambil bola di dekat ring basket. Aku agak menunduk dan kulihat
ada sesuatu yang berwarna merah yang menetesi bola itu. Aku kaget. Aku
mimisan. Segera aku berlari ke toilet sekolah. Ku basuh dan ku bersihkan
darah yang mengalir dari hidungku.
Di luar toilet terdengar suara Cahya.
“Lian, Lu kenapa? Buka donk pintunya.”
“Gua nggak napa-napa kok. Lu balik latihan aja lagi. Ntar gua nyusul.”
“Lu nangis iya? Suara Lu aneh Lu beneran nggak papa kan?”
“Iya gua nggak napa-napa.”
Setelah ku rasa darah mimisanku tak mengalir lagi dan darah di
hidungku bersih, aku membuka pintu toilet dan bersiap kembali ke
lapangan. Namun, aku kaget Cahya ada di depan pintu toilet.
“Lian lu kenapa? Hidung lu kok berdarah?”, kata Cahya sambil menatapku tajam karena di wajahku terdapat sisa darah mimisanku.
Cahya memelukku dan berusaha membersihkan darah mimisanku yang terus
mengalir dengan kaosnya. Aku hanya bisa menangis di pelukan sahabatku
itu.
“Lian, gua telpon Kak Tyo ya. Biar Lu dijemput dia. Lu pulang aja, nggak
usah nerusin latihan. Gua khawatir, mimisan Lu nggak brenti-brenti.”
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Cahya membantu membawakan
tasku dan membopongku ke gerbang sekolah. Belum lama aku sampai di
gerbang sekolah, Kak Tyo pun datang. Dia begitu kaget dan cemas melihat
kaosku berlumuran darah. Dia langsung mengantarkanku ke rumah sakit.
Aku tersadar dari lamunan dan fikiran masa laluku. Kini beginilah
aku. Aku tak bisa apa-apa. Kenapa aku bisa begini. Apakah selamanya aku
harus begini. Hanya tanya yang terjawab. Tapi hanya satu yang pasti aku
kini telah berubah dan ingin sekali seperti yang dulu.
0 komentar:
Posting Komentar