Dea terlelap dalam tidurnya. Hingga ia tak sadar ketika matahari
sudah hampir berada di titik teratasnya. Semalaman ia tak tidur, baru
setelah adzan subuh Dea bisa terlelap.
Dea membuka jendela kamarnya, disambut nyayiannya merdu
burung-burung. Dea menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Hatinya galau pikirannya tak karuan. Bahkan kakinya terasa lemas. Kini
Dea dihadapkan oleh dua pilihan, kebahagiaan adiknya atau cintanya.
Beberapa hari yang lalu, Ade – adiknya tiba-tiba pingsan di kamar
mandi. Dea segera membawa adiknya ke rumah sakit dan dokter mengatakan
bahwa ade terkena kanker otak akut dan kemarin Dea baru saja mengetahui
bahwa adiknya mencintai Damar, Damar yang tak lain adalah kekasih Dea.
Dea benar-benar tak mengerti apa yang terjadi kini ketegarannya
diuji. Awalnya Dea berfikir, tentu saja aku akan memilih adikku. Tapi
semalam Damar tak setuju dengan keputusan Dea. Dea juga tak yakin dengan
pilihannya.
Hidup adalah pilihan dan Dea sadar akan hal itu tapi seberat inikah pilihan hidupnya?
“Aku tak sanggup!” teriaknya dalam hati.
“Apa kata orang-orang jika aku mengorbankan adikku demi kebahagiaanku? aku akan merasa sangat bersalah!” gumannya.
“Yang terbaik untukmu hanya kamu yang tahu Dea” kata Anita tiba-tiba yang muncul dari balik pintu.
“Tak ada yang bisa membantumu kecuali dirimu sendiri, bisik Anita lembut di telinga Dea. Anita memeluk Dea.
“Kau tau? selama ini kau sudah berkorban banyak untuk Ade. Kami berikan
apapun yang Ade inginkan, tapi aku mohon tidak untuk hatimu.” ujar Anita
sembari memeluk Dea.
“Aku binggung!” desah Dea dalam tangisnya.
“Bukankah sebentar lagi Damar akan melamarmu?”
“Iya, salahku tak mengenalkan Damar sejak dulu dengan keluargaku.”
“Bicarakan ini dengan Damar”.
Sore kelabu…
Damar memandang mata Dea tajam, Sedangkan Dea hanya bisa mengalihkan
pandangannya, menembus dinding hingga akhirnya memegang jauh ke angkasa.
“aku ingin melihat adikku bahagia sekaligus?”
“Dia?”
“Iya. Kebahagiaanmu dan tentu kebahagiaanku”
“Kamu mencintaiku?”
“Sangat!”
“Aku pun juga namun, aku ingin kalau kamu menikah dengan adikku.”
“Tapi…”
“Hanya itu! Tolong, demi aku!”
“Oke! Aku turuti maumu Dea!”
Damar pergi, Dea menangis, tangisannya menjadi-jadi saat ia sampai di
rumah. Kakinya terasa lemas, syarafnya tak seimbang Dea merasakan dunia
berputar begitu cepatnya, ia terjatuh ke lantai.
Saat tersadar, Dea merasakan seluruh anggota tubuhnya tak berdaya. Nita berada di sampingnya.
“Nit? Panggil Dea lirih.”
“Iya De, Ada apa?”
“Antar aku ke rumah sakit sekarang.”
“Benarkah Kak?” tanya Ade lemah
“Iya sayang, lusa kalian akan menikah.”
Akhirnya tiba pada acara pernikahan Ade dan Damar, mata Damar sayu,
penuh keraguan. Bahkan bibirnya tak sedikitpun menunggingkan senyum. Ada
keraguan yang menyesakkan hatinya.
Acara akan segera dimulai, Damar semakin tak tenang hatinya kacau. Ia
akan menikah dengan orang yang tak pernah ia cintai. Semua kepalsuan,
semua sandiwara ini hanya Damar lakukan untuk Dea. Wanita yang teramat
sangat ia cintai. Dea terpaku di antara senyum-senyum hangat itu. Dea
mencoba menegakkan kakinya, menambahkan hatinya, menguatkan
kerapuhannya, dan menahan air matanya.
Tiba-tiba…
Ade menjerit. Dea kesakitan kepalanya tak mampu menahan beban itu Ade
gelimpangan. Semua panik. Orang tua Ade menangis. Dea terisak-isak.
Tangisnya pecah. Ketegaran yang ia bangun selama ini runtuh.
Di sudut ruangan. Anita menceritakan semuanya kepada orang tua Ade
dan Ade. Mereka semakin haru inikah derita anaknya selama ini? setidak
perhatian inikah mereka?.
Hujan turun bersama iar mata. Petir menyambar bersama nafas Ade yang
terakhir kalinya. Dea pingsan saat tersadar. Dea sudah terbaring di
kamar rumah sakit. Dan kejutanpun terjadi. Orang tua Dea akan menikahkan
Dea dengan Damar. Dea dan Damar merasa lega, cinta mereka dipersatukan
dengan cara serumit ini. Tangis kebahagiaan menyertai mereka.
0 komentar:
Posting Komentar