Setiap orang menyebutku bodoh ketika mereka melihat bagaimana ku
bertahan dengan kisah yang tiada jelasnya. 3 tahun bukanlah penantian
yang berarti untuk usiaku yang belia ini, 17 tahun. Tarik ulur hati oleh
sebuah pesan singkat di handphone yang kadang muncul kadang tidak,
hanya seperti permainan belaka. Dramatikal kisahku yang terasa semakin
memburuk dengan kabar yang mengatakan dia telah menyukai wanita lain
baru-baru ini. Status sosial media yang selama ini menjadi sumber berita
tentangnya, penuh dengan kalimat romantis olehnya. Bukan untukku, meski
kuharap begitu, namun untuk wanita lain. Terasa bodoh ketika harus
menangis melihat tulisan yang tiada bisa menyakiti itu. Lebih dari silet
yang menyayat ternyata, meski hanya untaian kata.
Setiap hari, foto-foto mereka muncul di beranda ku. Seakan ingin
berbicara, “ini dia yang kusayang bukan kamu..”. hanya tetesan air mata
kepedihan yang menemaniku. Berlebihan memang, tapi aku hanya “korban
cinta pertama.” Hai kamu tersangka, kembalikan hatiku! Berapa lama lagi
kamu bermain dengan kerapuhannya. Hanya pekikan lirih dari perihnya
keadaan yang menyelimuti. Penjarakan setiap gerak raga ini.
Di saat ku berusaha lepaskan borgol ini, aku hampir saja menyentuh
pintu keluar menuju cerita baru, tapi aku ditarik lagi oleh sebuah pesan
singkat yang sangat berarti untukku, “hy”. Namamu terdaftar di inbox-ku
saat kau mengirimkan pesan itu kepadaku. Ada getar yang menggerakan
organ dalamku, tepatnya hatiku. Dengan semangat dan tak ingin membuat
kau menunggu, aku membalas, “hy juga.. apa kabar?” saat ku hendak
mengirimnya, sesaat aku terhenyak oleh foto-foto di facebookmu yang
sedang ku buka, kau sedang bersama wanita itu. Aku mencoba mengurung
niatku, tapi aku gagal oleh hasrat yang ingin kembali membaca pesan
balasanmu. Aku mengirimkan pesan itu. Aku terasa begitu bersemangat saat
itu. Saat hpku bergetar, aku melihat segera mungkin. Ternyata pesan
dari operator. Oke, aku tetap menunggu. Hingga tak sadar dalam penantian
itu, aku tertidur. Tak terasa malam membangunkanku, aku kembali melihat
handphone, namun inboxku tiada bertambah lagi. Dada begitu menyesak.
Menangis pun tak ada air mata yang keluar.
Buku diary yang seolah menjadi saksi bisu setiap luka ini kembali aku
adui. Ku ceritakan setiap senyum yang sempat terlukis ketika membaca
pesannya dan juga perih yang tak terkatakan. Sampai kapan Tita kamu
seperti ini. Aku terus berpikir tentang keadaanku sebelum mengenal dia,
Rio. Orang yang membuatku tidak mengenal diriku yang dulu. Aku baik-baik
saja. Bahkan sangat baik. Namun, entah apa yang ada dalam cinta pertama
yang terus membelenggu pikiran dan hatiku yang seolah menjadi buta
permanen selama 3 tahun. Cinta pertama yang dulu selalu aku dambakan.
Aku bilang hidupku menjadi berwarna, aku bilang aku terlihat istimewa,
namun aku lupa, bahwa itu hanya perasaanku saja. Cinta yang kuanggap
indah, berwarna, semua hanya semu. Rio itu tidak pernah menanggapi rasa
ku. Dia hanya mencoba bersikap wajar meresponiku. Namun, aku selalu
berpikir positif dan menganggap dia menyukaiku. Kini aku tersadar.
Perasaanku terlalu ikut campur hingga mematikan logikaku. Kini, korban
cinta pertama seolah sebutan yang cukup dan tepat bagi hati yang masih
berharap meski terus tak tertanggap. Perjalanan masih panjang untukku
tetap bertahan. 3 tahun cukup untuk semua kebodohanku. Aku harus
melepaskan predikat ini. Bebas dari cinta pertama yang hanya sebelah
tangan.
0 komentar:
Posting Komentar