Aku disini bersamanya. Amanda. Kami
sedang makan malam disebuah café kecil setelah lelah berkeliling Jakarta.
Seperti biasa, Amanda makan banyak. Beberapa perempuan mengeluh tentang naiknya
berat badan mereka, dan ketakutan mereka terhadap makanan berlemak. Amanda
berbeda. Badannya tetap kurus, tidak peduli ia makan seberapa banyak. Tapi
bukan itu yang kusuka darinya. Aku tak peduli jika suatu hari nanti, berat badan
Amanda berubah menjadi 100 kg. Aku tetap cinta. Aku bisa menjamin itu. Karena
bukan fisik yang membuatku cinta padanya. Ia baik. Bahkan mungkin bidadari bisa
iri dengan kejernihan hatinya.
Sebenarnya,
hari ini adalah hari dimana kita pertama kali berkenalan, 2 tahun yang lalu.
Dan sejujurnya, aku ingin merayakan lebih dari ini dengannya. Walaupun aku
tahu, dia sama sekali tidak ingat hari pertama kita berkenalan.
Kami berkenalan beberapa
bulan setelah Amanda berpacaran dengan Vicky. Vicky sahabatku. Sahabat
terbaikku. Yang sekarang sudah menjadi mantan Amanda. Entah apa yang kulakukan
selama beberapa bulan ini. Mengkhianati Vicky? Mungkin. Tapi aku baru mendekati
Amanda setelah dijodohkan orangtuaku dan orangtuanya. Beberapa bulan setelah
Amanda dan Vicky putus. Jujur, aku bahagia. Aku amat sangat bahagia.
Amanda meminta
merahasiakan ini dari Vicky. Aku suka melihat Amanda senang. Aku suka melihat
Amanda tersenyum. Walaupun Ketika mendengar permintaan Amanda, rasanya
mengecewakan, tapi paling tidak Amanda akan tersenyum jika aku mengabulkannya.
Dan benar saja, ia tersenyum setulus yang ia bisa. Walaupun aku tahu, senyum
tulus Amanda tidak diperuntukkan untukku. Tapi untuknya—Vicky.
Aku meremas tas
kecilku. Disana, ada kotak cincin yang siap kuberikan kepada Amanda. Aku akan
melamarnya malam ini. Ya, seharusnya aku melamarnya malam ini. Sebelum akhirnya
aku kembali memikirkan semuanya. Aku memikirkan Vicky. Bagaimana bisa aku
mengkhianati sahabatku? Aku bahkan tak pernah bilang cinta Amanda didepannya.
Seharusnya aku sadar, mereka tidak pernah tidak cinta. Bahkan sampai sekarang.
Piring Amanda
hanya tersisa beberapa sendok nasi goreng. Ia menyuap sambil sesekali melihat
ke arahku. Aku tak mengerti dengan skenario Tuhan. Untuk apa kita mengenal,
bahkan mencintai orang yang kita tahu kalau orang itu tidak akan pernah bisa
balik mencintai kita? Untuk pelajaran hidup? Mungkin.
“Tadi kamu
bilang mau ngomong. Mau ngomong apa sih?
Lamunanku buyar.
Aku sudah membulatkan tekadku. Apapun yang terjadi, aku harus berusaha. “Aku
mau bilang ke kamu. Sebaiknya, hubungan kita sampai sini aja. Aku yang akan
kasih tau ke orangtua kita masing-masing. Mereka pasti ngerti. Kamu mau ini
juga kan? Aku tau kamu masih cinta sama Vicky. Dia juga sama kok.”
Amanda menaruh
sendoknya, yang sudah dipenuhi oleh nasi goreng suapan terakhir. Perlahan
senyumnya mulai mengembang, “Vicky bilang apa?”
“Dia cinta kamu.”
“Kamu serius?”
Amanda tersenyum manis. Kali ini, senyumnya benar-benar tulus. Sama seperti
senyum yang selalu dilihatku, ketika kami sedang bersama Vicky. “Jujur, aku
masih cinta Vicky. Memang sebaiknya kita berhenti berdrama didepannya.
Lagipula, kita tidak pernah saling cinta kan?”
Kalimat terakhir
dari Amanda memang menyakitkan. Akhirnya terungkap, bahwa Amanda memang tidak
pernah mencintaiku. Tidak akan pernah. “Ya,” aku membuka tas ketika Amanda
memakan suapan terakhirnya, lalu mengambil kunci mobilku. Merasakan padatnya kotak
cincin yang tadinya ingin kuberikan padanya. “pulang yuk. Udah malem, nanti mama
kamu khawatir.”
Amanda hanya
mengangguk, lalu kami berjalan beriringan. Aku seharusnya berusaha untuk tidak
mengkhianati sahabatku. Aku memang seharusnya berusaha sedari dulu. Berusaha untuk
memadamkan cintaku padanya.
0 komentar:
Posting Komentar