Takdir, aku percaya itu sepenuhnya.Pertemuan dan perpisahan, adalah
bagian dari takdir. Tak ubahnya kebahagiaan yang menghampirimu saat kau
bersama orang yang kau sayangi. Tapi saat takdir itu membuatku menangis,
jatuh, terpuruk, aku tak ingin mempercayainya, aku ingin percaya bahwa
itu hanyalah suatu kebetulan. Tapi nyatanya, di dunia ini tidak ada
kebetulan, hanya ada takdir...
Sore ini, kuintip jendela kelasku, kulihat semburat warna langit yang
cerah berwarna orange. Indah, tapi tak begitu kusuka, menurutku warnanya
membuat hatiku sendu, sedih. Ku berjalan dari ruang kelasku, melewati
koridor menuju halaman depan.
Tak terlalu kuperhatikan jalan maupun orang-orang di sekitarku yang
berhamburan ingin segera pulang ke rumah masing-masing, setelah kegiatan
ekstrakurikuler yang melelahkan, maupun karena jam tambahan.
Tiba-tiba, aku merasakan diriku menabrak sesuatu, bukan tembok, karena
kurasakan ada sebuah tangan yang menahan pinggangku hingga aku tak
melesat ke tanah. Lalu tangan itu membantuku membenarkan posisiku hingga
aku berdiri dengan normal lagi.
“Rose?” sosok familiar di depanku memberiku ekspresi penuh tanya, suaranya begitu lembut dan perhatian
“Ah, Sam...” nadaku lemah, mungkin ekspresiku sangat buruk sekarang
“Kamu mau pulang?” seakan membaca pikiranku, ia tau bahwa aku tak ingin
membicarakan tentang hal yang akhir-akhir ini ditanyakan orang padaku,
tentang Nara.
“Iya, mungkin jalan kaki. Aku ngga bawa mobil hari ini.”
“Mau aku anter?”
“Tapi, aku lagi pengen jalan kaki.”
“Aku temani?”
“Mobilmu?”
“Aku telfon orang buat ngambil” ia menatapku lekat-lekat “ya?”
“Oke”
Lalu kami berjalan, diam, namun sama sekali bukan diam yang kikuk. Namun
diam yang seakan-akan memanggil kembali memori di masa kecil kami, saat
kami selalu pulang sekolah bersama, terkadang kami main hingga petang,
lalu ia dimarahi ibuku , tapi herannya ia selalu tertawa setelah
dimarahi, seakan tidak menyesal telah mengajakku bermain hingga petang.
Dan lebih herannya lagi, ibuku pun selalu mengijinkanku bermain
bersamanya.
Dulu kami selalu bersama, bermain, sekolah, belajar di rumah, hampir setiap waktu kami selalu bersama.
Masih tersimpan jelas di memoriku saat-saat ia selalu menjagaku, ia
melindungiku dari sekelompok anak nakal yang ingin merebut es krim-ku.
Dengan berani, ia menyuruh mereka untuk berhenti menggangguku, ia sangat
berani, walaupun tau ia kalah jumlah. Sebaliknya, aku sangat pengecut,
hanya bisa menangis dan mengintip dari balik bahunya. Mereka memang
tidak jadi merebut es krim-ku, namun sebagai gantinya mereka mengajak
Sam berkelahi, keroyokkan. Mereka mendorong Sam hingga menabrakku dan
menjatuhkan es krim-ku, lalu aku menangis keras, hingga merebut
perhatian orang-orang, dan anak-anak itu pun kabur. Lalu Sam
menghampiriku dan berkata ‘Rose, maaf, es krim-mu jatuh. Aku beliin lagi
ya? Jangan nangis...’
Aku menghentikan langkahku saat kami tiba di sebuah taman yang dipenuhi
bunga matahari. Tempat ini belum berubah, tempat dimana dulu kami sering
bermain kemari saat masih duduk di bangku SD. Kupandangi hamparan bunga
matahari yang terlihat lebih indah saat terkena cahaya matahari yang
hampir terbenam.
“Rose?” Sam menghentikan langkahnya, lalu berjalan menghampiriku dan berhenti tepat di hadapanku.
“Kamu inget ngga, dulu kita sering main kesini?” aku tersenyum lemah, mengingat masa kecil kami. Ia mengangguk.
“Kamu ngga apa-apa kan?” raut wajahnya sama seperti biasa, raut wajah yang selalu mengkhawatirkanku “Rose?”
“Nara-“ kurasakan kedua mataku panas, pandanganku kabur, dan baru sadar
bahwa aku sedang menangis saat kurasakan air mataku jatuh, membasahi
pipiku. “Aku putus sama dia...”
Ia menyodorkan sapu tangan padaku, lalu diusapnya pipiku menggunakan sapu tangannya. “Aku tau...” jawabnya.
“Aku tau, papanya ngga pernah setuju sama hubungan kami. Tapi, dia ngga
pernah sekalipun nyoba buat ngeyakinin papanya, ngga pernah sekalipun
ngijinin aku buat ngambil hati papanya biar dia bisa nyetujuin hubungan
kami.” Air mataku mengalir deras tak terkendali “Akhirnya... Akhirnya
dia lebih miilih buat ninggalin aku. Padahal, kami sama sekali belum
pernah nyoba buat ngeyakinin papanya, belum pernah sekalipun...” setelah
ia membiarkanku menangis untuk beberapa saat, akhirnya ia mulai
bicara...
“Rose... Aku senang kamu putus sama Nara.” Mataku terbelalak, nafasku
tertahan untuk sesaat, kupandangi ia dengan tatapan tak percaya.
“Sam??” kusipitkan mataku, menuntut jawaban.
“Aku senang kamu putus ama dia. Tapi, aku ngga bisa liat kamu sedih,
nangis.” Aku bingung, apa yang sedang ia bicarakan?’“Apa kamu inget?
Dulu, waktu kita kecil, kamu sering banget nangis. Tapi kamu langsung
diem kalo aku kasih es krim.” Ia tertawa kecil, lalu tersenyum dan
memandangku lembut.
“Iya...” aku pun tersenyum, mengingat kembali memori tersebut dan
mengabaikan kebingunganku “Aku juga inget, dulu aku pernah jatuh pas
kita main kejar-kejaran. Lututku berdarah, trus nangis.” lalu Sam di
masa kecil menghampiriku dengan ekspresi penuh kekhawatiran ‘Rose? Sakit
ya? Jangan nangis...’ aku yang cengeng, bukannya diam malah menangis
semakin keras. Lalu ia menawarkanku untuk naik ke punggungnya ‘Ayo, aku
gendong kamu pulang.’ Dan ia benar-benar menggendongku ke rumah, namun
berhenti di jalan untuk membelikanku es krim, dan aku menikmati es
krimku sembari digendong olehnya, melupakan rasa sakit di lututku.
“Tapi kamu udah jarang nangis sejak masuk SMA. Sejak kamu kenal Nara,
sejak kamu mulai jauh dari aku, sejak kita ngga pernah main berdua
lagi.”
“Sam...”
“Aku ngga tau, aku harus seneng ngeliat kamu bahagia, atau harus sedih
kita ngga bisa main bareng kaya dulu lagi.” Ia tersenyum sedih “yang aku
tau, aku ngga suka liat kamu nangis. Aku rela ngapain aja, mbeliin kamu
es krim sebanyak mungkin, atau apapun, asalkan kamu ngga nangis.”
“Kenapa?”
“Karena, kalo kamu sedih, aku juga sedih.” Ia menempelkan telapak tangan
kanannya pada dada kirinya “Di sini, jadi sakit.” Lalu diraihnya kedua
tanganku, dan ditatapnya mataku lekat-lekat “Aku ngga mau kamu sedih,
Rosalie...” Ia tetap sama dengan Samuel yang dulu, Samuel yang aku kenal
sejak kami berumur 6 tahun, Samuel yang selalu mengkhawatirkanku,
menjagaku, dan mengatakan ‘jangan nangis, Rose...’ atau ‘aku beliin es
krim, ya?’ untuk membuatku berhenti menangis. Lalu aku sadar, kalau
selama ini aku melakukan kesalahan, kesalahan yang tak termaafkan.
Karena aku telah mengabaikannya selama dua setengah tahun terakhir,
walaupun aku tak berniat demikian. Aku hanya terlalu sibuk dengan cinta
pertamaku, Nara. Dan lambat laun aku semakin jauh dari Sam, frekuensi
pertemuan kami berkurang, dan akhirnya benar-benar tak saling bicara.
Benar-benar mengabaikannya, seseorang yang selalu ada di sampingku, yang
selalu mengkhawatirkanku, yang selalu menjagaku, seseorang yang
ternyata sangat kubutuhkan. Seseorang yang ternyata punya tempat di
hatiku, bahkan menempati posisi yang lebih penting dari Nara, pacar
pertamaku.
“Bego...” tangisku semakin keras
“Eh???” kali ini dia benar-benar kebingungan. Kulepaskan kedua tanganku
yang ia genggam untuk menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya
“Kamu bego, Sam!!!”
“Hah?” kedua alisnya tertaut
“Kenapa ngga bilang kalo kamu suka sama aku???” kutoyor kepalanya dengan tangan kananku, lalu aku tertawa, sambil menangis.
“Aku...” ia mengusap dahinya, kedua matanya memandangi tanah di bawah kami. Pipinya memerah.
“Hahahahaaa”
“Apa?” ia memandangiku lagi, pipinya masih merah.
“Ekspresimu sekarang persis cewek-cewek pemalu yang ada di komik waktu
ketemu cowok yang disukai.” Kuseka air mataku, entah air mata kesedihan
yang tadi, atau air mata akibat aku menertawainya.
“Aku suka kamu” kali ini pipinya sudah tidak lagi memerah, ia
memandangku lekat-lekat lagi. Aku berhenti tertawa, lalu tersenyum,
kupandangi kedua matanya, lalu aku menghambur ke pelukkannya, dan
kembali menangis.
“Bego!!!”
“Lho?” meskipun bingung, namun ia balas memelukku, kemudian tersenyum,
dan aku tau aku tidak perlu menjawab pernyataan suka darinya, aku tau ia
akan selalu ada di sisiku (kali ini di pelukkanku), menjagaku seperti
biasa, melindungiku, menghiburku agar tidak menangis..... “Kamu mau es
krim?” kujawab pertanyaannya dengan senyuman, dan kugandeng tangannya,
lalu kami berjalan pulang
(kami mampir ke toko es krim di perjalanan pulang).
0 komentar:
Posting Komentar