Senin, 19 November 2012


SALAM SURGA UNTUKMU
Karya Agus Putra

18 tahun yang lalu aku terlahir dari rahim ibuku. 18 tahun yang lalu aku terlahir atas pengorbanan ibuku. Hidup dan matinya menjadi satu, saat itu baginya hidupku adalah cahaya lalu matinya bukan apa-apa. Tuhan sang kuasa menyelamatkanku serta ibu yang telah mengandungku dalam telur emas sebutan orang tua dulu, selama 9 bulan lamanya. Perjuangannya tak sia-sia aku terlahir seperti anak lainnya..atau mungkin. Setelah beberapa minggu kelahiranku, barulah sebuah tinta tercoret di surat kelahiranku. Disana bertuliskan “Glen”, mungkin nama yang terlalu modern untuk seorang desa sepertiku. tapi itulah nama. Nama adalah rejeki, begitu kata orang-orang, tetapi tidak bagiku. Bagiku nama adalah ibu, karena sebuah nama terlahir dari seorang ibu.

Boneka berkepala botak, bertubuh guling menjadi teman penjagaku di usia 2 tahun, disaat gigi dan kaki kecilku mulai menunjukkan ketangkasannya. Gigitan pada hidung boneka itu adalah hal yang selalu kulakukan setiap saat. sehingga terkadang membuat ibu gemas melihatnya, tidak ada boneka itu, berarti tidak ada mimpi yang indah. Walau wajahnya terlihat lelah berada untukku berhari-hari. Sama seperti wajah ibu, tetapi rasa bahagianya menutupi itu.

Ketika usiaku sudah 6 tahun, boneka itu masih saja menemaniku, ia sama seperti ibu. Sampai sekarangpun boneka itu tetap menjadi legenda di balik lemari tua ibuku, ia tertidur seakan aku sebagai tuannya tak ingin menyentuh dirinya, tapi sejujurnya boneka itu seperti ibu, tetapi ibu bukanlah seperti boneka itu, bagiku ibu adalah tuhan. Memberikanku kasih sayang sepenuh hatinya. Hari ini ibu tak ada dirumah, ia baru saja pergi ke supermarket. Melihat beberapa guji di atas lemari itu membuat fikiranku bercerita, guci itu seakan berkata padaku, ia mengatakan lahir, hidup dan mati. Bahkan berulang kali terlintas diotakku, karena merasa tak nyaman aku berhenti memperhatikan, dan membalikkan tubuhku menuju kedalam dapur rumah untuk membuat beberapa sarapan, tetapi kulihat lemari es sudah tak terisi apapun, jika menunggu ibu pasti akan lama, jadi kuputuskan saja untuk membeli mi instan di dekat rumah. Berjalan kaki merupakan hal yang tepat untuk dilakukan, mengingat tokonya yang tak begitu jauh dari rumahku. Seperti biasa aku berjalan dalam rumput mutiara hijau di luar jalan aspal yang terlihat kasar. Tiba-tiba saja terdengar suara rem yang menusuk kupingku, aku membalikkan badan, terlihat sebuah sepeda motor tanpa pengendara meluncur ke arahku. “brakkk” setelah suara itu aku tak ingat apapun lagi.

Aku mulai membuka mata secara perlahan, kulihat beberapa perban membalut tubuhku hingga ke kepala, disampingku, ibu tertidur, sembari menggenggam tisu pada tangan kirinya. Ia tampak menangis melihatku seperti ini, aku tak pernah melihat kesedihan seperti ini sebelumnya. Aku merasa menjadi sorang yang berdosa melihat tuhan dalam hidupku menangis meneteskan air mata sucinya untuk seorang sepertiku. Aku merasa kecewa pada diriku, dan menusuk jiwa hingga fikiranku ingin meninggalkan tubuh ini karena malu. Dalam hati aku berkata pada tuhan “sebuah nama adalah seorang ibu, jika ibu menangis maka nama itu adalah tempat air matanya, tuhan jika nama tak lagi hitam maka jangan biarkan ibu kehilangan air matanya lagi!”.

Dua bulan setelah kesembuhanku, aku mendatangi seorang psikeater, atau lebih tepat disebut orang bijaksana, halus dan tutur kata dan mengena dalam hati serta meresap keseluruh jiwa, kata-kata beliau sangat menginspirasi orang-orang, namanya paul, seorang umat katolik. “lalu apa masalah pada jiwamu Glen?” Tanya paul padaku
“hanya sesuatu yang tidak bisa membuatku lari dari hutang-hutang masa lalu”
“hutang masa lalu itu apa Glen?”
“seperti kelahiranku, dan ibu, aku sayang pada ibuku!”
“rasa sayang seorang anak kepada ibunya adalah normal, ia adalah ibu, karena ibu, benih yang suci tumbuh dan terus menjadi umatnya!”
“aku tidak ingin melihat ibu menangis, aku tak yakin sampai kapan aku akan seperti ini, tidak ada harapan untukku untuk membuat ibu tersenyum!”
“Glen, tidak ada yang harus kalu takuti, tentang kesedihan itu, karena selalu ada harapan!”
Itulah kata-kata terakhir dari paul, membuatku sedikit lega, bukan bermaksud mencampuri kebijaksanaanya, tetapi hanya ingin menambahkan saja, “selalu ada harapan jika kita terus berusaha”, terdengar tidak bagus, tapi maknanya takkan ada yang mengalahkannya.

Hari ini pagi terlihat manja dengan sinarnya, dedaunan mencercah sinar matahari yang kadang tertutup awan, dibalik ketenanagan itu ibu memegang pundakku, “apa yang sedang kau fikirkan!” Tanya ibu dengan halus, “melihat cahaya!” jawabku
“kau lihat cahaya itu ya, seperti apa menurutmu?”
“seperti ibu, hingga sampai kapan ia menerangi?”
“selamanya”
Setelah mengatakan itu ibu pergi ke kamarnya, tetapi beberapa menit kemudian tiba-tiba saja ia menjerit dengan keras, dan berteriak memanggilku. Belum tiba langkahku di kamarnya, ibu sudah terlihat pinsan, terkapar lemas di lantai, dengan segera aku menelepon ambulan dan membawa ibu ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.

Aku menunggu dengan cemas, aku belum mengerti kenapa ibu tiba-tiba terjatuh seperti itu, akhirnya beberapa menit kemudian seorang dokter keluar dari ruang IRD, “ibu saya kenapa dokter?” tanyaku panik. “beliau mengalam masalah pada otak belakang, apa beliau pernah bercrita pada anda sebelumnya tentang ini? Beberapa bulan yang lalu ia datang kerumah sakit ini, ia bertanya padaku mengapa kepala belakangnya sering sakit, dengan berat aku katakan, ada sebuah tumor yang menghambat aliran darah pada otaknya, aku menganjurkan beliau untuk terapi, karena ketika tumor ini mulai menjadi ganas, ia akan mengganggu susunan syaraf otak!”

Pernyataan dokter itu membuatku tercengang, kenapa ibu tak pernah menceritakan hal itu padaku? Apa dia menjaga perasaanku! Pada saat bersamaan ayahpun datang, raut wajahnya terlihat sangat cemas.
“lalu bagimana keadaan ibu saya dokter?”
“aku menyesal mengatkan ini tetapi dulu aku pernah menangani pasien serupa, ia hanya bisa bertahan selama tiga hari, detak jantung dan tekanan darah semakin menurun, tidak ada harapan lagi!”
“apa??? Bajingan!!! Selalu ada harapan!!!!!!!!!!!!!!!!” teriakku kepada dokter tersebut, mendorongnya dan masuk ke dalam ruang IRD, mendorong semua perawat yang ada di sana, itu diluar kontrol emosiku.
“minggir!!!! Ibu kenapa kau tiba-tiba menusuk perasaanku seperti sekarang ini, aku tak ingin melihatmu mati, lihat kesurga bu, disana tidak ada apapun, tidak ada hal yang indah bu, jadi jangan kesana, ayo bangun kita pulang!!!! Ibu hari ini berkata padaku, kalau ibu seperti sinar matahari, yang akan menyinari SELAMANYA!!!!”

Air mataku menetes deras, aku mencoba menguatkan fikiran, jiwa serta harapan, tapi fikiranku telah terkalahkan oleh ketakutan, aku melihat, alat pengukur detak jantung terdengar makin melambat, para perawat berkerumun untuk menolong ibuku, aku merasa dihakimi tuhan yang tega melakukan ini. “tuhan jika mmang nama adalah ibu, dan ibu adalah kau tuhan.. maka jangn biarkan ada tanah kosong disurga untuknya! Dia belum pantas menghadapmu, atau aku yang tidak mau dia menghadapmu!!!” aku melihat mata ibu dengan matanya yang tertutup dan setengah nafasnya. “ibu ijinkan aku mencium keningmu, aku tidak kuat!!!” aku menciumi kening ibu, tetapi detak jantungnya terdengar semakin lambat. “maaf kami harus melakukan penanganan pada ibu anda!” kata seorang dokter. “jika ia menghadap tuhan aku akan bunuh kalian semua, dan sebegitu baiknya ibuku di dunia, ini tuhan berani mengambil nyawanya, sungguh tuhan keterlaluan, tuhan tidak adil!!!!!” aku pergi meninggalkan ruang IRD sementara ayah menahan jalanku, memegangi tanganku. “kau akan kemana? Sadarlah kita hanya bisa berharap pada tuhan, karena tidak ada harapan lagi!”
“dengarkan aku!!!!! aku tak percaya pada tuhan, ia lebih memilih mengambil seorang yang tak berdosa, apakah tuhan adalah nyata, apakah surga dan neraka itu ada??? Apa tuhan pernah berbicara pada kita, apa tuhan pernah menyapa kita? Dia tidak ada, seberapa lamapun ayah berdoa tidak akan ada apa-apa, tuhan tidak nyata, yang nyata hanya kematian dan rsa kehilngan!!!! Satu lagi, aku sudah katakan pada ayah, bahwa SELALU ADA HARAPAN!!!!!”

Bergegas aku memacu mobilku menuju rumah paul, aku sudah terlihat seperti orang kesetanan, dan semua mata yang melihatku adalah iblis. Setelah sampai di rumah paul, aku tak permisi lagi dan masuk ke ruagannya, “hei hei ada apa Glen?” katanya terkejut
“mana tuhan yang kau bicarakan itu Paul, aku dulu salah menyangka bahwa ibu adalah tuhan, tapi sekarang ketika ibu terbaring menunggu ajalnya apakah tuhan menolongnya? Apa arti simbolisasinya itu? Injil, tripitaka, al qur an, weda, …………tuhan itu tidak ada, itu knyataanya Paul!!!”
“kau imbaskan semua ketakutan akan kehilanganmu itu pada tuhan!! Ingat Glen tuhan mengwasimu selalu!”
“ohh yahh.. dan kenapa ialebih memilih mengambil ibuku, orang yang tak berdosa!”
“karena tuhan menyukai ibumu Glen, fikiran, jiwa dan hatinya telah suci!”
“aku lebih menyukai dan mencintai ibuku ketimbang tuhan Paul!”
“intinya karena ketakutan akan kehilanganmu itu memaksamu untuk melampiaskannya pada tuhan, tuhan bukan sebab semua ini terjadi, kau hanya takut pada fikiranmu! Itu iblis!!!!!”
“kau berlaku seperti pendeta, aku tak percaya tuhan, akupun tak percaya kau!” aku bergegas pergi namun langkahku tertahan oleh kata-kata terakhir Paul. “apa kau juga tak percaya pada harapan lagi Glen?”, aku hanya mendengarkan tapi tak kuhiraukan. aku memacu mobil hingga sampai rumah, aku ketakutan, otakku seakan ingin keluar, aku mengmbil sebuah kertas dan pulpen, lalu mencoba menuliskan sesuatu dengan tangan yang bergetar, aku sangat ketakutan, tanganku memaksa fikiranku untuk mengambil senapan milik ayah, sembari menahan nafas aku dekatkan ke pelipis, dan suara terakhir yang aku dengar setelah ketakutan adalah……. “DOORRR….”
1 jam kemudian… “Glen ditemukan tewas dengan luka tembak di pelipis kanan hingga tembus ke pelipis kiri, polisi menyimpulkan Glen tewas murni bunuh diri”
Paul : “Glen tidak bunuh diri, ia dibunuh oleh ketakutan!”
3 jam kemudian… “Nadia, ibu dari Glen selamat dari fase kritis dan telah mengalami scaning otak, bahwa tidak ada tumor lagi di dalam kepalanya.”
Paul : “Ia takut untuk kehilangan, dan akhirnya kehilangan diri sendiri”
14-02-2012
Untuk Nama
Aku takut melihat ibu tak kuliht lagi…. Aku takut kehilangan semua tentang dirinya… aku takut kehilangan kasih sayangnya… aku sayang ibuku, lebih dari apapun, lebih dari harapan yang aku hianati kepercayaannya. Aku lebih ingin hilang dari pada kehilangan. Aku tak ingin melihat kepulangan.
Salam Sorga Untukmu (IBU)
Dari Glen

* Setiap orang takut menghadapi kematian, tapi beberapa lebih takut kehilangan”

0 komentar: