Selasa, 20 November 2012

Lagu Lama, Penuh Rasa

Mendengarkan lagu-lagu lama adalah suatu pekerjaan yang aku sukai sebagai musisi. Senang rasanya bila dapat menemukan sebuah lagu yang "berharga" untuk diolah kembali dengan interpretasiku sendiri dan dengan rasa yang berbeda karena kuaransemen ulang.

Kemarin aku melakukan pertemuan singkat dengan beberapa orang penting untukku memasuki dunia industri musik nanti. Singkat cerita, mereka menginginkanku untuk mengambil sebuah lagu lama untuk kunyanyikan sebagaisingle-ku yang kedua nantinya. *Single pertama saja belum rilis sudah mikirin yang kedua! Ya! Itulah cara kerja industri.

YouTube kami buka bersama untuk mencari lagu-lagu Indonesia generasi ibuku sampai generasi 90-an. Tuhan! Banyak sekali lagu-lagu indah yang bisa kita temukan dari hasil karya musisi negeri kita ini! Nama-nama besar yang sering disebut ibuku seperti Endang S. Taurina, Emilia Contessa, Pance F. Pondaag, Charles Hutagalung, Heidy Diana, Tito Sumarsono dan lain-lain aku buka satu-satu karyanya. Secara kualitas audio, wajar saja kalau mereka kalah. Teknologi mengalami kemajuan. Tapi secara kualitas lagu... Aku tak yakin musisi jaman sekarang mampu membuat karya-karya seperti yang pernah mereka torehkan di dunia musik Indonesia.

Karya-karya lama mereka kunilai sebagai karya yang jujur. Terasa sekali sumber karya mereka adalah kalbu. Sulit untuk musisi sekarang tidak terkontaminasi dengan industrialisme yang sangat mengerikan. Padahal melodi indah yang dipadu dengan lirik yang bagus otomatis akan jadi karya yang menjual. Memang tidak semua lagu-lagu lama itu enak didengar, ada juga yang tak enak. Tapi secara fundamental, mungkin juga karena keterbatasan teknologi jaman itu, lagu-lagu lama memiliki magnet yang kuat karena unsur lirik dan melodi yang mudah diingat. Bahasa sekarangnya, easy listening.

Khusus untuk lirik, aku ingin membahas beberapa lagu. Salah satu lagu yang kami dengarkan kemarin adalah "Selamat Jalan Kekasih" milik mendiang Chrisye yang diciptakan oleh Yockie Suryoprayogo. Potongan liriknya berbunyi


"Resah rintik hujan
Yang tak henti menemani...
Sunyinya malam ini
Sejak dirimu jauh dari pelukan..."


Perhatikanlah, kondisi "galau" dalam lagu itu dikemas dengan sangat puitis dan tidak membuat telinga kita terkaget-kaget kan mendengarnya? Justru membuat kita semakin menghayati isi lagunya. Coba dengarkan, lagu itu bagus sekali!

Nah, kemarin juga aku belajar sejarah. Ternyata di tahun 80an, musik pop Indonesia terbagi dua kubu. Kubu pop kreatif dan pop cengeng. Chrisye, Ruth Sahanaya, Ebiet G. Ade dan tipe-tipe musik seperti 'itu' dianggap kreatif. Sementara lagu Obbie Messakh, Pance, Rinto Harahap dianggap cengeng karena isi liriknya negatif (sedih melulu) bahkan pernah dituding oleh pemerintahan masa itu sebagai golongan yang tidak mendukung pembangunan bangsa dan negara. Sebuah cercaan yang berlebihan menurutku.

Yuk, kita bandingkan lirik tadi dengan lagu galau dari kelompok pop cengeng. Aku coba ambil lagu Pance yah. Judulnya "Walau Hati Menangis" ups! Judulnya memang cengeng. Coba baca petikan lirik berikut dari awalan lagu tersebut :

"Mungkin lebih baik begini
Menyendiri di sudut kota ini
Kututup pintu hati 
Untuk semua cinta
Walau batin ini menangis..."


Entah pemikiran Anda sama atau tidak denganku, tapi aku menangkap kesan lebih lugas di lirik lagu ini, Si pencipta lebih jujur mengungkap perasaannya dalam kata-kata. Tapi aku tidak merasa lirik itu sebagai sesuatu yang norak. Jadi kurasa sebagai pendengar, kita juga harus bisa memilah-milah mana yang jujur dan mana yang vulgar! Sekarang ini kebanyakan lagu dibuat vulgar kata-katanya untuk memuaskan kebutuhan industri.

Hasilnya? Anak-anak kecil sudah bisa mengerti kata-kata kasar bahkan mereka gunakan sebagai bahasa sehari-hari. Sungguh tidak pantas, bukan? Artis-artis pendatang baru juga seolah tak mau ketinggalan membuat karya yang kata mereka "jualan". Aku cuma bisa mengurut dada melihat kondisi begini.

"Untuk menang di industri kita memang harus unik. Tetapi unik bukan berarti vulgar, kan?"

0 komentar: