Minggu, 16 Desember 2012

Kehidupanku, itulah kematianmu bagian 3

“Semakin besar masalah hidup yang kamu alami, semakin kuat kamu akan tumbuh, karena masalahlah yang membuktikan kehidupan kita itu ada…”

Memang mudah jika berkata seperti itu tanpa mengalami pengalaman menyebalkan seperti yang aku dan sebagian orang lain alami, aku tahu maksud dari kata-kata itu memang baik, tapi tetap saja aku menolaknya mentah-mentah, aku keluar dari ruang pengajaran seorang penceramah itu dengan perasaan kecewa, entah kenapa hanya kecewa.

Ini sudah seminggu penuh, seminggu aku terganggu dengan tingkah Rain, mahluk menyebalkan yang pernah mengajakku berkenalan, setelah peristiwa Rain menghampiriku dikelas, ia mulai memulai “terror perkenalannya” ia terus menerus mengirimiku email, menelponku, bahkan ini sudah hari ketiga, ia mengunjungi rumahku dan menjemputku berangkat ke sekolah, itu yang menyebabkanku harus berangkat lebih pagi kini, menghindari Rain tentunya.

“Eh, temen lo makin menjadi-jadi tuh sama gw!” Kataku membentak Timmi, ia selalu jadi sasaranku atas tingkah Rain, ya jelas karena ia adalah sahabatnya, yang aku rasa dapat sekedar memperingatkan Rain dan mengurangi sikap menyebalkannya itu.

Sama seperti sore-sore biasanya, aku memiliki kebiasaan untuk duduk dibawah pohon tidak jauh dari rumahku dan menulis beberapa catatan kecil, catatan-catatan inilah yang menjadi pelampiasan semua perasaanku selama bertahun-tahun.

“Hai…” Kata Rain, seorang tamu yang tidak terduga datang, aku bingungan, bagaimana ia tahu aku ada disini?
“Ngapain lo kesini?” Kataku dengan suara setengah membentak.
“Tadi gw kerumah lo, nyokap lo bilang lo biasa duduk disini, jadi gw dateng deh…” Katanya lagi dengan senyuman yang khas, senyuman yang sama ketika ia pertama kali mengganguku.
“Udahlah, jangan ganggu gw!”
“Gw ga akan ganggu kok, gw Cuma mau duduk aja, boleh kan?” Katanya sambil duduk disebelahku dengan jarak beberapa centimeter. Aku melanjutkan kegitan menulisku, sementara ia diam dan tertunduk, tanpa suara… tapi kehadirannya menemaniku, meskipun menyebalkan dan aku tidak terlalu mengenalnya, harus aku akui bahwa perjuangannya untuk mengenalku sangat gigih.
“Emm, gw boleh Tanya sesuatu ga?” Kataku padanya, agak ragu tapi sungguh penasaran.
“Boleh, mau Tanya apa?” Katanya sambil mengangkat wajahnya dan memandangku, pandangan yang dalam, entah kenapa, dari matanya aku dapat melihat ketulusan.
“Kata Timmi lo punya misi yang mau dilaksanain dan itu menyangkut gw?”
“Wah, si Timmi tukang gossip juga tuh, parah-parah…”
“Jadi apa misinya?” Kataku agak melembut, entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya, dan kehadirannya membuatku merasakan sesuatu yang berbeda.
“Jadi mau tahu apa misinya nih? Tapi ada syaratnya… hehehe..”
“Apa misinya? Apa syaratnya?”
“Syaratnya lo mau dulu jadi temen gw, ntar baru gw kasih tahu apa misinya…”
“Yaudah deh…” Kataku agak terpaksa, aku sungguh penasaran dengan Rain, mahluk menyebalkan yang dapat membuatku nyaman.
“Sebenernya gw punya 3 misi, yang dua ntar bakalan gw kasih tahu nanti, tapi misi yang pertama gw pengen buat lo senyum, itu aja…”
“Hahhh? Ga penting banget sih lo!!?” Kataku agak kesal, karena rasa penasaranku sama sekali tidak terpenuhi, setelah obrolan singkatku itu, aku memutuskan untuk pulang, Rain mengantarku, meskipun masih terasa sangat janggal, dan apa dua dari tiga misi lain yang ia punya? Sejujurnya misi pertamanya berhasil hari ini, ia berhasil membuatku tersenyum, tersenyum dalam hatiku, aku cukup senang mendapat teman baru yang aneh dan menyebalkan, setidaknya itu membuat masalahku berkurang sedikit, dan “terror perkenalan” pun berakhir, saat aku memutuskan untuk berteman dengan sang peneror itu sendiri.
--------------------------

------------------------------------------------------------------------------------------
“Ma, kapan aku bisa berhenti ke dokter dan jadi normal?” Kataku pada mama menjelang hari rutinku untuk hemodialisis.
“Mama juga ga tahu, tapi mama juga mau secepetnya.” Kata mamaku sambil tersenyum, sebuah senyuman yang terpaksa, senyuman untuk membuatku tidak bersedih, padahal aku tahu, dalam hatinya ia sungguh berduka atas semua yang terjadi padaku, tapi yang aku pelajari, jika kau menangis, tak ada yang akan berubah sama sekali, jadi apa untungnya menangisi hidup?
Ini sudah tahun kedua aku rutin datang kerumah sakit, semenjak kelas 9 dan di vonis sakit, aku harus menjalani semuanya… menjalaninya sampai sekarang, seorang pesakitan yang harus terus bertahan sampai akhir…
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jarum diangkat dari tanganku, setelah penukaran darah itu selesai, lemas rasanya, tapi ini lebih baik daripada semua racun mengendap dan menggangu semua fungsi tubuhku.
“Vi, ada telpon nih…” Kata mamaku.
“Dari siapa ma?”
“Rain…”
“Hah? Mau ngapain dia?”
“Halo, Vi… bisa keluar sebentar ga?”
“Mau apa?”
“Mau ngomong sesuatu…”
“tut… tut… tut…”

.....

0 komentar: