Kamis, 22 Maret 2012

Cerpen- Lelaki yang Kesepian

Sudah lama kumengenalnya. Ia tetanggaku. Rumahnya di depan rumahku. 36 tahun sudah usianya. Belum menikah. Tak beristri. Apalagi anak. Untuk buat anak harus menikah lebih dulu. Harus punya istri. Hari-harinya hanya menyendiri sendirian. Kadang mengurung diri di kamar, kadang juga di rangkang belakang rumahnya. Rangkang warisan ayahnya.
Ayahnya dikenal seorang yang rajin bercocok tanam. Di tanah belakang rumahnyalah ayahnya sering menanam sayur-sayuran dan tanaman palawija lainnya. Dan atas rangkang buatan ayahnya itulah ia sekarang sering melamun, duduk termenung bak orang ditinggalkan istri. Kadang juga mulutnya seperti berucap kata-kata, ngomong sendirian. Komat-kamit.
Sebagian orang kampung menganggapnya sudah gila. Tak waras lagi. Barangkali karena tingkah lakunya yang aneh. Sering menyendiri, bersemedi. Jarang keluar rumah. Apalagi duduk di balai jaga. Ia asyik bermain dengan kambing jantannya. Tidak pernah jauh dari kambingnya. Ia memeliharanya layaknya ibu merawat anaknya. Paginya hampir tiap hari ia memandikan kambingnya. Memakai sabun, samphoo dan bulunya disisirnya perlahan-lahan dengan sikat baju. Sudah menjadi rutinitas kesehariannya. Di tanah kosong yang kini tanpa tanaman di belakang rumahnya ia melalui hari ke hari.
Ia tinggal bersama dua orang adik perempuannya, Aisyah dan Salma. Kedua orang tua sudah tiada. Mereka sudah mendahuluinya. Dan dialah yang sekarang menjadi tulang punggung rumah itu. Sebagai kepala keluarga atas kedua adiknya. Aisyah kini mengajar di SMP kecamatan dan Salma sedang kuliah di Banda Aceh. Sedangkan ia sendiri sampai sekarang masih berstatus pengangguran. Pengangguran sarjana. Ijazahnya tidak berlaku lagi. 13 tahun sudah ia peroleh gelar sarjana peternakan.
Keluarganya dicap sebagai keluarga yang berada di kampungnya. Orang kaya. Tiap mereka punya satu kereta masing-masing. Sedangkan rumah lain paling punya satu kereta plus sepeda buntut. Kadang sepeda pun tidak ada. Seperti keluarga si Jamaluddin yang rumahnya di belakang rumah Sekolah Dasar. Almarhum ayahnya, keluarganya punya mobil kijang kapsul yang tiap malam diparkirkan di depan teras rumahnya. Mobil plat merah. Ayahnya seorang kepala dinas pertanian kabupaten.
Menurut cerita ibuku, ia sangat terpukul atas kepergian ibunya. Ibunya sangat sayang kepada dirinya. Barangkali karena dia anak laki-laki satu-satunya. Kehidupannya terus diawasi oleh orang tuanya. Terlebih oleh ibunya. Ibunya meninggal setelah kepalanya ditembusi peluru saat konflik melanda daerah ini. Alkisah yang beredar di tengah masyarakat, ibunya ditembak oleh orang tak dikenal, yang sering disebut otk. Suara tembakan yang terdengar berkisar tidak begitu jauh. Ibuku terjaga. Di balik tingkap ibuku melihat dua lelaki tegap berpakaian gelap keluar dari rumahnya. Di depan rumahnya sebuah mobil taft 4×4 warna hitam gelap diberhentikan. Lalu sebentar kemudian mobil itu pergi begitu saja setelah dua orang yang keluar dari rumahnya masuk ke dalamnya. Dan sampai sekarang kasus kematian ibunya belum terungkap. Tidak diketahui siapa pelakunya.
Lelaki kampungku memanggilnya Utoh Suman. Padahal nama yang diberikan kedua orang tuanya Saifullah. Memang waktu masih kecil, aku sering ditakutkan dengan naman itu, Utoh Suman. Kalau aku tidak mau mandi, malas mengaji lagi, aku sering dikatakan, ‘nyoe kujouk ke Utoh Suman enteuk’ (diserahkan buat Utoh Suman). Aku tidak pernah tahu siapa itu Utoh Suman. Karena sampai sekarang aku tidak pernah diserahkan untuknya. Dan tidak pernah sekalipun ditunjukkan sosok Utoh Suman itu kepadaku. Namun, aku tetap takut.
“Bang Saiful, abang kenapa selalu di rumah? Kok tidak bosan-bosan. Tidak pernah keluar rumah? Kalau tidak di rumah, ya di belakang! Kenapa lho kek gitu…?” tanya kedua adiknya saat duduk di depan tivi pagi Minggu. Jarang ada waktu untuk duduk bersama. Liburan setelah ujian semester. Masing-masing sibuk sendiri. Abangnya juga lebih sering mengurung diri di kamar.
“Untuk apa sih keluar rumah?! Kan menghabiskan uang saja, malah banyak dosa lagi. Sekarang ini semakin banyak yang diomongin semakin banyak dosa, semakin banyak yang dilihat semakin bertambah dosa. Abang udah muak dengan dunia luar sana. Mendingan abang habiskan saja waktu abang di rumah! Yang penting abang mengerjakan apa yang disuruh Allah dan meninggalkan yang dilarang-Nya. Shalat, abang shalat. Kan kalian lihat sendiri! Abang tidak pernah meninggalkan shalat,” jawabnya.
Mereka berdua terkagum-kagum dengan jawaban abangnya meskipun mereka tahu abangnya itu dicap sudah gila oleh sebagian orang kampung. Namun mereka tetap salut kepada sosoknya. Sepengetahuan mereka, abangnya tidak pernah meninggalkan shalat. Jarang ngomongin orang lain. Selepas Magrib dan Subuh, dari kamarnya terdengar lantunan ayat-ayat suci. Hampir tiap hari.
Kedua adiknya itu sering ngomongin soal abangnya yang sampai sekarang belum menikah. Belum berkeluarga. Padahal abangnya seorang sarjana. Jarang ada perempuan yang tidak mau kalau dilamar sama sarjana. Apalagi dengan keluarganya yang dikenal keluarga berpendidikan tinggi. Dan diketahui juga banyak tanah sawah di sebelah barat kampung, di sana.
Kali ini, selagi bersama Aisyah -adik pertamanya- memberanikan diri untuk bertanya perihal abangnya sendiri. Dia buang jauh-jauh rasa takut kepada abangnya. Bukan takut apa-apa, namun abangnya itu terlalu serius orangnya. Jarang bercanda. Kalau ngomong, seringnya yang inti-inti saja. Sebentar setelah mendengar jawaban abangnya tadi, ia putuskan untuk bertanya lagi yang selama ini menyelimutinya. “Namun, kenapa abang tidak kawin-kawin? Kan itu salah satu dari sunnah nabi?!”
Tidak langsung mendapat jawaban. Air muka abangnya tampak sedikit cemberut. Kesal mengingatnya. Sebenarnya dulu abangnya pernah berniat untuk menikah. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia lebih mementingkan pendidikan kedua adiknya. Waktu itu adiknya Aisyah sedang kuliah dan Salma sedang SMA. Ia ingin kedua adiknya sukses. Punya kerja.
Lalu, Salma juga menanyakan hal yang sama kepada abangnya itu. Padahal pertanyaan kakaknya tadi belum dijawab oleh abangnya.
Masih hening. Terdiam. Tanpa sepatah kata pun. Aisyah dan Salma saling melirik, kadang berbisik tanpa maksud yang jelas. Mereka menunggu jawaban dari abangnya. Abangnya yang sering menyendiri. Yang memilih mengurung diri di rumah daripada terjun ke tengah masyarakat.
Abangnya masih membisu. Kepalanya menunduk ke bawah. Ia sepertinya tidak mau memberitahu jawabannya kepada kedua adiknya itu. Ia takut adiknya merasa bersalah dengan jawabannya.
“Haruskah aku menjawabnya? Aku yang lebih senang hidup sendiri. Untuk apa istri, kalau nanti dia selingkuh. Tidak setia. Jalan sama orang lain. Seperti kabar yang sering kita baca di koran-koran, tiap hari ada saja istri orang yang ditangkap bersama suami orang lain!” batinnya terus saja bergejolak bak peperangan yang pernah terjadi di kampungnya tempo dulu.
Ia meneguk air putih. Kepalanya seakan-akan ditimbun beban berat. Ia sedang memikirkan apa yang harus dijawabnya. Ia tidak mau adiknya kesal. Dan ia juga tidak mau berbohong. Apalagi kepada kedua adiknya yang sangat disayanginya.
Aisyah mau mendengar jawaban abangnya segera. Ia selama ini penasaran penuh tanya tentang abangnya yang cenderung memilih tempat sepi, menyendiri. Barang sepuluh menit sudah mereka telah membisu. Sama-sama tidak ngomong. Ia tidak tahan lagi menunggu tanggapan dari abangnya. Tidak sabar lagi, ingin segera mengetahui alasan abangnya-kenapa sampai sekarang belum kawin. “Bang, kenapa abang tidak menjawab pertanyaan kami?” tanya Aisyah lagi setelah lama pertanyaan tadi tidak dijawab abangnya.
Saiful mengangkat kepalanya. Ia melihat ke wajah kedua adiknya. Menatapnya. Auranya masih nampak cemberut meskipun ia berusaha tidak menampakkannya. Menyembunyikannya agar adiknya tidak berprasangka lain. Sebenarnya ia juga tidak ingin menutup-nutupinya. Ia ingin terus terang, mengemukakan jawaban dan asalannya. Jujur.
“Begini!” ia berusaha memberikan jawabannya.
“Abang mengucapkan terima kasih lebih dahulu sama kalian. Yang sudah melayani abang layaknya seorang ibu melayani anaknya. Memasak nasi tiap hari buat abang dengan menu kesukaan abang. Mencuci baju abang lalu menyetrikanya dengan rapi. Kadang membeli ini-itu buat abang. Abang yang sering mengurung diri di rumah. Tidak bekerja.”
“Abang jujur. Abang bukannya tidak mau menikah. Abang pernah berniat untuk menikahi seorang perempuan. Kawan abang waktu kuliah di Banda. Namun, …”
“Tapi, kenapa abang tidak jadi menikahinya?” tanya Salma segera selagi abangnya berhenti sejenak.
“Abang mau kalian sukses. Abang mau adik abang tidak putus pendidikan di tengah jalan. Harus sarjana. Dan tidak mau melihat kalian tidak ada yang ngurus setelah kepergian ibu.”
“Kenapa sampai sekarang abang belum menikah juga? Padahal usia abang semakin hari semakin bertambah tua! Apa abang tahan terus sendirian seperti ini?” keluh Aisyah sama abangnya.
“Biarlah abang terus begini. Sendiri. Abang tidak sanggup memenuhinya lagi sekarang. Sudah cukup abang berniat saja dan yakin bahwa kawin itu memang sunnah nabi. Tidak mampu melakukannya. Tidak punya kesanggupan. Biarlah orang yang sudah sanggup saja yang melakukannya. Emas yang ibu tinggalkan pun sudah habis. Tidak bersisa. Abang bersyukur sudah mampu memenuhi kebutuhan pendidikan kalian. Dan kalian sudah abang anggap sukses.”
Kedua adiknya hanya mampu mendengar tidak mampu berbuat banyak kepada abangnya. Abangnya lebih memilih menyendiri ketimbang kawin. Linangan air bening menetes dari mata masing-masing keduanya. Terisak-isak. Sedih. Kadang terharu, sesekali. Merasa bangga punya abang yang punya pendirian tidak ingin meninggalkan adiknya dalam kesengsaraan. Sengsara tanpa ilmu, pendidikan dan tanpa orang tua, yang telah pergi mendahuluinya.
“Kawinlah kalian kalau nanti ada yang meminangnya! Kalian tinggal menunggu sedangkan abang harus mencari lebih dulu, memberi serta memenuhinya. Kalau abang harus punya bekal. Bekal buat modal pertama sebagai syarat. Modal buat hidup bersama yang akan menjadi istri. Perlu syarat, butuh modal buat kawin. Modalnya mahar yang juga merupakan salah satu syarat sahnya kawin. Mahar butuh uang. Perlu uang yang banyak, tidak cukup sedikit uang saja. Emasnya mahal. Harganya melambung tinggi. Patokan maharnya juga tinggi. Malu kalau abang minta kurang. Karena ini bukan lagi zaman nenek kita. Bisa nego saat membeli. Bisa minta kurang. Kini zamannya kapitalis. Malu kalau kita minta kurang. Barang serba mahal. Sudahlah! Biarlah abangmu menjalani sisa hidup ini sendiri. Meskipun sepi. Harus gimana lagi?”
“Salah orang tua kita. Salah memahami tentang jeulamee (mahar). Padahal dalam agama saja, tidak dipatok harus segini, mesti segitu. Tidak ada. Mereka asal taklid saja. Mengada-ada. Kakaknya segini, adiknya harus segitu. Titik. Tak ada tawar. Bukan pasar pagi. Bisa tawar-menawar. Nego. Dasar orang tua matre!”
“Maunya mereka paham. Mahar itu hanya sebagai syarat sahnya nikah, meskipun sedikit. Hanya gram, bukan mayam. Sudah sah. Tidak mesti harus 25 dan bahkan sampai 40 mayam. Lebih-lebih di kampungku. Kampung Pidie.”
Emosinya semakin memuncak. Ia memutuskan tidak meneruskannya lagi. Ia mengakhirinya dengan pesan, “biarlah kesepian yang menjadi sahabat sejati abangmu ini!” Kedua adiknya seakan pasrah tidak berdaya merubahnya. Mereka larut dalam lamunan perihal abangnya yang terus dilanda kesepian.

0 komentar: