Minggu, 10 Maret 2013


Cerpen Sahabat Coklat Part II
 Sepulang sekolah, aku dan Azka kembali jalan berdua. Siang itu cukup terik, jadi aku dan Azka berjalan di balik bayang-bayang gedung sekolah. Aku yang berjalan tanpa melihat ke depan tiba-tiba, BRUK! Aku menabrak seseorang hingga tubuhku jatuh ke belakang, Azka segera menolongku.

            “Oh, maaf ya, aku tak sengaja...” kataku sambil bangun dan astaga! Itu Raden! Itu Raden yang aku tabrak baru saja.

            “Enggak, enggak, aku yang salah, maaf ya...” katanya dengan suara yang terdengar lembut di telingaku. Dia mencoba melihat bed namaku untuk mengetahui siapa yang baru ditabraknya. “Hem, maaf ya... Irama?” katanya.

            “Iya, tak apa kok.”

            “Aku sedikit meleng tadi,” jelasnya. “Kamu gak apa-apa?”

            “Iya, paling Cuma lecet sedikit, sisanya baik-baik aja kok, iya kan Zka?” kataku kepada Raden.

            “Oh, jadi kamu yang bernama Azka?” tanya Raden kepada Azka yang berdiri di sebelahku. Singkat cerita kami berkenalan dan berbincang sebentar, Raden adalah anak yang sopan, baik dan halus kepada perempuan. Bahkan dia menawarkan diri untuk menemani kami pulang, tapi aku menolaknya.

            “Lain kali saja ya Den, aku dan Azka mau buru-buru ke warnet,” jelasku.

            “Baik, tak apa kok,” katanya dengan tersenyum. Segera aku berpamitan dengannya dan menarik tangan temanku, Azka untuk segera berlalu daripadanya.

            “Hei Ra, kok ditolak sih tawarannya? Kan lumayan naik mobil BMW.”

            “Kamu ini, sudahlah biasanya kita pulang jalan kaki juga, jangan males!” kataku sambil berjalan diikuti langkah dari Azka.

            Mungkin sejak saat itu, aku baru menyadari bahwa Raden adalah laki-laki yang baik, oh tidak apakah aku suka padanya? Baru saja pertama bertemu, aku langsung teringat terus kepadanya, bagaimana suaranya terdengar atau tatapan matanya yang berbicara kepadaku. Kenapa ini? Rasanya jantungku berdegup cepat, ingin rasanya aku ngobrol dengan Raden lagi. Setiap malam, aku dan ketiga sahabatku itu curhat satu sama lain, tapi kami tidak pernah ngobrol tentang Raden. Jadi aku rasa aku simpan sendiri saja cerita ini buatku.

            Kini setiap pagi aku berjalan menuju kelasku, atau ketika makan di kantin, pandanganku tertuju pada Raden. Mengapa ia terlihat begitu baik di mataku? Aku rasa aku menyukai dia. Aku tidak pernah bercerita kepada siapapun mengenai hal ini, kecuali pada Andra, ketua kelasku. Aku menanyakan nomor Hp Raden kepadanya, dengan kedok ingin bertanya soal pelajaran Bu Yaya kemarin. Untung saja Andra tak banyak bertanya, segera setelah itu aku sudah mendapatkan nomor Hp Raden. “Malam ini aku sms dia ah,” kataku dalam hati.

            Waktu menunjukkan pukul setengah 8 malam, rasanya sudah berat kedua mataku. Kututup saja buku pelajaran sejarah yang sedari tadi kubaca untuk ulangan besok. Kurebahkan diriku pada ranjang, dan kuambil Hpku. “Ah, aku sms enggak ya Raden? Gimana kalo enggak dibales?” tanyaku. Aku takut mengganggunya, karena sejujurnya aku belum kenal dia, mungkin saja ia sudah lupa sama aku. Tapi akhirnya aku sms dia juga, “Hai Raden, lagi apa? Masih ingat aku, Irama?” Kok aku jadi berdebar-debar yah? Jadi gugup sendirian, gak salah kan sms begitu sama seseorang?

            Tak lama, Hpku berdering, satu pesan masuk. Segera saja kubuka, dari Raden ternyata! “Hai juga Irama, iya aku ingat kok, maaf yah soal waktu itu, ada apa?” tanyanya dalam sms. Kuputuskan untuk berbalas sms dengan dia, mulai dari hal-hal kecil hingga yang mendalam. Cukup lama kami berdua smsan. Aku jadi mengetahui, kalau Raden itu pindah ke sini karena ayahnya yang seorang arsitek sedang dinas di kota ini, tapi dia juga tidak tau sampai kapan akan tinggal disini. Tak kusadari jam menunjukkan pukul 9 kurang, aku sudah mengantuk berat rasanya, hingga aku lupa membalas sms darinya kembali.

Cerpen Sahabat
            Hari Sabtu tiba, hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar di sekolahku. Aku diminta oleh adik kelasku untuk melatih junior-junior Paskibra. Jadi sudah sejak pukul 7 pagi aku berada di sekolah. Sampai kira-kira jam 9, aku yang sedang beristirahat, melihat Hpku dan baru menyadari kalau sms dari Raden semalam belum dibalas. Maka aku mengirimkan pesan kepadanya, “Maaf yah semalam aku ketiduran, hehehe.” Kami pun mulai smsan lagi, dan aku juga baru tau kalau Raden tidak ke sekolah hari itu. Dia bersama teman-temannya sedang bermain di rumah Andra. Cukup lama kami smsan, hingga malam pun masih aku tekuni. Dia itu tidak membosankan orangnya, asik diajak bicara dan sopan sekali. Aku juga bercerita kepada ibu mengenai hal ini, ibu hanya berpesan, “Jangan terlalu terlena dengan laki-laki, kalau sudah jatuh nanti sakit rasanya.”

            Sudah satu bulan ini setiap hari aku smsan sama Raden, walau aku masih bermain dengan Azka, Adel dan Meli, sedikitpun tak pernah aku singgung masalah ini dengan mereka. Cukup aku saja yang mengetahuinya. Tapi, entah kenapa aku merasa nyaman sama Raden, apa karena dia baik dan sopan ya? Dia juga terkenal baik di antara guru. Tetapi aku masih bingung, sebenarnya aku suka sama dia atau tidak? Ketika di sekolah kami jarang bertemu, karena aku bersama-sama dengan teman-temanku, sementara dia bersama teman-temannya. Kadang, ketika aku dan teman-teman melihat dia, dia seolah melirik kepadaku dan tersenyum, atau karena perasaanku saja ya?

            Malam itu, setelah selesai mengerjakan tugas bahasa Inggris, aku kembali sibuk dengan Hpku. Tapi dari jam makan malam, hingga sudah mengantuk, tidak kuterima sms dari Raden. Ingin aku mengirim sms kepadanya dan kembali berbincang seperti biasa, tapi aku malu, dan kenapa harus aku terus yang sms dia duluan? Malam itu terasa sepi, tanpa sms dari dia yang aku tunggu.

            Keesokan harinya, ketika sedang berkumpul dengan teman Paskibra, aku memutuskan untuk bercerita dengan seorang temanku yang lain. Aku yakin dia tidak bermulut ember dan bisa menyimpan rahasia ini antara kami berdua.

            “Hei, Syahra, bisa ngobrol sebentar?” tanyaku.

            Syahra, yang sedang duduk sendirian segera mempersilahkanku, “Kenapa Ra? Sini duduk disebelahku.”

            Kutaruh tasku disebelahku, “Begini, aku bingung mau mulai cerita darimana sama kamu...”

            “Tentang apa Ra? Kamu lagi ada masalah?”

            “Bukan, bukan itu. Aku mau ngomong tapi enggak enak, aku malu.”

            “Kenapa harus malu?”

            “Janji yah kamu enggak akan ketawa atau bilang ini ke orang lain?” tanyaku sambil menatap matanya.

            “Iya Ra, aku janji, kenapa?”

            Lalu aku mulai bercerita kepada Syahra, mulai dari aku bertabrakan dengan Raden hingga kemarin malam aku tidak smsan dengan dia. Syahra mendengarkan dengan seksama, hingga aku selesai bercerita, dia mendengarkannya dengan penuh perhatian dan serius.

            “Jadi, gimana menurutmu?” tanyaku.

            Syahra tertawa cukup keras. Segera aku menjadi malu, karena beberapa teman dan junior lainnya melihat ke arahku dan dia. Aku yang diliputi rasa malu dan wajah yang memerah, ingin segera bangkit darisana dan pergi. Tapi, Syahra menahan tanganku.

            “Eh, eh mau kemana kamu Ra?” cegahnya memegang tanganku. “Aku belum ngomong apa-apa.”

            “Habisnya kamu ngetawain aku begitu sih,” kataku kesal sambil kembali duduk.

            “Maaf, maaf, habisnya kamu lucu sih Ra.”

            “Lucu kenapa?”

            “Itu artinya kamu suka sama dia, tapi kamu enggak mau ngakuin kan?” tanya dia kembali. “Kalau ada dia kamu nyaman, kalau lihat dia kamu suka senyum-senyum sendiri, apa lagi yang kamu tunggu?”

            “Maksud kamu yang aku tunggu?” tanyaku penuh keheranan.

            “Iya, kamu tunggu apa lagi, tunggu dia nembak kamu gitu Ra?”

            “Eh, kok kamu bisa berpikiran begitu?”

            “Kamu ini gimana, kalau kamu suka sama dia, buat apa nunggu lagi? Keburu diambil orang nanti Ra, yang ada kamu nyesel belakangan.”

            “Tapi aku kan cewe...” kataku.

            “Terus, cewe gak boleh nembak gitu? Kuno amat sih kamu! Kalau aku jadi kamu sih, aku akan tembak dia segera, dan nyatain perasaan sama dia. Sebentar lagi valentine nih, aku sih akan beli cokelat terus nyatain perasaanku sama dia deh, tapi sebelum itu aku cari tau dulu bagaimana perasaan dia sama kamu.”

            “Terus, kalau ternyata dia gak suka sama aku? Setelah aku nyatain perasaan malah gak bisa sedeket kaya begini gimana dong?”

            “Ra, Ra, kamu ini terlalu medok ya? Soal diterima atau enggaknya itu belakangan, yang penting kamu enggak sakit nahan perasaan yang kamu miliki buat dia, setelah nyatain kamu akan lega, soal nantinya itu terserah dia mau jawab apa kan?”

            Memang benar kata temanku ini, aku memang tak bisa menyimpan perasaan ini lebih lama lagi. Rasanya bercampur aduk antara suka, khawatir, takut dan penasarannya. Syahra benar, aku harus menyatakan perasaan ini, aku harus berani. Setidaknya itu yang ada di pikiranku sekarang. Tapi bagaimana nanti aku bercerita sama Azka, Adel dan Meli? Mereka mendukungku atau tidak.

            Malam pun kembali tiba, bintang-bintang bersinar kelap-kelip di angkasa, dengan sang rembulan mengawasi setiap gerakannya. Waktu telah menunjukkan pukul 8, lagi-lagi kesepian menghantuiku. Rasa bosan mendekapku dalam, karena tak ada sms dari Raden, hanya sms dari Azka yang menanyakan ulangan besok dan sms dari Meli yang membicarakan hape barunya. “Ayo dong Den, kamu kemana? Sms aku dong.”

            Beberapa menit setelahnya, hpku berdering, memecah kesunyian malam. Segera aku melompat dari ranjangku dan membuka sms itu. Dari Raden! Astaga telah kunantikan sms dari dia, namun kali ini bukan sms seperti biasa, dia mengirimkan sepotong puisi kepadaku dengan judul Semanis Lautan Madu, yang cukup panjang juga. Begitu menyentuh kata-kata yang ia kirimkan, setelah itu aku segera membalas sms darinya, “Puisinya bagus Den.” Setelah itu kami kembali smsan hingga larut malam, betapa senangnya aku bisa kembali smsan dengan dia. Aku bertanya kemana dia dua hari ini baru bisa sms sekarang, dia berkata bahwa dia sedang sibuk dengan tugas-tugas, seolah mengiyakan aku juga menjawab bahwa tugas-tugas pelajar sekarang sangat membebani. Aku pun seperti biasa, tertidur duluan.

            Hari Valentine tinggal beberapa hari lagi, tak sabar rasanya aku memberikan hadiah sekotak cokelat kepada Raden, sekaligus untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Saat itu, seperti biasanya kami ber-empat duduk di kantin dan ngobrol. Kali ini senyuman terus menghiasi wajahku.

            “Duh, si Ira baru dapat bonus dari ortunya nih,” kata Meli memulai pembicaraan.

            “Iya, daritadi senyum-senyum terus, bonusnya banyak yah Ra? Traktir kita-kita dong,” pinta Azka.

            “Ih apasih kalian? Enggak kok, aku lagi seneng aja,” jawabku.

            “Seneng kenapa sih?” tanya Meli.

            “Ada deh pokoknya.”

            “Tapi, dibalik senyummu ada yang cemberut tuh,” kata Azka sambil melirik ke arah Adel. Adel terlihat diam saja, dengan wajah yang tidak seceria Adel yang biasa.

            “Kamu kenapa Del?” tanyaku.

            “Enggak kenapa-kenapa kok, cuma cape aja,” jawabnya singkat.

            “Yakin? Kamu gak seperti biasanya Del.”

            “Enggak kenapa-kenapa kok temen-temen, sudah ya aku duluan ke kelas,” katanya seraya meninggalkan kami bertiga. Aneh, pikirku. Adel yang biasanya ceria, kini menjadi pendiam.

            “Ada apa ya sama Adel?” tanya Meli.

            “Tau deh, mungkin dia lagi males ngomong sama kita-kita, aku denger-denger Adel lagi suka sama seseorang,” jelas Azka.

            “Sama siapa Zka?” tanyaku.

            “Tau deh, coba aja kamu cari tau.”

            “Hah sudah, daripada ngomongin Adel, gimana kalau kalian temenin aku nanti pulang sekolah? Mau nggak?” tanya Meli.

            “Kemana Mel?” tanya Azka, “Kayaknya aku enggak bisa deh, soalnya mamaku ngajak aku jalan-jalan sore nanti.

            “Ih, kamu kok begitu sih Azka, aku mau beli hadiah buat adikku, kalo kamu gimana Ra?” tanyanya kepadaku. “Bisa kan temenin aku?”

            “Duh maaf ya Mel,” jawabku, “Nanti sore aku mau ke dokter gigi sama ibu, aku udah janji jauh-jauh hari.” Sebenarnya, sore nanti aku mau membelikan cokelat sebagai hadiah untuk Raden. Aku terpaksa berbohong sama teman-temanku.

            “Yaudah deh, aku sendiri aja,” kata Meli.

            Baru kali ini aku menolak ajakan teman-temanku, untuk seorang cowo. Aku rela meninggalkan waktu bersama teman-teman, hanya untuk membelikan hadiah untuk Raden. Tetapi inilah kata hatiku, aku tidak dengan teman-temanku, akan tetapi ini harus aku lakukan. Sesekali saja aku mengikuti apa yang hatiku katakan.

            Maka sore harinya, setelah izin kepada ayah dan ibu, aku pergi sendirian ke mall di dekat rumahku. Sambil melirik-lirik setiap toko kue dan cokelat yang ada disana, aku memilih cokelat yang baik untuk hadiah. Langkahku terhenti di sebuah toko cokelat kecil di lantai tiga, tepat di sebelah toko buku. Aku membeli sekotak cokelat berbentuk hati, yang menggambarkan perasaan hatiku untuk Raden. “Semoga dia suka,” kataku dalam hati lalu aku berjalan pulang meninggalkan toko tersebut.

            Hari yang kunantikan telah tiba, hari Valentine yang penuh dengan nuansa cinta. Walau aku bukan seorang perempuan yang terlalu “feminim” tapi untuk acara malam ini, aku memilih untuk berdandan. Tepat hari Sabtu, malam minggu, akan diadakan acara rapat perpisahan untuk kelas 3, dan aku termasuk salah seorang panitia kelas. Raden pun akan datang, dan kesempatan ini akan aku manfaatkan untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Kalau tidak salah, rapat dimulai jam setengah tujuh malam, aku segera menyiapkan kotak cokelat yang kubungkus rapi dengan pita berwarna merah dan kumasukkan ke dalam tasku. Hanya dengan memakai kaos coklat dan jeans, beserta bando favoritku, aku segera melangkahkan kaki menuju sekolahku.

            Jam tanganku menunjukkan pukul 6.20 tepat, ketika aku tiba di pintu gerbang. Ketika berjalan masuk, aku melihat motor Meli diparkirkan di parkiran sekolah, apa yang dia lakukan sesore ini di sekolah, pikirku. Ah sudah tak usah ambil pusing soal dia. Aku berjalan melewati lapangan dan kudapati Azka yang baru selesai latihan karate, dia hanya melambaikan tangannya dari kejauhan. Kubalas lambaian tangannya itu. Tetapi, sudah sesore ini, kenapa dia belum pulang? Setahuku, latihan karate telah selesai setengah jam yang lalu. Tapi sudahlah, kenapa aku malah memikirkan dia?

            Aku segera berjalan ke arah aula untuk berkumpul dengan yang lainnya. Disana sudah ada beberapa teman yang telah tiba, dan Raden pun sudah disana. Aku duduk di dekat pintu keluar, dan mengamati dirinya dari kejauhan, sayangnya aku tidak bisa mendekat saat itu. Dia terlihat sedang bercengkrama dengan beberapa temannya.

            Rapat dimulai, semua siswa dan siswi segera duduk berkumpul membentuk lingkaran. Aku dan Raden tepat duduk berhadapan, bergetar rasanya hatiku ketika menatap matanya. Dia tersenyum kembali ketika melihatku. Antara ragu dan yakin, untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya. Rapat dibuka oleh ketua panitia, dan rapat itu berlangsung semu. Waktu berjalan sangat lambat bagiku, satu menit bagaikan satu jam rasanya. Tanpa berpikir ke arah rapat, aku hanya berpikir kata-kata apa yang cocok untuk kusampaikan kepada Raden nanti.

            Rapat selesai tepat pukul 7.15 malam, yang menghasilkan ketidaksetujuan. Panitia yang hadir belum dapat menemukan titik temu antara pendapat-pendapat yang masuk, sehingga rapat ditunda dan akan dilaksanakan segera setelah pengumuman diberikan. Ini saatnya, kataku. Setelah melihat suasana agak sepi, aku yang sudah dari tadi menanti di intu gerbang, menunggu Raden untuk berjalan keluar. Kotak cokelat itu masih kusimpan di dalam tasku. “Aku harap dia menyukainya, tetapi dia mau enggak ya?” tanyaku berulang-ulang dalam hati, gusar rasanya menanti ketidakpastian ini. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya keluarlah Raden dari dalam. Segera aku menghampirinya.

            “Hei, Raden,” sapaku dengan senyuman.

            “Oh hei Ira, lagi apa kamu disini? Belum pulang?” tanyanya agak terkejut.

            “Iya, aku lagi nunggu seseorang,” kataku malu-malu.

            “Oh ya? Siapa yang kamu tunggu?”

            “Kamu Raden.”

            “Aku? Kamu nunggu aku? Ada apa memangnya?”

            Jantungku berdegup kencang, seperti mobil balap yang sedang berpacu menuju garis finish. Tak ada waktu untuk mundur lagi, sekaranglah waktu untuk mengatakannya.

            “Sebenernya, aku... sebenernya...”

            “Ya, apa sebenernya Ra?” tanyanya dengan halus. Sungguh membuat bulu romaku berdiri.

            “Den, aku... aku suka sama kamu...” kataku terputus-putus. Rasanya jantungku semakin berdetak cepat. “Sudah lama, ya sudah lama.... aku ingin mengatakan itu, aku... aku suka sama kamu Den. Ini... ini untuk kamu...” kataku seraya memberikan sekotak cokelat dari dalam tasku kepadanya.

            Raden yang pandangannya penuh kelembutan, mendadak terdiam. Matanya membelalak seakan kaget, dan mulutnya mulai terbuka lebar. Dia tertawa dengan kencang.

            “Hahahaha, kenapa rupanya kalian ini?” katanya sambil tertawa.

            Aku agak kaget, yang tadinya jantungku berdegup kencang, kini menjadi hilang ketegangan itu. Kini aku merasa kesal bercampur malu. “Kenapa? Kenapa kamu tertawa Den? Memangnya lucu yah?”

            Raden masih saja tertawa. “Hahaha, dengarkan. Dengarkan aku dulu Ira, pertama, aku ini sudah memiliki pacar, kedua, aku hanya menganggapmu sebagai teman, janganlah kamu beranggapan lebih, dan ketiga...”

            Entah mengapa aku tidak kaget mendengar hal itu, apa karena aku telah menyatakan perasaanku kepadanya? Atau karena aku berhasil menebak apa yang akan dia katakan.

            “Apa yang ketiga?” tanyaku penasaran.

            “Hari ini kamu adalah perempuan ke-empat yang menembak aku dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya...”

            “Hah?” kataku kaget. “Maksud kamu?”

            “Itu lihatlah di dalam,” katanya menunjuk ke arah lapangan sekolah. Disana aku melihat ketiga sahabatku, Azka, Adel dan Meli sedang berdiri di pinggir lapangan.

            “Sekali lagi maaf ya Ra, aku tak menganggapmu lebih.”

            “Oh, ya tak apa, maafkan aku juga.” Lalu aku pamit kepada Raden, sejujurnya aku tidak sedih, tidak kecewa dan juga tidak senang. Hanya saja aku merasa sangat lega, karena telah menyatakan perasaanku kepadanya. Mungkin Raden bukan pilihan yang tepat untukku.

            Aku segera berlari menuju ke arah sahabat-sahabatku itu. Terlihat Meli dan Azka sedang duduk bersama Adel yang tertunduk diam. Aku menghampirinya, “Hei, sedang apa kalian disini?”

            Kaget dengan kehadiranku, Meli dan Azka segera bangkit berdiri, sementara Adel yang tadinya tertunduk diam segera melirik ke arahku, menghapus air matanya dan berhenti menangis. “Kamu kenapa Del?” tanyaku.

            “Lho? Kamu juga rupanya?” tanya Meli.

            “Juga apanya?” tanyaku kembali.

            “Raden,” kata Adel yang masih merah matanya. “Kamu juga ditolak sama Raden kan?”

            Aku diam sejenak, jangan-jangan ketiga sahabatku ini juga berpikiran yang sama seperti aku. “Tunggu sebentar... jadi kalian juga?”

            Mereka bertiga mengangguk. Kemudian aku mulai tertawa dengan keras. Ketiga sahabatku itu melihatku penuh keheranan. “Kenapa kamu Ra?” tanya Azka.

            “Hahaha lucu yah, kita semua begini, gara-gara Raden seorang...” jawabku.

            “Ya, karena seorang cowo, kita semua jadi tidak sedekat dulu,” sambung Meli. “Maafkan aku ya teman.”

            “Aku juga,” susul Azka. “Bodohnya kita berlomba-lomba mendapatkan hati satu orang laki-laki, toh cowo yang ganteng dan tajir tidak hanya dia kok.”

            “Setuju!” sambung Meli.

            “Aku juga ya teman,” kataku sambil merangkul ketiga sahabatku itu. “Maafkan kalian selama ini aku diam saja dan tidak bercerita, bahkan aku berbohong kepada kalian.”

            Meli tersenyum padaku, begitu juga Azka. Namun Adel masih terlihat sedih. “Sudahlah Del,” kataku, “Kamu itu cantik, banyak cowo lain yang suka sama kamu.”

            Adel kembali tersenyum dan mendekapku kini. “Kamu benar Ra, aku bodoh ya menangis untuk hal yang tidak diperlukan.”

            “Mungkin kita semua bodoh ya,” kataku kepada mereka. “Karena Raden kita jadi begini dan melupakan persahabatan kita, mulai saat ini, ayo kita lupakan sejenak masalah cowo dan kembali bersama-sama lagi seperti dulu.”

            “Kau benar, aku setuju,” kata Meli diikuti yang lainnya. Kemudian kami tertawa bersama karena menyadari kekeliruan kami. Meninggalkan sahabat untuk seorang lelaki? Tidak akan pernah lagi.

            “Sebentar Ra, terus cokelat ini buat apa?” tanya Meli. “Kalian masing-masing bawa satu kan?” Kami semua mengangguk.

            Aku memutar otakku sebentar dan mendapatkan ide yang baik. “Begini saja, bagaimana kalau kita makan cokelat yang kita punya bersama-sama? Itulah arti sahabat yang sesungguhnya, cokelat persahabatan sebagai hadiah terindah di hari Valentine ini, hari kasih sayang sahabat.” Mereka semua setuju, dan kami pun bertukaran cokelat dan memakannya bersama-sama. Inilah makna Valentine yang sesungguhnya, bukanlah cinta, bukanlah cokelat, akan tetapi kehadiran kita sebagai seorang sahabat yang selalu dibutuhkan bagi orang lain.

Seminggu setelahnya, kami sudah berteman baik kembali bahkan semakin dekat. Soal Raden? Ya, biarlah dia mengurus urusannya sendiri. Aku dan Raden hanya berteman saja kini. Tetapi aku, Azka, Adel dan Meli adalah sahabat selamanya. Janji kami disaksikan oleh “sahabat cokelat”.

            Siang itu ketika istirahat, kami ber-empat kembali makan di kantin. Sedang asyik-asyiknya makan datanglah Syahra bergabung bersama kami. “Eh, kalian sudah dengar cerita baru belum?” Aku mengangkat bahuku mendengarnya.

            “Apa memangnya?” tanyaku.

            “Itu lho, murid pindahan baru, Edo namanya, ganteng dan manis banget, tuh orangnya,” katanya kembali. Kami ber-empat segera melirik satu sama lain, dan kemudian berkata, “Enggak akan kena lagi tuh!” Lalu kami tertawa bersama. Syahra hanya heran melihatnya.

0 komentar: