Minggu, 10 Maret 2013

Cerpen Sahabat Cokelat Part I

Irama! Sudah hampir setengah jam kamu di dalam! Ayo cepat!” terdengar suara seorang wanita yang menggelegar di telingaku.
Tidak asing lagi pemilik suara “petir” di pagi hari itu, tak lain adalah ibuku. Ibu memang suka sekali bernyanyi setiap pagi, ketika membangunkanku, memanggilku untuk sarapan, atau ketika aku lama di dalam kamar mandi. Memang, tak terasa waktu yang kuhabiskan ketika aku berada dalam kamar mandi. Segera aku membilas diri, sambil tetap bernyanyi dan dalam hitungan detik aku sudah berjalan menuju kamar.
“Cepat sedikit! Kamu belum sarapan juga!” menggelegar kembali suara ibu dari balik pintu kamar.
“Ya bu!” kataku sambil memakai seragam putih abu-abu, hari ini hari Senin, aku harus memakai seragam yang lengkap. Topi, dasi, sepatu hitam harus siap sedia.

 Dalam hitungan menit, aku telah rapi berpakaian. Tas berisi buku pelajaran hari ini telah siap dalam genggamanku, sebelum aku keluar kamar, kutengok sebentar cermin di kamar. “Bercermin terus, nanti juga cerminnya pecah!” kata seseorang di luar kamarku. “Duh, berisik kamu de! Bisanya ganggu kakak aja,” kataku sambil keluar kamar, hendak mengejarnya namun ia telah masuk ke kamarnya terlebih dahulu. “Bu, ade tuh!” rengekku.

Cerpen Sahabat
Gambar: naluwisme.blogspot.com

“Irama! Masih di sana kamu? Sudah cepat makan rotimu! Kalian ini, adik-kakak kenapa bertengkar terus? Nanti kalau sudah jauh, baru kangen-kangenan.” Aku hanya tersenyum malu kepada ibu, memang aku dan adikku tidak akur. Kami sering bertengkar. Walau ia laki-laki dan aku perempuan, tak pernah akur rasanya. Pertengkaran kami biasanya dimulai dengan hal-hal sepele, seperti ketika ia mengejek atau sengaja menyembunyikan barang-barang milikku. Duh, adik seperti itu bikin gemes sekaligus kesel!

Tak sempat duduk di meja makan, aku mengambil setangkap roti bakar isi selai cokelat buatan ibu, sebenarnya tidak cukup untuk dijadikan sarapan, tetapi apa boleh buat, waktu mengejarku. Sambil mengunyah roti itu, aku memakai kedua sepatuku, merapikan dasiku dan segera berlari menuju bapak yang sedang baca koran di depan. “Pak, aku pergi dulu yah,” kataku berpamitan. “Sudah mau berangkat? Tak bareng ademu toh?”
Aku menggelengkan kepala, “Dia masih beres-beres di kamar,” kataku menunjuk ke dalam.

            “Pamit dulu sana sama ibu.”

            “Ya pak,” kataku sambil beralih kepada ibu yang sedang membawakan secangkir kopi panas untuk ayah. “Bu, aku pergi dulu ya.”

            “Rotinya sudah dimakan?” tanya ibu.

            “He-eh sudah kok, aku sudah telat nih, dadah,” kataku seraya berlari ke arah teras.

            “Eh, sebentar Irama!” panggil bapak.

            “Ya, kenapa pak ?”

            “Ini uang jajanmu,” kata bapak sambil memberikan dua lembar sepuluh ribuan kepadaku. “Cukup hingga makan siang kan?”

ku mengangguk, lalu tersenyum kepada bapak dan ibu. Sungguh baik memiliki kedua orangtua yang selalu pengertian kepada anaknya. “Dadah!” kataku melambaikan tangan dari balik pagar. Kemudian aku mulai berlari-lari kecil dari depan rumahku. Letak sekolahku memang tidak begitu jauh dari sekolah, hanya terpaut sekitar 1 kilometer. Jadi setiap pagi aku berjalan kaki, terkadang bersama adikku, atau dengan temanku, Azka namanya. “Oh ya Azka! Aku kan janjian dengan dia untuk berangkat bareng!” kataku agak panik. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.42, sekitar sepuluh menit lagi sekolahku akan masuk. “Aku harus lari pagi nih!” kataku setelah mengikat rambutku lalu mengambil start layaknya seorang pelari. “Aku tak boleh telat! Bisa-bisa kena hukum lagi sama Bapak Surdi!” Peraturan di sekolahku, siswa-siswi yang telat diharuskan membersihkan lapangan sekolah dan tidak boleh masuk jam pertama. “Hari ini ulangan Fisika juga jam pertama, aku tak boleh telat!”

Cerpen Sahabat Cokelat Part I
 Nafasku berpacu dengan langkahku, rokku yang panjang membuat laju lariku agak terhambat, ingin rasanya aku memakai celana saja karena tidak merepotkan. Lagi-lagi peraturan sekolah yang mewajibkanku. “Peduli amat dengan rok panjang, yang pasti aku tak boleh telat!” Gedung sekolahku sudah terlihat, hanya tinggal berjarak beberapa ratus meter dari gang depan. Aku mengambil nafas sebentar, dan melihat jam tanganku kembali. Pukul 06.48. Masih ada cukup waktu, pikirku. Ketika aku mulai berlari kembali, sesosok wajah yang kukenal lewat di depan wajahku, yang wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku. Siswi itu berlari juga seperti aku, hanya saja ia berlari lebih cepat karena tubuhnya yang lebih kecil daripadaku. “Hei, Azka!” teriakku kepadanya. Ya, nama siswi itu adalah Azka, teman sekelasku sekaligus teman rumahku. Dia adalah seorang yang cekatan, lincah, ahli dalam berbicara. Hampir sama denganku, ia juga seorang yang cuek. Berdasarkan kecocokan itulah, kami cepat akrab.

 Azka sejenak menoleh, lalu kembali berteriak kepadaku, “Hah? Ira? Kamu juga terlambat?” Aku berlari menghampirinya, “Terlambat? Masih ada waktu kok.” Azka menggelengkan kepalanya, “Kau ini pelupa yah, hari ini hari Senin, upacara tau!”

            Seperti tersengat jutaan voltase listrik, aku kaget mendengar. Ya hari Senin! Upacara akan segera dimulai, sekolah pasti masuk sepuluh menit lebih cepat. Untuk itu tadi aku menyiapkan topi, astaga bagaimana aku bisa lupa! “Astaga! Aku lupa Zka!” Azka memang sudah tidak terkejut lagi melihat aku yang pelupa ini. Begitupun dia, bangun kesiangan karena semalam nonton bola bersama ayahnya, begitulah sekiranya ia menjelaskan kepadaku. Tak berbasa-basi lagi, kami berdua berlari menuju pintu gerbang sekolah.

Dugaanku benar. Kami berdua telat masuk pagi itu. Ketika siswa dan siswi yang lain tengah melaksanakan upacara bendera, kami berdua dan beberapa siswa yang terlambat berdiri di halaman depan sekolah, berbaris menunggu hukuman yang akan diberikan. Kulihat satu persatu wajah mereka, ada yang masih mengantuk, ada seorang siswa yang belum menyisir rambutnya, tak pakai dasi, gesper atau bahkan lupa memakai kaos kaki. Aku hanya tertawa sendiri saja melihat hal itu, walau aku sendiri bernasib sama seperti mereka. Dari sekian banyak wajah yang kulihat, di barisan depan aku mengenali seseorang. Seorang siswi berkulit sawo matang dengan rambut lurus tergerai, siapa lagi kalau bukan teman sekelasku, Meli namanya. Dia memang langganan terlambat, wajar saja rumahnya sangat jauh dari sekolah. Dia pernah berkata kepadaku bahwa untuk sampai ke sekolah saja ia membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan, belum dihitung dengan macetnya. “Bakal ramai nih pagi ini!” kataku kepada Azka yang berbaris di sebelahku, Azka sendiri hanya menatapku bingung

“Fiuhhh.... apa tidak ada tugas yang lebih berat selain belajar?” kataku sambil memunguti sampah di dekat pohon bambu, di halaman depan sekolah. “Kalau bapak ibuku melihat ini, mereka akan menangis kurasa.”

            “Ya Ra, aku setuju. Masa kita disuruh mungutin sampah sih?” lanjut Azka sejalan dengan perkataanku.

            “Sudah ah Zka, aku capek! Habis lari disuruh pungutin sampah juga!” Kataku sambil memasukkan sampah plastik dan beberapa dedaunan kering ke dalam tempat sampah. Segera aku duduk di sebelah pohon bambu itu dan membuka tasku, mencari saputanganku untuk menyeka keringat yang bercucuran. “Astaga! Kita melewatkan ulangan Fisika Zka!”

            Azka hanya terdiam, dia memang tidak peduli mengenai ulangan pelajaran yang membingungkan itu. “Peduli amat sama itu Ra! Menyusul nanti juga bisa, Bu Yaya baik ini sama kita.”

            “Iya sih, Zka tapi percuma dong aku belajar semalaman...” kataku meratapi buku paket fisika yang kupegang itu. “Lagi-lagi berdua menyusul yah?”

            “Ehem! Bertiga!” kata Meli yang tiba-tiba bergabung bersama kami. “Kalian jahat melupakan aku!”

            “Hehehe, aku lupa ada kamu Mel...” kataku.

            “Eh, ngapain kamu disini? Nanti Pak Surdi tau lho kita gak ngambilin sampah,” jawab Azka yang kini turut duduk di sebelahku.

“Sudah tenang saja,” jelas Meli. “Pak Surdi gak bisa lihat kita disini, tuh dia berdiri di sana, terlalu jauh untuk melihat kita di ujung sini.” Lalu setelah merasa aman untuk berbincang, kami bertiga sudah larut dalam pembicaraan ala remaja putri.

            Tidak terasa hari Senin itu berlalu dengan cepat, bel berbunyi nyaring seakan menyegarkan pikiranku dari pelajaran yang rumit. Ingin segera aku merebahkan diri pada kasur tempat tidurku, menikmati segelas es teh manis dan membaca majalah favoritku, namun sekali lagi aku harus memacu otakku di siang hari yang panas itu. Kami bertiga harus mengikuti ulangan susulan Fisika siang itu juga, bertempat di ruang guru. Untung saja aku sudah belajar, entah dengan kedua temanku itu. Kami duduk berjauhan dalam ruang guru, dengan mata Bu Yaya mengawasi gerak-gerik kami. Setelah setengah jam berlalu, selesai sudah aku berkelut dengan soal-soal Fisika. Azka dan Meli pun mengumpulkan soal mereka beberapa menit setelah aku. Lalu kami berjalan pulang bersama, Aku dan Azka meneruskannya dengan berjalan kaki sementara Meli segera menuju motornya di parkiran sekolah.

            “Zka, daritadi kok aku tidak lihat Adel ya?” kataku memulai pembicaraan.

            “Entahlah,” jawab Azka mengangkat bahunya. “Setahuku dia masuk kok, kalau gak salah dia tadi dijemput sama supirnya.”

            “Sekarang dia sibuk yah,” sambungku, “Kalo ingat dulu kita suka main sama-sama rasanya kangen deh.”

            “Itu sudah 2 tahun lalu Ra, sekarang kita sudah kelas 3, sudah punya kesibukan masing-masing.” Memang benar, kami ber-empat sudah merupakan teman sejak kelas 1 SMA. Saat itu kami masih lucu-lucunya bila dibandingkan sekarang. Temanku yang seorang lagi bernama Adelia, aku biasa memanggilnya dengan Adel. Kami ber-empat cukup eksis di sekolah, bukan karena hal buruk lho. Kami ber-empat adalah siswi-siswi yang telah mengharumkan nama baik sekolah, mulai dari Adel yang jago renang; dia adalah seorang atlit renang dan telah memenangkan tiga kompetisi besar sampai saat ini, dan meraih dua emas dan satu perak di antaranya, dia juga jago bermain piano. Kemudian, Meli, walau sekilas dia terlihat biasa saja, sebenarnya dia itu mengikuti olimpiade debat bahasa Inggris dan sudah dua kali membawa nama baik sekolah kami hingga ke tingkat provinsi. Lalu Azka, selain dia yang paling “tomboi” di antara kami, Azka yang seorang atlit karate juga mahir soal berhitung, dia juga dijuluki Mak Pedit, karena setiap meminjamkan uang kepada temannya akan dikenakan bunga, sungguh orang yang perhitungan sekali. Tapi itulah teman-temanku, dan aku sendiri? Irama Melodwi, itulah namaku. “Irama” berarti nada, dan “Melodwi” adalah permainan kata dari “melodi” dan “dwi” yang artinya alunan nada kedua, karena aku anak kedua di keluargaku, setidaknya itu yang bapak pernah bilang padaku. Selain aktif di Paskriba sekolahku, aku pernah mewakili sekolahku hingga tingkat kota, sungguh menyenangkan. Selain itu aku hobi bernyanyi dan kata teman-temanku, suaraku bagus dan merdu. Bukan berarti sombong lho.

            Kami semua berteman baik sejak kelas 1 SMA, kemana-mana selalu bersama, suka duka kami cicipi bersama. Dari disanjung oleh satu sekolah hingga ditertawakan oleh satu sekolah pun pernah kami rasakan. Kalau dibilang sahabat tak abadi, bisa dibilang benar bisa dibilang salah, apapun pendapat orang, bagiku mereka adalah sahabatku selama SMA ini. Tapi hubungan persahabatan kami mulai berubah, sejak kedatangan seorang siswa baru, Raden namanya. Entah kenapa karena seorang ini, hubungan kami yang tadinya baik-baik saja kini berubah menjadi “tidak baik-baik” lagi.

Cerpen Sahabat Cokelat Part I
            Keesokan harinya, saat bel istirahat berbunyi, aku mengajak kedua sahabatku, Azka dan Meli untuk makan ke kantin. Kebetulan aku belum sarapan, karena kesiangan lagi. Namun di tempat kami biasa makan, sudah duduk menanti Adel bersama semangkuk bakso dan segelas es teh di depannya. “Kita telat satu ronde nih,” kataku.

            Dengan segera, aku memesan indomie rebus lengkap dengan telor kesukaanku, diikuti oleh Azka dan juga Meli. Tak lupa aku memesan es teh manis sebagai minumannya. Sambil makan, kami mulai larut dalam perbincangan.

            “Del, kamu kemana saja sih? Kok gak main sama kita-kita lagi?” tanyaku.

            “Maaf Ra, aku sibuk les piano, soalnya akan ada lomba, ayahku memintaku untuk meningkatkan latihanku.”

            “Lomba? Kapan Del?” tanya Meli.

            “Tepatnya dua minggu dari sekarang, di Jakarta, aku diikutsertakan sama papaku.”

            “Pantes saja, jadi kamu latihan setiap hari?”

            “Iya Ra, aku gak mau mengecewakan papa.” Aku tersenyum kepadanya, sungguh Adel adalah seorang yang patuh kepada kedua orangtuanya. Tak seperti aku.

            “Ngomong-ngomong soal lomba, kalian udah denger belum soal anak baru yang ganteng itu?” sambung Meli. “Aku denger, siswi-siswi di sini berlomba cari tahu tentang dia lho.”

            “Ah kamu ini,” kataku, “Kalo enggak ngomongin hape, pasti ngomongin cowo, huuu.”

            “Ih biarin, emang kamu enggak penasaran apa sama dia?”

            “Enggak tuh,” jawabku dingin.

            “Huuu, judes amat sih kamu Ra,” balas Meli. Aku hanya menyendok bakso ke dalam mulutku saja, menurutku apa pentingnya membicarakan masalah “cowo”.

            “Oh ya aku tau,” sambung Azka, “Anak cowo pindahan baru itu yah? Kalau gak salah namanya...”

            “Raden!” jawab Adel secepat kilat. “Itu dia anaknya!” katanya sambil menunjuk ke arah seberang meja makan kami, terlihat beberapa anak cowo berjalan ke arah sana, aku kenal beberapa dari mereka. Yang berkacamata di depan adalah Ubay, terus ketua kelas kami Andra, dibelakangnya disusul Evan dan wajah yang ini baru kulihat, laki-laki tinggi berkulit cokelat muda, sudah pasti dia Raden yang dibicarakan.

            “Tuh kan ganteng banget,” kata Meli. “Lihat deh badannya tinggi, mukanya manis dan gayanya itu deh oke banget!”

            “Setuju, aku langsung luluh nih,” Kata Adel sejalan dengan Meli.

            “Ih apasih kalian? Biasa aja tuh dia,” jawabku. “Iya kan Zka?”

            “Akan beda ceritanya kalau Raden itu laki-laki yang punya mobil BMW yang menjemputnya dan selalu traktir siapa saja.”

            “Huuu, kamu juga ikut-ikutan mereka.”

            Raden, oh ya aku ingat, murid baru pindahan di kelas sebelah. Tempo hari, Bu Yaya memberitahukannya ketika sedang mengajar, beliau bilang Raden pindahan dari Jakarta, dan sekarang tinggal di sini untuk bersekolah. “Mohon ya kalian menerima dia dan membuatnya nyaman di sekolah kita, walau dia tidak sekelas dengan kalian,” pesan Bu Yaya kepada kami. Sebenarnya aku melihat dia biasa saja, tapi entah kenapa waktu aku melihat dia seolah matanya menyapa mataku, atau mungkin aku hanya berlebihan.

            Sepulang sekolah, aku dan Azka kembali jalan berdua. Siang itu cukup terik, jadi aku dan Azka berjalan di balik bayang-bayang gedung sekolah. Aku yang berjalan tanpa melihat ke depan tiba-tiba, BRUK! Aku menabrak seseorang hingga tubuhku jatuh ke belakang, Azka segera menolongku.
BERSAMBUNG..

                                 Cerpen Sahabat Cokelat Part II (Next)

0 komentar: